Selagi minum kopi seraya membaca, penulis melihat sesuatu yang cukup menarik dalam UU 12/2011. Alur dari pembentukan peraturan perundangan diletakkan lebih dahulu daripada definisi peraturan perundangannya. Artinya, sangat mungkin dalam alam pikir para pembentuk undang-undang ini terstigma bahwa semua orang sudah mengetahui apa itu peraturan perundangan. Adapun peraturan perundangan, adalah apa yang didefinisikan dalam undang-undang. Pasal 1 ayat 2 UU 12/2011 sendiri berbunyi:
"Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan"
Kemudian alur yang dimksud terdapat pada pasal 1 ayat 1 UU 12/2011 yang berbunyi:
"dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan."
Dalam ketentuan umum ini kemudian, UU 15/2019 tentang perubahan pertama P3 menyisipkan salah satu proses yang tidak tertuang dalam UU 12/2011 yang berbunyi:
"Pemantauan dan Peninjauan adalah kegiatan untuk mengamati, mencatat dan menilai atas pelaksanaan Undang-Undang yang berlaku sehingga diketahui ketercapaian hasil yang direncanakan, dampak yang ditimbulkan, dan kemanfaatannya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Selain alur pembentukan peraturan perundangan dari awal sampai akhir, Pasal 1 ayat 1 secara expressive verbis sudah menyatakan koridor-koridor apa saja yang ditempuh dalam pembentukan suatu peraturan perundangan, hingga menjadi peraturan perundangan yang berlaku di masyarakat. Apabila pasal 1 kemudian dibaca lebih lanjut, maka kontennya akan berisikan klasifikasi apa saja bentuk peraturan perundangan itu, yang meliputi:
- Undang-undang;
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi;
- Peraturan Daerah kabupaten/kota;
Suatu pertanyaan menarik, apabila klasifikasi peraturan hanya terbatas pada 6 jenis tersebut, lalu dimana keberlakuan peraturan menteri atau peraturan desa? penulis serahkan jawabannya pada pembaca. Kemudian dalam pasal 2 UU ini menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara, dengan penjelasan yang berbunyi:
"Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 aliena keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila."
ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN.
Dalam bagian ini tertuang pasal 5 dan pasal 6 uu 12/2011. Pada intinya menyatakan pembentukan peraturan perundangan harus memiliki dua jenis asas, yaitu asas formil dan asas materiil. Asas formil yang dimaksud adalah asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang pada intinya merujuk pada Pembentukan Peraturan Perundangan harus memenuhi syarat teknis agar dapat dikatakan peraturan perundangan. Sementara asas materiil yang dimaksud merujuk pada isi dari peraturan perundangan tersebut sesuai dengan asas-asas yang ditetapkan.
ASAS FORMIL
Singkatnya, asas formil pembentukan perautran perundangan merupakan asas yang merujuk pada formalitas dalam menciptakan peraturan perundangan, yang meliputi:
Kejelasan tujuan;
Intinya suatu peraturan perundangan harus punya tujuan dan kehendak yang jelas ingin dicapai.
Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
Pada intinya, peraturan perundangan harus dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang melakukannya. Bila tidak, maka peraturan perundangan itu dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Untuk hal ini, ada hal yang menarik ketika kita membaca risalah PHPU sengketa pemilu, dimana salah satu pihak menyatakan ketidakabsahan pengangkatan Pejabat lewat (permendagri 4/2003) dan mempersoalkan lembaga kepresidenan yang menerbitkan peraturan perundangan tersebut, yang dibantah oleh saksi ahli bahwa permen tersebut sah, dan dengan demikian, legitim. Karena putusan MK terhadap PHPU belum terbit, maka penulis tidak bisa berpendapat hal tersebut benar atau tidak.
Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
Pada intinya, pembuatan peraturan perundangan harus berisikan materi yang sesuai dan selaras dengan jenis dan hierarki peraturan perundangan. Misal, tidak bisa isi dari peraturan Menteri berbunyi seperti undang-undang yang dibuat DPR, dan sebagainya.
Dapat dilaksanakan;
Intinya konten peraturan perundangan masih dalam lingkup penalaran yang wajar untuk diimplementasikan. Parameter yang digunakan dalam hal ini merujuk pada tiga hal yang setidaknya meliputi landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Sederhananya, peraturan perundangan yang dibuat harus berdasarkan kebutuhan untuk adanya peraturan perundangan sekaligus memiliki manfaat holistik dalam kehidupan.
