Ketika California pertama kali membuat kebijakan legalisasi ganja untuk pariwisata di Negara Bagian Amerika Serikat, ada begitu banyak pro-kontra yang terjadi, termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah Gerakan Legalisasi Ganja, di mana mereka membangun argumentasi bahwa Ganja (Cannabis) bukan hal berbahaya dimana terdapat fakta medis tak diakui yang mendapat dukungan dari dokter-dokter yang memiliki kredibilitas.
Tentu, banyak juga pihak yang menentang hal tersebut, dengan argumentasi bahwa Cannabis tetap dan selalu menjadi bagian dari narkotika yang membahayakan terutama untuk kehidupan sosial, yang kemudian dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan menjaga kesehatan, baik secara individu maupun kelompok, sehingga untuk penggunaan Cannabis dalam spektrum medispun masih diperdebatkan di Indonesia.
Terlepas dari perbedaan pandangan penggunaan dan pendayagunaan Cannabis dari sudut pandang secara holistik, dalam spektrum hukum pidana internasional Cannabis merupakan salah satu Narkotika dan Psikotropika yang dapat diberikan sanksi, setidaknya berdasarkan article 3 United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances.
Cannabis hanya merupakan salah satu dari banyak narkotika dan psikotropika yang diatur dalam konvensi-konvensi. Dan karena adanya offence and sanctions dalam Konvensi terkait narkotika dan psikotropika, maka cukup terang bahwa Narkotika merupakan bagian dari Hukum Pidana Internasional.
Dari banyaknya konvensi UN yang mengatur tentang narkotika, Single Convention on Narcotic Drugs 1961 dan United Nations against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 dapat dijadikan suatu landasan yang cukup komprehensif untuk melihat bagaimana Hukum Internasional mengatur tentang Pidana Narkotika.
Single Convention on Narcotic Drugs 1961
Secara singkat dan sederhana, Single Convention on Narcotic drugs 1961 mengatur tentang dua koridor yang membuat kegiatan Narkotika hidup, meliputi tata usaha narkotika dan pendistribusian narkotika secara illegal (illicit trafficker). Â Pengaturan tentang pidana narkotika sangat sarat dengan kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial bersubstansi kesehatan secara global. Â Hal ini dibuktikan dengan seluruh konsideran di dalam konvensi tersebut merujuk pada frasa "the economic and social council" yang merupakan salah satu organ UN. Kemudian, jenis-jenis dari narkotika ini dapat dibagi menjadi beberapa, meliputi:
Cannabis;
Cannabis yang dimaksud adalah bunga atau buah dari puncak tumbuhan Cannabis dan tidak termasuk pada benih atau daun dari buah, yang mana belum mengalami ekstraksi, terlepas apapun namanya. (dalam hal ini, bahasa popular yang dikenal di Indonesia adalah ganja.)
Cannabis ini dibagi menjadi dua, yaitu Cannabis Plant dan Cannabis Resin. Dalam konvensi diperboleh untuk dikultivasi secara terukur hanya untuk tujuan penelitian atau ilmu pengetahuan. Tidak diperbolehkan untuk diindustrialisasi atau dijadikan tanaman hortikultura.
Opium;
Opium yang dimaksud adalah sari cair yang dibekukan dari Opium Poppy. Opium Poppy sendiri adalah sinonim dari tumbuh dari spesies Papaver Somniferum L, yang dapat diolah sebagai obat-obatan. Secara regulasi menyerupai Cannabis, tidak boleh dikultivasi, tidak bolah dijadikan tanaman hortikultur, maupun diindustrialisasi, kecuali untuk kebutuhan ilmu pengetahuan dan penelitian. Limitasi produksi Opium tertuang jelas pada article 21 bis number 1 yang berbunyi:
"the production of opium by any country or territory shall be organized and controlled in such manner as to ensure that, as far as possible, the quantity produced in any one year shall not exceed the estimate of opium to be produced as established under paragraph 1f of article 19."
Paragraph 1f of article 19 yang dimaksud merujuk pada kuantitas dari opium yang diperbolehkan untuk diproduksi. Terkait dengan ini, konvensi membentuk lembaga khusus yang bernama "National Opium Agencies" dengan kewenangan untuk hal meliputi:
- Pemilihan lokasi kultivasi;
- Pemberian lisensi untuk melakukan kultivasi;
- Kerja sama dalam kultivasi seperti kontrol stock opium;
- Kepemilikan eksklusif dalam melakukan ekspekdisi.
Coca Bush;
Dalam konvensi, Coca Bush adalah segala jenis tumbuhan dari genus Erythroxylon, dimana daunnya (Coca Leaf) secara sederhana dapat diolah menjadi Cocaine. Regulasinya menyerupai Opium dan Cannabis. Ketiga tanaman tersebut termasuk dalam golongan I, yang artinya dapat dijadikan Narkotika dan/atau psikotropika dengan efek penurunan atau perubahan kesadaran yang sangat efektif, serta dapat menimbulkan ketergantungan di luar batas kewajaran penalaran.
Drug;
Drug yang dimaksud ini merupakan zat kimia dalam bentuk obat-obatan yang substansinya sangat banyak, dan kemudian diklasifikasikan menjadi empat golongan(schedule) sesuai dengan efektifitas dan pengaruhnya ketika dikonsumsi, termasuk juga yang diproduksi dari Cannabis, Coca, dan/atau Opium.
Kemudian, ada penyampingan narkotika dan psikotropika yang dikategorikan sebagai 'special stocks', yang didayagunakan hanya terhadap kepentingan medis, ilmu pengetahuan dan/atau konsumsi, baik dalam urusan tata usaha (produksi dsb) dan pendistribusiannya. Dalam kultivasi, produksi, dan distribusi Narkotika dan Psikotropika harus diawasi secara ketat oleh WHO (World Health Organization) dan apabila ada penyimpangan atau penyalahgunaan, maka hal tersebut diatasi oleh ICPO (International Criminal Police Organization).
United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988
Ketentuan yang tertuang dalam Single Convention on Narcotic Drugs 1961 kemudian dirubah dalam konvensi tahun 1988 ini, terutama dikarenakan terjadinya penyalahgunaan Narkotika yang semakin banyak dan berada di luar kontrol hingga ke ranah yang tidak diperkirakan. Hal ini tertuang dalam Preamble paragraph 1 dan 2 yang berbunyi:
"Deeply concerned by the magnitude of and rising trend in the illicit production of, demand for and traffic in narcotic drugs and psychotropic substances, which pose a serious threat to the health and welfare of human being and adversely affect the economic, cultural, and political foundations of society, deeply concerned also by the steadily increasing inroads into various social groups made by illicit traffic in narcotic drugs and psychotropic substances, and particularly by the fact that children are used in many parts of the world as an illicit drug consumers market and for purpose of illicit production, distribution and trade in narcotic drugs and psychotropic substances, which entails a danger of incalculable gravity,"
Suatu fakta menarik, waktu tersebut merupakan tahun-tahun dimana Pablo Escobar merambah ke dunia politik di Kolumbia dan berhasil menjadi anggota kongres, serta telah membuat 'kerajaan' lewat Kartel Medellin, dan sedang mengalami pergulatan politik melawan kartel-kartel lain dan Amerika Serikat yang menyebabkan peristiwa politik besar di negaranya.
Dalam United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988, pada intinya memberikan regulasi yang lebih ketat dengan memanfaatkan kekuatan internasional untuk meredam pengembangan penyalahgunaan produksi dan distribusi narkotika di seluruh dunia. Hal ini dengan jelas pada Article 2 number 5 yang pada intinya menugaskan setiap negara seyogianya memiliki otoritas yang kompeten untuk menangani hal meliputi:
- Keterlibatan dalam tindak kriminal kelompok kriminal yang terorganisir tempat pelaku bernaung;
- Keterlibatan pihak pelaku kriminal dalam aktivitas organisasi kriminal internasional;
- Keterlibatan pihak pelaku kriminal dalam tindak-tindak illegal lain yang masih dalam spektrum konvensi;
- Penggunaan kekerasan atau senjata oleh pelaku;
- Fakta pelaku memiliki jabatan dan tindak pidana terhubung dengan lingkup kewenangan jabatan;
- Viktimisasi;
- Fakta tindak pidana dilakukan dalam lingkungan institusi pemberi pidana atau dalam institusi pendidikan atau fasilitas pelayanan sosial atau tempat-tempat anak sekolah dan pelajar pergi untuk melakukan aktifitas olahraga, pendidikan atau kegiatan sosial lain;
- Keyakinan adanya dugaan terhadap pelanggaran lain yang dilakukan berkali-kali, di dalam atau di luar negeri.
Apabila dibaca secara menyeluruh, konvensi ini akan menyuratkan tentang restriksi lebih lanjut terhadap Narkotika dan Psikotropika, dengan tetap menekankan kebijakan-kebijakan domestik untuk memberlakukan pidana. Dan hal ini bermuara pada pertanyaan-pertanyaan menarik. Misalnya, apabila kemudian, suatu negara atas kebijakannya, melegalkan seluruh narkotika dan psikotropika dikomsumsi oleh publik khusus bagi negara, apa negara tersebut dapat dikenakan sanksi? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Regulasi Narkotika di Indonesia.
Secara singkat dan sederhana, pengaturan pidana narkotika berdasarkan pasal 6 UU 35 tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotik menjadi tiga golongan. Pada penjelasannya dituangkan bahwa Narkotika golongan I merupakan Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Lalu Narkotika golongan II adalah narkotika yang digunakan untuk pengobatan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Narkotika golongan III menyerupai definisi narkotika golongan II, hanya saja potensi ketergantungannya ringan.
Kemudian perbuatan yang menjadi perbuatan pidana sederhananya tertuang dalam pasal 609 sampai dengan pasal 611 KUHPB, dengan perbuatan yang dilarang adalah dengan tanpa hak memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, memproduksi, mengimpor, mengekspor, menyalurkan objek-objek tersebut.
Pidana mati dapat diterapkan bagi Setiap Orang yang tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I dan narkotika golongan II yang beratnya lebih dari 5 (lima) gram. Dalam hal narkotika golongan I Tanaman, maka batasannya adalah lebih 1(satu) kg atau 5(lima) batang pohon.
Demikianlah, sedikit tentang narkotika dalam spektrum Pidana Internasional. Artikel ini jelas tidak sempurna, selain karena kekuarangan penulis juga karena menekankan kesederhanaan. Namun setidaknya, memberikan gambaran umum bahwa kebijakan tentang Narkotika menjadi suatu pidana terletak dari unsur ekonomi dan sosial. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Peraturan perundangan:
KUHPB
UU 35/2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H