Sedikit Latar Belakang
Berdasarkan UU 13 pasal 1 tahun 2016 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Invensi sendiri adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Hal ini penting karena Paten pada hakikatnya merupakan perlindungan terhadap kebaruan (invensi) itu sendiri. Secara singkat, Paten sendiri terbagi dua jenis, meliputi Paten dan Paten Sederhana.
Kemudian, objek apa saja yang sekiranya dapat dipatenkan, sudah tertuang dalam definisi Invensi menurut undang-undang itu juga, yaitu Produk atau Proses. Pun memang, abstraksi dari objek paten itu selalu mengundang tanya, karena umumnya bila ditanya apa saja yang bisa dipatenkan, maka jawabannya benda secara konkret, misalnya mesin, bakteri, propeler, obat, dan sebagainya.
Namun, Indonesia tidak/belum memiliki baku klasifikasi objek yang dapat dipatenkan. Untuk mengatasi kekosongan tersebut, digunakan Persetujuan Strasbourg tahun 1971 yang juga dapat diakses lewat DJKI atau WIPO tentang IPC (International Patent Classification). IPC sendiri terbagi menjadi 8 jenis objek utama yang dapat dipatenkan, meliputi :
Human Necessities;
Terkait dengan kebutuhan manusia. Meliputi: Agraria, Makanan;Tembakau, Barang Domestik (baju, topi, mebel, dsb), Kesehatan;Penyelematan Nyawa;Hiburan.
Performing Operation; Transporting;
Terkait dengan Proses Pendayagunaan, meliputi: Pemisahan;Pencampuran, Pembentukan, Pencetakan, Pengiriman, Teknologi Mikrostruktur;Nanoteknologi.
Chemistry; Metalurgy;
Terkait dengan zat kimia dan logam, meliputi: Kimia, Metalurgi(logam), Teknologi Kombinatorial.
Textiles; Paper;
Terkait dengan tekstil dan kertas, meliputi: Tekstil atau Material Fleksibel, Kertas
Fixed Construction;
Terkait dengan bangunan, meliputi: Bangunan, Paku Bumi atau Bor Bebatuan; Tambang.
Mechanical Engingeering; Lightning; Heating; Weapons; Blasting
Terkait dengan permesinan, meliputi: Mesin atau Pompa, Permesinan Umum, Pencahayaan; Pemanasan, Senjata;Peledakan.
Physics;
Terkait dengan fisika. Misalnya optik, horologi, fotografi, nuklir, dan sebagainya.
Electricity;
Terkait dengan kelistrikan. Misalnya proses konversi Listrik, sirkuit Listrik, tehnik, semiconductor, dan sebagainya.
Sebagai tambahan, semua list tersebut kemudian memiliki substansi tambahannya masing-masing, dimana jumlah klasifikasi produk atau proses yang dapat dipatenkan bisa mencapai ratusan, mungkin ribuan objek. Berdasarkan data terakhir dari website WIPO pada tahun 2022, Paten di seluruh penjuru Bumi mencapai kurang lebih 3,5 juta paten.
PERBANDINGAN PATEN DAN PATEN SEDERHANA.
Terkait Paten, klaim terhadap Paten merupakan 1 invensi atau beberapa invensi yang menjadi satu kesatuan, dengan masa perlindungan 20 tahun sejak tanggal penerimaan paten. Pengumuman permohonan 18 bulan sejak penerimaan, dengan jangka waktu mengajukan keberatan paling lambat 6 bulan sejak diumumkan.
Ada 3 hal ketika pemeriksaan terhadap Paten dilakukan. Pertama, kebaharuan (novelty), langkah inventifnya, dan penerapannya dalam industri. Pemeriksaan alat tersebut dilakukan paling lama 36 bulan sejak tanggal penerimaan. Dan terakhir, objek Paten adalah produk dan proses.
Berbeda dengan Paten Sederhana, Paten Sederhana hanya dapat digunakan untuk 1 invensi, dengan masa perlindungan 10 tahun sejak tanggal penerimaan paten. Pengumuman permohonan 3 bulan sejak penerimaan, dengan jangka waktu mengajukan keberatan paling lambat 3 bulan sejak diumumkan.
Pemeriksaan terhadap Paten Sederhana hanya melibatkan 2 hal, yaitu kebaharuan (novelty) dan dapat diterapkan industri. Pemeriksaan alat tersebut dilakukan paling lama 24 bulan sejak tanggal penerimaan. Dan terakhir, objek Paten adalah produk atau alat.
Dari kedua perbandingan tersebut, maka cukup terang Paten Sederhana memiliki prosedur pengesahan yang lebih singkat daripada Paten, dengan cakupan yang lebih terbatas juga. Kendati demikian, unsur kebaharuan (novely) dan unsur kegunaan dalam industri menjadi hal yang sangat diperhatikan dalam pengesahan paten itu sendiri.
Kembali pada undang-undang, selain daripada Produk dan Proses yang dapat diberikan paten, UU 13/2016 tentang Hak Paten memberikan batasan pada Invensi yang tidak dapat dipatenkan. Hal tersebut tertuang pada pasal 9, meliputi :
a. proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/ atau hewan;
c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;
d. makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau
e. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis.
Pengaturan tentang Hak Paten lainnya, tidak jauh berbeda dengan Hak Cipta. Dimana Hak Paten juga memiliki masa berlaku, dapat diwariskan, memiliki ketentuan Lisensi, penyelesaian sengketa, ketentuan pidana dan memiliki pengaturan tentang Royalty juga. Pembedanya, selain daripada subjek hukum dan objek hukum yang diatur, pemerintah memiliki peranan yang lebih banyak untuk melindungi, bahkan ikut terlibat sebagai subjek yang dapat menggunakan Hak Paten.
PELAKSANAAN PATEN OLEH PEMERINTAH
Peranan Pemerintah tertuang jelas dalam Bab VIII PELAKSANAAN PATEN OLEH PEMERINTAH. Dalam pasal 109 ayat 1 UU a quo berbunyi :
"Pemerintah dapat melaksanakan sendiri paten di Indonesia berdasarkan pertimbangan:
a. berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara; atau
b. kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat."
Pada intinya, Pemerintah dapat melaksanakan dengan menggunakan daya paksanya sebagai pelaksana kedaulatan negara hanya dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa ( force majeure ) dan digunakan dalam segmentasi non-komersial yang sangat terbatas, yaitu hanya meliputi Ketahanan dan Keamanan Negara, serta segmen non-komersial yang melingkupi kesehatan, pertanian, dan lingkungan hidup.
Dalam pelaksanaan paten terkait Ketahanan dan Keamanan Negara, pemerintah tidak diwajibkan untuk meminta izin pada Pemegang Paten, karena Pemegang Paten secara otomatis kehilangan Hak Eksklusifnya. Di sisi lain, Pemegang Paten tidak dapat melaksanakan Hak Eksklusifnya. Namun terkait Kesehatan, Pertanian, dan Lingkungan Hidup, Pemegang Paten tidak kehilangan Hak Eksklusifnya.
HAK PRIORITAS
Dalam pasal 1 ayat 10 UU 13 tahun 2016 tentang Hak Paten ini adalah, hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris tentang Perlindungan Kekayaan Industri (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan perjanjian internasional dimaksud.
Secara sederhana, Hak Prioritas ini merupakan hak untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain yang tergabung dalam Konvensi Paris atau WTO terhadap invensinya berdasarkan waktu pendaftaran. Hal ini menjadi krusial mengingat Hak Paten sulit untuk didapatkan, sementara Kekayaan Intelektual sendiri merupakan gagasan yang dimanifestasikan, sehingga sangat mungkin ada pihak lain yang juga membuat invensi yang sama. Ketentuan adanya Hak Prioritas ini juga menyiratkan bahwa suatu invensi yang ditemukan di negara Inventor belum tentu mendapat pengakuan dari negara lainnya.
TEORI DAN DOKTRIN PERLINDUNGAN PATEN
Masuk pada lapisan teori dan doktrin, Teori Perlindungan Paten tidak berbeda jauh dengan Teori Perlindungan Kekayaan Intelektual itu sendiri. Namun, secara prinsip, Perlindungan Paten memiliki pembedanya sendiri dengan Kekayaan Intelektual lain. Dalam Hukum Paten, ada empat doktrin yang dipegang teguh, doktrin itu meliputi :
Doctrine of equivalents.
Singkatnya, invensi atau proses invensi yang tidak melanggar klaim dapat dinyatakan melanggar ketika memiliki kesamaan elemen atau proses.
Doctrine of Anticipations.
Invensi harus tidak dapat diantisipasi oleh ahli-ahli bidang tersebut dan diantisipasi oleh invensi sebelumnya.
Doctrine of Best Mode.
Inventor wajib membuka dokumen invensinya terhadap publik atas invensinya yang telah mendapat perlindungan.
Doctrine of Technical Action.
Invensi harus memiliki kegunaan Teknis.
Sementara terkait dengan teorinya, ada banyak. Namun menurut penulis, impelementasi Paten lebih tepat menggunakan teori yang merujuk pada kepentingan publik. Hal ini dikarenakan Pemerintah dapat melakukan intervensi terhadap invensi sekaligus dapat ikut serta sebagai pelaku pelaksanaan Invensi itu sendiri.
Dan untuk hal tersebut, teori Kekayaan Intelektual yang selaras dengan kepentingan publik Teori Fungsional ( Functional Theory ). Teori ini dikemukakan oleh Talcot Parson dan Robert K. Merton. Teori ini meletakkan masyarakat sebagai pangkal sudut pandang, dimana masyarakat secara holistik yang kemudian diuntungkan atau dirugikan terhadap adanya suatu invensi.
Esensi dari teori fungsional adalah mengintegrasikan dan mengadaptasi Kekayaan Intelektual, termasuk invensi, untuk memiliki kontribusi terhadap kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat dalam satu wilayah tersebut. Kedua upaya tersebut diharapkan bermuara pada pembangunan Sumber Daya Masyarakat dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan kreatifitas masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Demikianlah secara singkat tentang Hak Paten. Karena keterbatasan, penulis tidak dapat mencari lebih jauh tentang Hak Paten sehingga ada beberapa gap yang perlu diisi, terutama implementasinya pada kasus-kasus Paten. Terutama dalam mengkaji secara kritis doktrin yang sudah ada sejak tahun 1930an itu, dimana perlu dipertanyakan lagi relevansinya untuk perkembangan teknologi yang semakin lama semakin gencar yang berusaha menembus batas-batas kewajaran hidup sehari-hari.
Akhir kata, semoga bermanfaat.
Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Referensi :
Modul Perkuliahan.
Strasbourg Agreement 1971. Diakses dari WIPO.
DJKI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H