Menurut Black Law Dictionary, actio confessoria memiliki arti "An affirmative petitory action for the recognition and enforcement of a servitude. So called because based on plaintiff's affirmative allegation of a right in defendant's land. Distinguished from an actio negatoria, which was brought to repel a claim of defendant to a servitude in plaintiff's land"
Dalam Bahasa Indonesia, actio confessoria memiliki terjemahan "perbuatan gugatan petitori afirmatif demi rekognisi dan pelaksanaan suatu perhambaan. Dikatakan demikian karena perbuatan didasarkan dugaan afirmatif penggugat terhadap hak di tanah tergugat. Berbeda dengan actio negatoria, yang diajukan untuk menangkis klaim untuk perhambaan di tanah penggugat."
Untuk memperjelas pemaknaan, maka perlu dicari makna dari beberapa istilah yang ada dalam definisi, meliputi gugatan petitori afirmatif ( affirmative petitory action ) yang mungkin sangat asing dalam istilah hukum di Indonesia, serta definisi actio negatoria yang dikatakan sebagai pembeda dari actio confessoria.
Dalam kamus yang sama, dituangkan bahwa Petitory Action adalah "A droitural action; that is, one in which the plaintiff seeks to establish and enforce, by an appropriate legal proceeding, his right of property, or his title, to the subject matter in dispute; as distinguished from a possessory action, where the right to the possession is the point in litigation, and not the mere right of property.". Kemudian, Affirmative yang dimaksud merujuk pada "that which declares positively; that which avers a fact to be true; that which establishes; the opposite of negative."
Maka "affirmative petitory action" yang dimaksud adalah suatu perbuatan penggugat sesuai dengan prosedur hukum yang layak, untuk menetapkan dan melaksanakan haknya terhadap properti, gelar, atau terhadap hal yang dipermasalahkan, yang berbeda dengan gugatan hak guna, dimana gugatan tersebut dapat masuk ke ranah litigasi dan tidak menyangkut hak milik itu sendiri.
Perlu ditambahkan bahwa dalam ranah hak milik, Indonesia tidak membedakan secara terang antara Possesion dan Ownership, namun pernah diterangkan dalam artikel a summo remedio ad inferiorem actionem bahwa konsep hak milik di Indonesia memiliki hierarkinya, dimana kemudian ownership lebih mendekati hak eigendom (hak milik yang bersifat absolut), sementara possession lebih merujuk pada hak guna apapun dibawah hak eigendom.
Kemudian, actio negatoria dalam Black Law Dictionary memiliki arti ". An action brought to repel a claim of the defendant to a servitude in the plaintiff's land.". Dari definisi tersebut, terang bahwa actio negatoria merupakan reaksi dari adanya aksi tergugat terkait perhambaan di tanah penggugat. Â
Dari semua penjabaran tersebut, maka dapat diketahui bahwa actio confessoria merupakan perbuatan hukum dimana penggugat menggugat hak guna suatu objek terhadap tergugat, yang mana perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan penuh secara hukum karena memiliki dasar hukum yang cukup bagi penggugat untuk melakukan gugatan itu.
Kemudian, melihat dari perbandingan antara actio confessoria dan actio negatoria, maka cukup jelas bahwa objek yang menjadi sengketa adalah hak guna. Yang membedakannya kedua istilah, apabila bukan asas, adalah posisi pelaku perbuatan. Actio confessoria berawal pada Penggugat terhadap Tergugat, sementara actio negatoria bermula dari Tergugat terhadap Penggugat.
Menurut Roman Law oleh Hunter, actio confessoria dan actio negatoria berada dalam konteks Perhambaan (Servitude). Servitude terbagi menjadi beberapa dua jenis utama yaitu Personal Servitude dan Praedial Servitude. Adapun actio confessoria dan actio negatoria termasuk tindakan pemulihan dalam konteks Praedial Servitude, menempatkan perbuatan ini merupakan perbuatan khusus.
Praedial Servitude sendiri memiliki definisi "a definite right of enjoyment of one man's land by the owner of adjoining land; including in the term "land" also houses". Dikatakan sebagai Praedial karena hak perhambaan tersebut tidak akan ada tanpa adanya tanah atau bangunan. Dalam konteks Praedial Servitude, terdapat dua jenis Servitude yang meliputi Urban Servitude dan Rural Servitude.
