Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tarikah dan Waris

13 Maret 2024   18:43 Diperbarui: 14 Maret 2024   08:51 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para orang paruh baya besarung dan berpeci itu duduk bersila, memenuhi pinggiran karpet-karpet warna hijau yang mengisi ruangan. Deret piring berisikan makanan dan buah-buahan, hadir di tengah mereka, namun tidak satupun dari mereka tampak riang dengan kemewahan itu. Sebaliknya, mereka tampak murung dan beberapa dari mereka tidak berhenti bicara tentang kebaikan pemilik rumah, yang 100 hari lalu baru berpulang ke Rahmatullah.

Sholat dan dzikir yang telah selesai hari itu tidak menghentikan mereka untuk mengenang jasa rekan yang tidak akan mereka sangka meninggalkan mereka. Dan di sela-sela acara itu, istri dari pemilik acara tersebut tidak bisa berhenti memikirkan kelanjutan nasibnya, terutama bagaimana cara dia harus membagikan peninggalan suami tercintanya itu pada anak-anaknya di luar negeri dan belum kembali ke Indonesia.

Kematian adalah awal baru bagi orang yang percaya, serta dapat menjadi awal masalah bagi yang ditinggalkannya. Acap kali, kematian, terutama yang mendadak, tidak hanya memberikan cedera dan kejutan, namun juga meninggalkan tanggung jawab yang mungkin tidak diketahui oleh keluarga tersebut. Secara Islami sendiri, KHI telah mengatur pembagian waris dan yang akan menjadi pemaparan kali ini.

DEFINISI

Berdasarkan KHI, Hukum Kewarisan pada intinya hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, sekaligus menentukan subjek dan besaran tirkah yang diterima pewaris yang mendapatkan.

Secara sangat sederhana, waris dilakukan dari Pewaris kepada Ahli Waris, dengan cara pemberian Wasiat atau Hibah, dimana yang diwariskan tersebut berupa Harta Peninggalan dan Harta Warisan. Perbedaan Harta Peninggalan dan Harta Warisan adalah, Harta Peninggalan merupakan keseluruhan harta yang dimiliki Pewaris, sementara Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah harta bersama setelah digunakan untuk keperluan.

Dari hal ini, cukup jelas bahwa pewarisan hanya dapat dilakukan ketika pemberi warisan itu mati. Namun yang dimaksud mati dalam Hukum Islam dapat dibagi menjadi dua. Yaitu mati karena kematian, atau mati karena dianggap demikian. Mati dianggap demikian juga dibagi menjadi dua jenis, yaitu ghaib dan mafqud.

Mati ghaib dan mati mafqud sama-sama merujuk pada kondisi seseorang tidak diketahui kabar beritanya dalam jangka waktu tertentu, namun mati ghaib mengindikasikan orang tersebut masih hidup, sementara mati mafqud merujuk pada praduga orang tersebut sudah meninggal dunia. Takaran yang digunakan untuk menentukan mati karena dianggap demikian ini adalah usia dan territorial tempat orang itu terakhir berada.

AHLI WARIS

Ahli Waris adalah pihak yang berhak mendapatkan waris. Ahli Waris terhalang menjadi ahli waris bila dihukum karena dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat Pewaris, serta melakukan fitnah bahwa Pewaris melakukan kejahatan dengan hukum 5 tahun penjara. Secara konsep, ahli waris juga tidak bisa jadi ahli waris ketika murtad, pun kembali pada musyawarah keluarga itu sendiri.

Kemudian, KHI secara konkret mengatakan bahwa yang dapat jadi Ahli Waris adalah golongan laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan kandung dan hubungan semenda (paman dan saudara Perempuan) yang adalah hubungan darah (nasabiyah), dan hubungan karena karena perkawinan yaitu janda atau duda (sababiyah).

Yang berhak mendapatkan waris dasarnya adalah anak, ayah, ibu, janda atau duda. Kemudian paman, saudara perempuan tidak hubungan kandung mendapatkan waris hanya ketika ada kendala pewarisan dalam golongan I (anak, ayah, ibu, pasangan) tersebut.

