Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 7 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hukum Pidana Baru: Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden

8 Juni 2024   07:58 Diperbarui: 8 Juni 2024   10:43 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini akan membahas 'santai' tindak pidana terhadap martabat presiden dan/atau wakil presiden. Delik Tindak Pidana terhadap martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam pasal 217 sampai dengan pasal pasal 220 dan dibagi menjadi dua bagian, meliputi Penyerangan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Penyerangan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden

Penyerangan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam pasal 217 KUHPB yang berbunyi:

"Setiap Orang yang menyerang diri Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun."

Pada penjelasannya ada tertuang:

"Tindak Pidana penyerangan diri seseorang pada umumnya dapat merupakan berbagai Tindak Pidana, seperti penganiayaan atau melakukan Kekerasan. Karena Tindak Pidana dalam ketentuan pasal ini ditujukan kepada diri Presiden dan/atau Wakil Presiden maka jika ancaman pidana tidak termasuk dalam pidana yang lebih berat, maka berlaku ketentuan pasal ini."

Apabila dibaca lebih cermat, maka dapat diketahui tindak pidana Penyerangan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, sangat berbeda dengan tindakan makar, lebih spesifiknya makar terhadap presiden dan/atau wakil presiden, yang tertuang pada pasal 191. Bedanya apa? Penulis serahkan jawabannya pada pembaca.

Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam pasal 218 sampai dengan pasal 220. Pasal 218 bicara tentang penyerangan kehormatan presiden dan/atau wakil presiden. Berdasarkan penjelasan yang disederhanakan, yang dimaksud dengan menyerang kehormatan adalah perbuatan merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah. Pengecualian tindakan diadakan berdasarkan pasal 218 ayat 2 yang berbunyi:

"tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."

Dalam penjelasan yang dapat disederhanakan, makna 'dilakukan untuk kepentingan umum' merujuk pada tindakan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan berdemokrasi, termasuk juga memberikan pendapat dan kritik terhadap kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dalam penjelasan yang sama, dikatakan bahwa dalam negara demokrasi, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pada dasarnya, kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

Kemudian, Pasal 219 bicara tentang tindak penyebaran informasi yang menyerang kehormatan tersebut. tindakan-tindakan tersebut meliputi tindak menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, memperdengarkan rekaman, menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi. Tindakan-tindakan tersebut juga harus disertai maksud. Pidana yang diberikan terhadap tindakan ini adalah pidana penjara maksimal 4 tahun atau pidana denda paling banyak 200 juta rupiah.

Lalu, pasal 220 bicara tentang ketentuan bahwa pasal 218 dan pasal 219 yang dimaksud merupakan delik aduan, yang dapat dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden secara tertulis. Artinya, tindakan pidana yang dimaksud dalam bab ini baru dapat dikenakan kepada seseorang, apabila presiden dan/atau wakil presiden melaporkan tindakan tersebut ke alat negara yaitu ke polisi.

Contoh Kasus.

Mengingat KUHPB baru berlaku pada tahun 2026, maka tindak pidana yang menggunakan delik ini belum ada. Begitu juga dengan tindakan yang dikategorikan tindak pidana, semua hanya dapat dilihat berdasarkan KUHP Lama.

Dalam KUHP Lama, tindak pidana terhadap martabat presiden diatur dalam pasal 130 sampai dengan pasal 139, dimana beberapa pasal sudah dinyatakan ditiadakan. Pasal 131 KUHP Lama sendiri berbunyi:

"tiap-tiap penyerangan terhadap diri presiden atau wakil presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun."

Apabila diperbandingkan, maka cukup terang rumusan dalam KUHPB lebih jelas, namun pada esensinya sama, bila tindakan tersebut tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat (misal, mengancam membunuh wakil presiden), maka tindakan itu kemudian dimasukkan ke pasal ini.

Terkait contoh kasus menggunakan pasal ini dalam KUHP Lama, karena kekurangan penulis, maka penulis tidak menemukan yurisprudensi terkait penggunaan pasal tersebut.

Uji materi di MK.

Pasal 218 yang menjadi bagian dari Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden kemudian dimohonkan untuk diuji lagi (judicial review), bersama dengan pasal 219, pasal 240 ayat 1, dan pasal 241, dengan petitum dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945 amandemen keempat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK kemudian memutus lewat Putusan 7/PUU-XXI/2023 dan menyatakan karena pengujian norma pidana tersebut adalah premature karena belum ada kasus yang terjadi.

Pasal-pasal tersebut, termasuk pasal 218, kemudian dianggap bermasalah terutama karena dapat membuat pemikiran kritis menghilang, dengan stigma bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi dapat dikritik, mengingat paradigma kritik di Indonesia kurang lebih menyerupai penyerangan terhadap martabat.

Hal tersebut dapat dikonfirmasi dari pendapat salah satu pemohon yang kemudian dicontohkan dengan beberapa kasus dari jaman orde baru hingga masa-masa sekarang, yang dapat dibaca pada halaman 4 putusan a quo, sekaligus dasar teoretis serta filosofis dari kebebasan berekspresi dan jabatan.

Yang menjadi menarik, ketika dilihat dari kalimat "jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri", artinya selama ada di koridor 'kepentingan umum atau pembelaan diri', maka menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden diperbolehkan. Namun, mengingat tidak ada batasan yang dituangkan secara spesifik tentang kehormatan serta harkat dan martabat tersebut, kecuali dalam ranah nomos (norma tak tertulis), maka timbul kerancuan yang dimaksud.

Oleh karena itu, akan muncul perbedaan bobot penyerangan kehormatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, antara mereka yang membawa Kerbau Sibuya dalam Unjuk Rasa dalam rangka mempersamakan presiden dengan binatang, dan mereka yang menyebarkan cemooh yang mengatakan presiden sebagai 'bebek lumpuh'. Dan menjadi pertanyaan sederhana, cemooh seperti apa nantinya yang akan muncul di masa Presiden dan Wakil Presiden yang baru saja terpilih, bila belum dilantik saja 'kritik' sudah begitu banyak bermunculan? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.

Demikianlah sedikit tentang Tindak Pidana terhadap martabat presiden dan/atau wakil presiden. Artikel ini jelas tidak sempurna selain karena kekurangan penulis, namun juga agar sederhana. Setidaknya, sudah cukup jelas menerangkan bahwa martabat presiden dan/atau wakil presiden pada intinya harus dilindungi, karena ada bila harkat martabat presiden dan/atau wakil presiden diserang, maka penyerang tersebut dapat dipidana. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.

Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

 

Acuan:

KUHPB;KUHP lama;Putusan MK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun