Dalam United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988, pada intinya memberikan regulasi yang lebih ketat dengan memanfaatkan kekuatan internasional untuk meredam pengembangan penyalahgunaan produksi dan distribusi narkotika di seluruh dunia. Hal ini dengan jelas pada Article 2 number 5 yang pada intinya menugaskan setiap negara seyogianya memiliki otoritas yang kompeten untuk menangani hal meliputi:
- Keterlibatan dalam tindak kriminal kelompok kriminal yang terorganisir tempat pelaku bernaung;
- Keterlibatan pihak pelaku kriminal dalam aktivitas organisasi kriminal internasional;
- Keterlibatan pihak pelaku kriminal dalam tindak-tindak illegal lain yang masih dalam spektrum konvensi;
- Penggunaan kekerasan atau senjata oleh pelaku;
- Fakta pelaku memiliki jabatan dan tindak pidana terhubung dengan lingkup kewenangan jabatan;
- Viktimisasi;
- Fakta tindak pidana dilakukan dalam lingkungan institusi pemberi pidana atau dalam institusi pendidikan atau fasilitas pelayanan sosial atau tempat-tempat anak sekolah dan pelajar pergi untuk melakukan aktifitas olahraga, pendidikan atau kegiatan sosial lain;
- Keyakinan adanya dugaan terhadap pelanggaran lain yang dilakukan berkali-kali, di dalam atau di luar negeri.
Apabila dibaca secara menyeluruh, konvensi ini akan menyuratkan tentang restriksi lebih lanjut terhadap Narkotika dan Psikotropika, dengan tetap menekankan kebijakan-kebijakan domestik untuk memberlakukan pidana. Dan hal ini bermuara pada pertanyaan-pertanyaan menarik. Misalnya, apabila kemudian, suatu negara atas kebijakannya, melegalkan seluruh narkotika dan psikotropika dikomsumsi oleh publik khusus bagi negara, apa negara tersebut dapat dikenakan sanksi? Jawabannya penulis serahkan pada pembaca.
Regulasi Narkotika di Indonesia.
Secara singkat dan sederhana, pengaturan pidana narkotika berdasarkan pasal 6 UU 35 tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotik menjadi tiga golongan. Pada penjelasannya dituangkan bahwa Narkotika golongan I merupakan Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Lalu Narkotika golongan II adalah narkotika yang digunakan untuk pengobatan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Narkotika golongan III menyerupai definisi narkotika golongan II, hanya saja potensi ketergantungannya ringan.
Kemudian perbuatan yang menjadi perbuatan pidana sederhananya tertuang dalam pasal 609 sampai dengan pasal 611 KUHPB, dengan perbuatan yang dilarang adalah dengan tanpa hak memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, memproduksi, mengimpor, mengekspor, menyalurkan objek-objek tersebut.
Pidana mati dapat diterapkan bagi Setiap Orang yang tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I dan narkotika golongan II yang beratnya lebih dari 5 (lima) gram. Dalam hal narkotika golongan I Tanaman, maka batasannya adalah lebih 1(satu) kg atau 5(lima) batang pohon.
Demikianlah, sedikit tentang narkotika dalam spektrum Pidana Internasional. Artikel ini jelas tidak sempurna, selain karena kekuarangan penulis juga karena menekankan kesederhanaan. Namun setidaknya, memberikan gambaran umum bahwa kebijakan tentang Narkotika menjadi suatu pidana terletak dari unsur ekonomi dan sosial. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.
Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Peraturan perundangan:
KUHPB