Adapun ahli waris memiliki tanggung jawab sebagai penerima waris, yaitu mengurus pemakaman dan prosesi pemakaman jenazah, menyelesaikan hutang-hutang pemberi waris, menyelesaikan wasiat pewaris bila ada, kemudian membagi harta warisan kepada pihak yang berhak.

Secara Islami, ahli waris juga dapat dikategori menjadi dua jenis. Pertama, ahli waris dzawil furudh, yaitu ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan berdasarkan yang tertuang langsung dalam Al-Quran atau hadis Nabi Muhammad SAW. Kedua, ahli waris ashabah, yaitu ahli waris yang akan mendapatkan sisa harta setelah pewarisan dibagi-bagi merata kepada seluruh pihak yang berhak.

BESAR BAGIAN

Pada prinsipnya, pembagian dilakukan dengan rasio 2:1. 2 bagi laki-laki dan 1 bagi Perempuan, kecuali ditentukan lain dalam permusyawarahan pembagian waris. Untuk menentukan Harta yang akan dibagi, biasanya digunakan rumus :

Harta Bawaan + (1/2harta bersama+piutang) - (biaya perawatan+pemakaman) - wasiat dan hibah.

KHI mengatur pembagian tersebut pada pasal 176-191, yang sudah memasukkan harta peninggalan dalam perhitungannya menjadi Harta Waris. Apabila dijabarkan, rasionya meliputi :

  • Anak Perempuan dapat bagian, bila anak Perempuan lebih dari 1, maka dapat 2/3 bagian. Bila ada anak perempuan dan anak lelaki, rasio pembagian 2:1.
  • Ayah mendapat 1/3 bila pewaris tidak memiliki anak, bila ada anak ayah mendapat 1/6.
  • Ibu dapat 1/6 bagian bila ada anak, atau minial punya dua saudara. Bila tidak punya anak atau minimal dua saudara, Ibu dapat 1/3 bagian. Selain itu, Ibu juga dapat 1/3 sisa yang sudah dibagi kepada janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.
  • Duda dapat , bila pewaris punya anak.
  • Janda dapat , 1/8 bila pewaris punya anak.
  • Bila pewaris tidak punya anak dan ayah, saudara laki-laki dan Perempuan masing-masing dapat 1/6, bila mereka lebih dua orang atau lebih mereka mendapat 1/3(misal, bila saudara laki-lakinya 2 orang, saudara Perempuan 2 orang).
  • Pewaris meninggal tanpa anak dan ayah, tapi punya saudara sekandung atau seayah, saudara itu dapat 1/2 porsi. Bila saudara sekandung lebih dari dua orang, mereka bersama-sama mendapat 2/3, dengan rasio pembagian 2:1.

Bila kemudian harta yang dibagi ternyata mengalami kekurangan dari hasil nominal perhitungan, atau sebaliknya harta tersebut memiliki kelebihan, maka harta juga dapat dibagi berdasarkan aul dan rad. Pada intinya aul dan rad membicarakan tentang penambahan angka untuk menggenapi penyebut dan pembilang. Namun, perumusan dan porsi pembagian waris ini juga dilakukan tergantung dari musyawarah keluarga itu sendiri, mengingat waris juga diatur dalam perdata dan lebih menekankan unsur tertutup yang hanya dilakukan oleh pihak keluarga.

WASIAT

Wasiat pada intinya adalah pemberian benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Wasiat dilakukan dihadapan notaris, secara lisan atau secara tertulis dilakukan dihadapan 2 orang saksi. Unsur terpenting dari wasiat adalah ahli waris penerima wasiat disetujui oleh semua ahli waris. Kemudian, yang dapat diwasiatkan hanyalah benda tak bergerak.

Kemudian, wasiat dapat dilakukan dalam keadaan perang atau ketika pemberi wasiat itu sedang dalam perjalanan melalui laut. Wasiat juga tidak berlaku pada notaris yang mengurus perwasiatan itu, dan tidak berlaku juga bagi pemberi perawatan dan pemberi tuntunan kerohanian ketika pemberi wasiat itu menderita sakit.

HIBAH

Hibah merupakan pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari orang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Hibah menjadi bagian dari warisan karena dalam pasal 211 KHI menuangkan, bahwa Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Dalam keadaan pemberi hibah sakit yang dekat dengan kematian, pemberian hibah harus mendapat persetujuan dari ahli waris. Besaran wasiat dan hibah pada dasarnya sama, yaitu 1/3 dari total harta.

PELIK WARIS ISLAM

Dalam legal reasoning yang tertuang pada KHI itu sendiri, para peramu kompilasi menyatakan bahwa pada intinya hukum waris Islam ditujukan pada subjek yang mutlak memiliki dua syarat, pertama adalah patuh pada Hukum Islam, kedua adalah tunduk pada Hukum Islam, dimana ketika dua syarat itu terjadi, maka pembagian waris dilakukan secara Islam dan harus diselesaikan di Pengadilan agama.

Hanya saja, KHI tidak menjabarkan apa yang dimaksud pada patuh dan tunduk yang dimaksud. Tidak ada kriteria muslimin dan muslimah yang dikatakan patuh dan tunduk berdasarkan Hukum Islam Indonesia, kecuali dengan menggali dari sumbernya yaitu Agama Islam, Sunnah, dan Hadist. Hal ini menjadi percabangan implementasi terhadap Hukum Islam itu.

Kemudian, sifat imperatif dari kewajiban menyelesaikan semuanya secara Islami tidak memberikan ruang bagi masyarakat Islam untuk memilih atas pengadilan apa suatu sengketa diselesaikan, termasuk sengketa waris. Sederhananya, masyarakat Islam tidak dapat menggunakan perdata umum dalam hal mengurus pewarisannya.

Contoh konkret terhadap waris, misalnya, ketika seorang muslim mewariskan warisan pada anaknya yang non-muslim. Secara Islami muslim tersebut dilarang untuk memberikan waris terhadap anaknya, namun secara kontekstual dan secara keperdataan, hal tersebut masih dapat dilakukan. Tapi apakah dengan memberikan waris terhadap anaknya yang non-muslim, perbuatan muslim itu menegasi kepatuhan dan penundukkan dirinya terhadap Agama Islam, menjadi perdebatan. Hal seperti ini kembali pada sanubari masing-masing.

Kemudian, terkait dengan pemberian wasiat. Secara perdata pemberian wasiat dikaji setelah pemilik harta meninggal dunia, dengan testament atau surat wasiat. Ini cukup berbeda dengan wasiat dalam Islam, karena Wasiat Islam dilakukan berdasarkan syariat, artinya bukan berdasarkan penunjukan dari pemberi wasiat, melainkan berdasarkan nilai-nilai keislaman yang dimiliki individu dalam keluarga tersebut.

Demikianlah, perihal Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Qanun yang terkandung dalam KHI sekali lagi memang belum mengkodifikasi sumber-sumber yang digunakan dari dalam Agama Islam itu sendiri, sehingga kering akan kutipan-kutipan ayat Al-Quran, Sunnah, Hadits, ataupun Fiqh yang digunakan.

Tidak dikodifikasikannya penggunaan sumber Islami dalam kodifikasi kompilasi, menurut penulis juga menjadi faktor yang membuat pertimbangan terkait Hukum Islam dalam konteks hukum nasional menjadi polemik. Karena semua yang menggunakan KHI sebagai pondasi berfikir hukumnya kemudian mau tidak mau harus mencari dari sumber lain, dan dalam praktek peradilan hal tersebut menjadi suatu keniscayaan, mengingat praktek peradilan akan fokus kepada apa yang tertulis dalam peraturan perundangan, bukan terhadap teori.

Namun tidak berarti perangkum KHI tersebut tidak memiliki kapabilitas untuk memasukkan nilai-nilai tersebut sebagai landasan kepastian Hukum Islam yang dapat diberlakukan di Indonesia, untuk kemudian diramu secara universal. Terlebih, dalam alam pikiran perangkum KHI, impelementasi Hukum Islam harus juga dapat dibaca serta didalami oleh orang-orang non-muslim.

Akhir kata, semoga berkenan dan salam sehat untuk kita semua.

Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Peraturan Perundangan :

Kompilasi Hukum Islam. 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun