Bila mengikuti artikel Pembentukan Peraturan Perundangan lain, maka dapat ditemukan analogi Pembentukan Peraturan Perundangan ini dengan tulang, daging, serat-serat, sajian. Penulis sengaja menyamakan pembentukan peraturan perundangan dengan 'masak-masakan' karena otak penulis tak cukup canggih untuk memahami hukum. Lagijuga, menggoreng daging untuk dihidangkan lalu dimakan, jauh lebih enak dan santai daripada membaca kalimat kaku khas sastra kuno untuk dianalisa lalu dimaknai, walaupun keduanya mengandung esensi menyerupai, yaitu ada proses mencapai hasil.
Pada artikel Pembentukan Peraturan Perundangan: Perencanaan, dijelaskan bahwa peraturan perundangan dibuat dengan perencanaan yang sistematis dan logis. Singkatnya, bila peraturan perundangan itu dibuat badan legislative seperti DPR atau DPRD, maka ada naskah akademis, ada program legislasi bersifat lebih rumit dan lebih terbuka. Bila peraturan itu dibuat badan eksekutif seperti presiden, pemerintah, gubernur, dan sebagainya, sifatnya lebih lugas dan lebih tertutup. Hal ini adalah konsekuensi dari perbedaan tujuan pengaturan.
Adapun setelah Perencanaan pembentukan perundangan selesai, alur tahapan selanjutnya untuk melahirkan suatu kebijakan adalah Penyusunan. Penyusunan ini berbeda dengan Perencanaan. yang bila dimaknai secara sederhana dan singkat (dan bodoh), tahap Perencanaan menunjukkan kegiatan menyiapkan daging bertulang, bumbu, pisau, talenan dan sebagainya, di dekat kompor untuk dimasak. Sementara, tahap Penyusunan yang merujuk pada proses 'pilah-pilah' mana yang akan digunakan, diperbaiki, dan sebagainya.
Penyusunan peraturan perundangan sendiri memiliki beberapa bagian yang disesuaikan dengan koridor Perencanaan. Bila membaca artikel Pembentukan Peraturan Perundangan: Jenis, Hierarki, dan materi, maka dapat diketahui bahwa peraturan perundangan memiliki tingkatan-tingkatan dari paling tinggi sampai paling rendah. Penyusunan ini kemudian menggunakan hierarki tersebut dalam berproses.
Yang menarik adalah, dianggap tidak mungkin untuk menyusun UUD NRI 1945 dan TAP MPR yang menduduki posisi nomor 1 dan nomor 2 sebagai peraturan perundangan tertinggi dan tidak boleh diganggu gugat posisinya. Suatu pertanyaan sederhana (dan terkesan provokatif, tentu) adalah, kenapa tidak mungkin menyusun kembali UUD NRI 1945 dan TAP MPR? Bilapun dimungkinkan, bagaimana cara merekonstruksi UUD NRI 1945 dan TAP MPR? Bunyi, atau 'mahluk' apa yang tepat dan benar untuk ada disana, selain daripada sudah sempurna? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Penyusunan Undang-Undang
Hal ini diatur dari pasal 43 sampai dengan pasal 51 UU 12/2011. Singkatnya, dalam tahap ini Undang-undang bernama Rancangan Undang-undang (RUU). RUU ini dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD yang disusun berdasarkan prolegnas. Pengajuan RUU dilakukan sesuai lembaga yang memajukan. RUU harus disertai Naskah Akademik, kecuali untuk APBN, Penetapan Perppu, pencabutan UU atau Perppu. DPD hanya dapat mengajukan RUU yang terkait dengan:
- Otonomi daerah;
- Hubungan pusat dan daerah;
- Pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
- Pengelolaan sumber daya ekonomi;
- Perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Setelah itu dilakukan Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsep RUU. Pada prosesinya, tiap lembaga harus menyiapkan surat pengantar yang diberikan. Setelah surat diterima RUU itu harus dikaji sampai paling lama 60 hari sejak surat diterima.
Terdapat perubahan terhadap ketentuan-ketentuan tersebut. Dalam UU 15/2019 Perubahan Pertama P3, diperjelas bahwa pemerintah di bidang hukum yang dimaksud adalah pemerintah di bidang pembentukan peraturan perundangan, dan UU 13/2022 pasal 49 ayat 2 mengkonkretasi RUU yang ingin dibahas harus disertai dengan DIM. DIM adalah Daftar Inventarisasi Masalah yang berisi RUU dan dokumen pendukung RUU.
Perubahan ini menarik bila dimaknai dan membuat penulis sedikit tersenyum. Karena dapat diartikan bahwa dalam kebiasaan birokrasi pembahasan RUU bersifat quasi formil. Sederhananya, pembahasan RUU dapat dilakukan tanpa Daftar Inventarisasi Masalah. Pertanyaannya adalah, apa selama ini RUU dibuat dengan tidak melihat, menelaah, serta menimbang masalah yang sudah disiapkan sebagai landasan pembangunan UU secara serius? Sebaliknya, bila Daftar Inventarisasi Masalah itu kemudian dikaji secara serius oleh para lembaga yang berencana untuk merubahnya, apa bisa dilakukan dalam waktu 60 hari? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Penyusunan Perppu
Kemudian, dalam UU 12/2011 dari pasal 52 sampai dengan pasal 53 mengatur tentang Perppu. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) sederhananya bicara tentang peraturan perundangan yang ditetapkan Presiden dalam hal ihwal kegentingan memaksa. Intinya, ada urgensi yang harus dilakukan oleh lembaga eksekutif sehingga harus menerobos lalu lintas regulasi tata pemerintahan demi mengeksekusi suatu hal.
Dalam hal ini, DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan yang konsekuensinya menjadi Undang-Undang. Bila tidak disetujui, maka Perppu itu akan dicabut, menyebabkan lembaga eksekutif tidak lagi dapat melakukan tindakan yang dilakukan atas dasar urgensi. Contoh konkret yang mungkin pernah kita rasakan, misal Perppu Covid yang pada saat itu tidak sempat dibuat rapat seperti pembahasan UU.
Menariknya, Perppu Covid yang menjadi UU 2/2020 itu tidak dicabut, melainkan diubah dengan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pertanyaannya, apa Perppu yang menjadi Undang-Undang, tidak perlu dicabut atas dasar premis antisipasi bila Covid atau yang sejenisnya kembali mewabah di Indonesia? Atau ada alasan lain hingga perubahannya masuk ke dalam UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Penyusunan Peraturan Pemerintah
Apabila Perppu disusun sepihak oleh lembaga kepresidenan dan DPR berlaku sebagai pihak pelengkap, maka dalam Penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan oleh seluruh lembaga pemerintahan berkepentingan dalam peraturan tersebut bersama dengan lembaga non-kementerian. Peraturan Pemerintah ini tidak membutuhkan persetujuan DPR.
Penyusunan Peraturan Presiden
Pada esensinya menyerupai peraturan pemerintah, hanya tujuannya berbeda. Peraturan Pemerintah bertujuan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. sementara peraturan presiden bertujuan agar presiden dapat menjalankan perintah peraturan perundangan yang lebih tinggi dalam penyelenggaraan negara.
Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
Dalam UU 12/2011, penyusunan ini diatur pada pasal 56 sampai dengan pasal 62. Sekali lagi, konsepnya menyerupai bagaimana DPR dengan Presiden, atau Presiden dengan DPR, menyusun RUU. Perbedaan signifikannya adalah pihak yang diajak kerja sama berada pada tingkat lebih rendah namun tidak paling rendah sebagai konsekuensi tingkatan hierarki peraturan perundangan, karena subjek yang melakukan adalah DPRD dan Gubernur.
Kemudian pada pasal 58 ayat 1 UU 13/2022 perubahan kedua P3, ada bunyi:
"Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh Menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan."
penjelasan pasal tersebut berbunyi:
"Dalam pelaksanaan koordinasi pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi oleh Menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan melibatkan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, Menteri atau kepala lembaga yang terkait dengan materi muatan rancangan peraturan daerah provinsi, pemerintah daerah provinsi, DPRD provinsi, serta pihak lain yang dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan."
Apabila dimaknai, ini merupakan pasal yang sangat amat menarik. Terutama apabila dibandingkan pada pasal 58 ayat 1 UU 12/2011 yang berbunyi:
"Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani legislasi."
Perubahan ini sangat amat menarik, namun penulis tidak akan memberikan komentar apapun. Hanya dua pertanyaan sederhana saja, yaitu apa perubahan tersebut menyebabkan masalah? bila masalah, masalah siapa? Â Dan sekali lagi, jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/kota
Diatur dalam pasal 63 dan menjadi satu-satunya pasal yang mengatur penyusunan peraturan daerah kabupaten kota, yang berbunyi:
"ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota."
Demikianlah sedikit dengan Penyusunan dalam Pembentukan Peraturan Perundangan. Apabila dimaknai, dari bagian penyusunan ini sangat terlihat nilai-nilai prosedural yang bila dijalankan dengan baik akan membuat Indonesia lebih cepat berkembang, namun bila dijalankan dengan tidak baik, dapat mengakibatkan stagnansi, bahkan degradasi, terhadap perkembangan Indonesia sebagai negara yang memperjuangkan kemerdekaan rakyatnya.
Artikel ini juga tidak sempurna, banyak hal yang tidak dapat dituangkan selain karena kekurangan penulis, kesederhanaan, juga memuat konten-konten yang sangat berpotensi menjebak alam pikir hukum ke jaring-jaring politik. Namun begitulah konsekuensi dari hukum tata negara, seakan tidak dapat dipisahkan antara hukum dan politik menyebabkan ambiguitas antara politik hukum atau hukum politik. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Peraturan perundangan:
UU 12/2011;UU 15/2019;UU 13/2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H