Rural Servitude adalah jenis servitude dikatakan juga sebagai Jus Rusticorum Praediorum, dimana pekerjaan perhambaan tersebut merujuk hanya pada tanah, dan hanya dapat eksis ketika tidak ada rumah di atas tanah itu. Sementara, Urban Servitude juga dikenal dengan istilah Jus Urbanum Praediorum, dimana bentuk pekerjaan tersebut hanya terkait dengan rumah, walaupun karena pekerjaan tersebut tanah di sekitarnya dapat mengalami dampak tertentu.
Secara konkret, dalam halaman 425 buku Roman Law oleh Hunter, ada tertuang tentang actio confessoria yang berbunyi :
"actio confessoria -- this action tries the right to the servitude and the form was either, it is my right to do what you have prevented; or, it is not your right to do what you have begun. It can be brought only by the owner of the dominant land; or by person having substantially the same rights, as a mortagee in possession. It lies against against the owner of the servient land, or anyone else that interferes with the enjoyment of the servitude, although in this case the interdict would generally be the preferable remedy. The burden of proof lay on the plaintiff."
Dari kutipan tersebut, telah terang bahwa actio confessoria tidak memberikan batasan penggunaan terhadap Perhambaan itu sendiri. Artinya, actio confessoria dapat dilakukan dalam bentuk Perhambaan apapun, selama memenuhi unsur-unsur yang tertuang, yaitu dilakukan oleh pemilik tanah atau pemilik rumah cicil, ditujukan pada subjek perhambaan atau semua yang menghalangi kenikmatan Perhambaan.
Dalam konteks Indonesia, perhambaan yang dimaksud tidak berbeda dengan perbudakan. Secara singkat, ketentuan perbudakan atau perhambaan ini kemudian beradaptasi menjadi hukum ketenagakerjaan yang juga berkaitan dengan Hukum Hak Asasi Manusia. Hukum ketenagakerjaan sendiri diatur dalam UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sementara Hukum HAM diatur dalam UU 39 tahun 1999.
Karena adanya kedua peraturan perundangan tersebut, maka bentuk pekerjaan yang dapat dikenakan actio confessoria tidak lagi dikatakan sebagai perbudakan, melainkan Pekerja Kasar, bila bukan Pekerja Lepas. Pekerja Kasar sendiri tidak atau belum diatur secara konkret dalam peraturan perundangan Indonesia, namun konotasinya sudah melekat dengan pekerjaan yang melakukan pekerjaan fisik yang sangat berat. Misal pemanen padi sewaan yang termasuk dalam Rural Servitude, atau kuli panggul yang termasuk Urban Servitude, atau Pembantu Rumah Tangga, dan sebagainya.
Mengingat sifatnya Pekerja Kasar yang sangat tentatif serta dinamis, maka bentuk pekerjaan kemudian lebih diatur dalam kontrak dan bukan dalam UU, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap para Pekerja Kasar tersebut. Namun karena problematika tersebut akan memperluas lingkup pembahasan dan mengaburkan objek kajian, maka tidak dibahas.
Namun jelas, problematika tersebut mengarah pada ketentuan tentang actio confessoria yang kembali pada kebijaksanaan pemberi kerja, baik itu orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau yang lainnya. Adapun pengaktifan actio confessoria oleh pemberi kerja, dalam hal untuk melindungi para pekerja tersebut, diatur dalam pasal 35 ayat 3 yang berbunyi :
"Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja."
Tentu saja, pengaktifan tersebut lebih menitikberatkan pada kontrak antara pemberi kerja dan pekerja, mengingat actio confessoria pada esensinya menekankan perbuatan hukum oleh pemberi kerja daripada para pekerja itu sendiri, karena dalam perspektif ini, para pekerja ditempatkan menjadi objek hukum yang ditanggungkan oleh pemberi kerja, bukan subjek hukum.
Demikianlah, actio confessoria merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi kerja dalam rangka melindungi objeknya, termasuk juga para pekerja yang ada dibawah naungannya. Keterkaitan asas ini dengan ketenagakerjaan berdasarkan latar belakang bahwa actio confessoria secara khusus digunakan dalam hal Perhambaan, dimana aktivasinya tergantung dari bagaimana Pemberi Kerja melihat pekerjanya sebagai aset atau sebagai manusia.
Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Referensi :
Black Law Dictionary Fourth Edition.
Hunter; Roman Law. 425.
Pekerja Lepas Merasa Tidak Dilindungi UU Ketenagakerjaan. Diakses dari Berita MKRI.
Peraturan Perundangan :
UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
RUU Pembatu Rumah Tangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H