Kejelasan rumusan;
Intinya suatu peraturan perundangan memiliki kejelasan rumusan dan memenuhi syarat teknis penyusunan peraturan perundangan, termasuk juga dalam hal sistematika, pilihan kata atau istilah, bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti hingga minim interpretasi.
Keterbukaan.
Intinya dalam proses pembentukan peraturan perundangan harus transaparan dari awal hingga akhirnya dengan melibatkan juga masyarakat. Pasal 5 huruf g ini mengalami pemutakhiran hingga kini publik juga dapat melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap proses pembentukan peraturan, baik secara daring atau luring, termasuk juga memberikan masukan.
ASAS MATERIIL
Bila asas formil pada esensinya memberikan bingkai atau kerangka yang dapat menjadikan suatu peraturan perundangan layak dikatakan sebagai peraturan perundangan, maka asas materiil yang dimaksud merujuk pada isi dari pembentukan peraturan perundangan itu sendiri. Dalam sinonim sederhana (dan bodoh), bila tubuh terdiri dari 'tulang dan daging', maka asas formil bicara tentang tulang dan asas materiil bicara tentang daging yang sudah siap santap.
Adapun asas materiil sendiri terdiri dari beberapa jenis, yang meliputi:
Pengayoman;
Intinya, bicara bahwa peraturan perundangan yang diadakan memiliki fungsi untuk memberikan perlindungan dengan tujuan menciptakan ketentraman masyarakat.
Kemanusiaan;
Ininya harus mengutamakan hak asasi manusia, yang juga mengandung harkat dan martabat manusia secara individu maupun kelompok kependudukan secara proporsional.
Kebangsaan;
Hal ini merujuk pada setiap peraturan perundangan mencerminkan watak dan sifat bangsa Indonesia yang majemuk dan berprinsip sebagai negara kesatuan.
Kekeluargaan;
Merujuk pada suasana yang tersirat dalam peraturan perundangan berangkat dari musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Kenusantaraan;
Pada intinya, suatu peraturan perundangan harus senantiasa memperhatikan kepentingan wilayah geografis dan territorial Indonesia yang juga majemuk dan memiliki perbedaan-perbedaan signifikan.
Bhineka tunggal ika;
Hal ini merujuk pada materi peraturan perundangan harus memperhatikan sendi-sendi keberagaman. Sendi-sendi keberagaman tersebut meliputi perbedaan penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan kondisi budaya yang khusus karena struktur nomosnya sudah mengendap disana.
Keadilan;
Merujuk bahwa peraturan perundangan harus mencerminkan keadilan proposional bagi setiap warga negara.
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
Bicara tentang kesamaan masyarakat di mata hukum, dimana suatu peraturan perundangan tidak boleh memuat hal yang membeda-bedakan latar belakang, terutama hal yang sensitif seperti agama, suku, ras, golongan, gender, status sosial, dan sebagainya.
Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau;
Pada intinya suatu peraturan perundangan harus bisa mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Intinya mengatakan peraturan perundangan harus proporsional, harmonis, dan sejalan dengan nilai-nilai, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Asas-asas ini kemudian dileburkan dengan asas-asas lain yang berlaku dalam spektrum dan bidang yang akan diatur. Dan menarik, apabila melihat teks aslinya, maka keseluruhan asas tersebut diberikan huruf dari a sampai j, yang sering kali menjadi patokan untuk menentukan hierarki suatu keberlakuan hukum. Dan, bila dibaca secara hierarki, maka keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bukan hal yang terutama dalam peraturan perundangan.
Menjadi suatu pertanyaan, apa alam pikir para pembentuk undang-undang sebenarnya tidak mementingkan hukum sehingga dengan meletakkan esensi dari hukum berada di tingkat least concern, atau lebih tepatnya, mengedepankan politik hukum daripada hukum itu sendiri? jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Demikianlah sedikit tentang alur dan asas pembentukan peraturan perundangan. Artikel ini jauh dari sempurna karena ada banyak hal yang dapat dijabarkan, inter alia pendalaman alam pikir asas-asas yang menjadi fundamental dalam mengkreasikan suatu peraturan perundangan itu sendiri. Namun karena kekurangan penulis serta untuk mencapai kesederhanaan, maka artikel harus diakhiri sampai disini. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Acuan:
UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H