Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Actio De Dolo Malo

6 Maret 2024   18:59 Diperbarui: 6 Maret 2024   19:41 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Black Law Dictionary Fourth Edition, actio de dolo malo memiliki arti "An action of fraud; an action which lay for a defrauded person against the defrauder and his heirs, who had been enriched by the fraud, to obtain the restitution of the thing of which he had been fraudulently deprived, with all its accessions (cum omni causa;) or, where this was not practicable, for compensation in damages."

Dari definisi, dapat diketahui bahwa actio de dolo malo adalah perbuatan terkait penipuan. Secara konkret, merupakan perbuatan yang dilakukan oleh pihak tertipu terhadap penipu dan ahli warisnya, yang telah kaya karena hasil tipuan itu, untuk memperoleh restitusi terhadap benda yang menjadi objek penipuan, serta segala tambahannya (cum omni causa). Atau, ketika hal itu tidak dapat dilakukan, maka dilakukan kompesasi terhadap kerusakan.

Bila disederhanakan, maka actio de dolo malo ini adalah perbuatan Tertipu dalam pengadilan demi memulihkan kerugiannya dikarenakan ada pihak yang menipunya. Perbuatan ini juga mengikutsertakan ahli waris, serta pemulihan dengan segala tambahan akibat perbuatan menipu tersebut.

Ada beberapa hal penting terkait dengan actio de dolo malo yang membedakannya dengan perbuatan actio lainnya. Pertama, perbuatan ini langsung merujuk pada konsep penipuan sebagai objek perbuatan. Hal ini meletakkan terminologi, bila bukan asas, ini sebagai perbuatan yang khusus dilakukan.

Kedua, konsep actio de dolo malo memiliki unsur accesoria terhadap subjek dan objek yang dipersoalkan, yaitu dilibatkannya ahli waris, dan kekayaan yang bertambah karena penipuan tersebut. Unsur accesoria yang dimaksud merupakan unsur tambahan yang dapat mempengaruhi unsur utama. Tentang accesoria, telah tertuang pada artikel accesorius sequitur naturam sui principalis dan accesorium non ducit sed sequitur suum principale, yang kedua adagium tersebut menitikberatkan pada hukum pidana.

Terkait dengan penipuan masuk ke dalam ranah pidana, juga telah tertulis artikel actio damni injuria yang sedikit mengulas tentang perbuatan melawan hukum, dimana pada intinya ketentuan perdata yang memiliki irisan dengan ketentuan pidana, dapat dikenakan norma pidana. Penipuan adalah salah bentuk perbuatan yang diatur dalam hukum perdata dan hukum pidana.

Pada akarnya, penipuan secara hukum perdata diatur dalam pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : "Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan" yang juga menyangkut dengan tujuan hukum perdata itu sendiri, yaitu mengatur hubungan hukum antar para subjek hukum.

Sementara dalam hukum pidana, pasal 378 berbunyi :

"barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun."

Baca juga: Actio Damni Injuria

Dalam KUHP Baru (UU 1/2023) pidana penipuan kemudian mendapat penjelasan yang komprehensif, dengan nomor pasal berbeda yaitu pasal 492. Pada bagian penjelasan pasal 492, tertuang bahwa pidana penipuan mengatur perbuatan untuk memberikan sesuatu Barang, membuat utang atau menghapus piutang secara melawan hukum.

Penjelasan yang sama juga menerangkan secara konkret bahwa penipuan merupakan Tindak Pidana terhadap harta benda, dimana perbuatan Penipuan ini menekankan pada intensi penipu karena penjelasan tersebut mensyaratkan ada tindakan dari pihak Tertipu lebih dulu agar perbuatan ini merupakan perbuatan pidana, sebagaimana dituliskan dengan bunyi :

"perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pelaku Tindak Pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pelaku."

Sampai disini, apabila yang Tertipu kemudian mengajukan gugatan lewat koridor perdata, maka yang dilakukan Tertipu bukan langsung actio de dolo malo, karena tujuan actio dari penggugat biasa bermuara pada restitusi atau kompesasi, sebagai bentuk pemulihan kerusakan yang dialami oleh penggugat itu sendiri.

Agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai actio de dolo malo, perbuatan gugatan atau tuntutan tersebut harus mengandung unsur accesoir. Unsur accesoir pada dasarnya adalah unsur tambahan dalam unsur utama, dimana bila tidak ada unsur utama, maka tidak akan ada unsur tambahan, walaupun pertanggungjawaban terhadap tambahan itu dapat berdiri sendiri.

Adapun unsur tambahan dalam actio de dolo malo ada dua, yaitu ahli waris sebagai subjek tambahan, dan kekayaan yang bertambah sebagai objek. Dan dengan adanya dua unsur tersebut, maka penerapan actio de dolo malo sangat limitatif, mengingat ahli waris sebagai subjek dapat berdiri sendiri dalam pertanggungjawabannya, begitu juga kekayaan dimana kekayaan tersebut dapat bertambah dari sumber lain walaupun dilakukan secara bersamaan dengan tindakan penipuan.

Limitasi actio de dolo malo dijelaskan dalam buku Mackeldey on roman Law 227, Because of Fraud. Pada point kedua, dengan jelas berbunyi : "this action of dolo malo was, however, as an action of infamy (actio famosa), subjected by the Roman Law to many restrictions, and in those cases where it could not be employed, in the absence of any other legal remedy, an action on the case (actio in factum) was sometimes allowed."

Dari hal tersebut, dapat diketahui bahwa actio de dolo malo bukan hanya diterapkan secara limitatif, melainkan juga secara restriktif. Bukan hanya membatasi perbuatan penipuan yang dapat diajukan oleh subjek Tertipu, actio de dolo malo juga diterapkan secara ketat, dimana kekuatannya biasa sangat tergantung dengan bagaimana pembuktian dilakukan.

Terkait dengan subjek tambahan, actio de dolo malo dengan jelas merumuskan bahwa ahli waris terlibat juga dalam perbuatan penipuan. Dalam KUHP lama Indonesia, tindakan dari subjek tambahan spektrum penyertaan, dimana penyertaan dalam tindak pidana diatur pada pasal 55 sampai dengan pasal 62. Pasal 55 KUHP pidana berbunyi :

"(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya."

Sementara dalam KUHP Baru penyertaan tertuang pada pasal 20 sampai dengan pasal 22, terutama pada pasal 20 dan pasal 21. Untuk mempersingkat, pada intinya bila sang ahli waris terbukti tidak melakukan tindak pidana seperti yang dijabarkan kedua pasal tersebut, maka actio de dolo malo tidak dapat digunakan.

Sementara terkait dengan objeknya, yaitu kekayaan yang bertambah karena tindakan penipuan itu, yang kemudian dimintakan oleh pihak yang tertipu, diatur dalam beberapa peraturan perundangan, namun terangkum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2018 tentang Pemberian Kompesasi, Restitusi, dan Bantuan kepada saksi dan korban, dimana menjadi jembatan bagi pihak berwenang untuk memberikan hasil sita harta dari pelaku penipuan itu.

Adapun dasar penyitaan itu sendiri diatur dalam KUHAP pasal 1 ayat 16 yang berbunyi : "Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan" yang kemudian dilanjutkan dengan proses-proses yang juga tertuang dalam KUHAP.

Hanya saja, di Indonesia sendiri belum ada peraturan perundangan yang memberikan kepastian terhadap actio de dolo malo dalam hal menyita, memberikan atau mengembalikan kekayaan yang bertambah karena tindakan penipuan. Karena, kekayaan yang bertambah akibat penipuan berbeda dengan kekayaan hasil menipu itu sendiri.

Sebagai sampel kasus, sebut saja dalam kasus First Travel, dimana MA kemudian memutuskan agar semua harta benda calon haji dikembalikan. Apabila actio de dolo malo digunakan dalam kasus ini, maka sejak awal pihak pengadilan juga akan menyita kekayaan yang bertambah akibat penipuan terhadap para jemaah itu, dan hasil dari putaran harta yang berasal dari tindak penipuan itu juga diberikan pada korban. Ditambah juga mempidanakan segenap keluarga kandung dan semenda yang mendapatkan keuntungan dari perbuatan pidana tersangka.

Dari kasus first travel tersebut, jelas menunjukkan bahwa tingkat kompleksitas actio de dolo malo pada dasarnya hampir tidak mungkin untuk dimanifestasikan, terutama pada spektrum kasus-kasus penipuan besar. Namun tidak menutup kemungkinan perbuatan de dolo malo dapat dilakukan bila memang memenuhi syarat untuk dilakukan.

Demikianlah, actio de dolo malo merupakan istilah, apabila bukan asas, terkait gugatan dan penanganan perbuatan penipuan. Penerapannya dilakukan secara khusus hanya pada ranah kriminal atau pidana, kemudian melibatkan accessorium terkait subjek dan objek pihak yang dapat dikenakan tindakan tersebut.

Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Referensi :

Black Law Dictionary Fourth Edition.

Mackeldey; Handbook of the Roman Law. 189-190.

Opini :

Menyoal Penyitaan Barang Bukti Milik Terpidana. MKRI.

Peraturan Perundangan :

KUHP Lama.

KUHP Baru.

KUHAP.

KUH Perdata.

PP 7/2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada saksi dan korban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun