Rural Servitude adalah jenis servitude dikatakan juga sebagai Jus Rusticorum Praediorum, dimana pekerjaan perhambaan tersebut merujuk hanya pada tanah, dan hanya dapat eksis ketika tidak ada rumah di atas tanah itu. Sementara, Urban Servitude juga dikenal dengan istilah Jus Urbanum Praediorum, dimana bentuk pekerjaan tersebut hanya terkait dengan rumah, walaupun karena pekerjaan tersebut tanah di sekitarnya dapat mengalami dampak tertentu.
Secara konkret, dalam halaman 425 buku Roman Law oleh Hunter, ada tertuang tentang actio confessoria yang berbunyi :
"actio confessoria -- this action tries the right to the servitude and the form was either, it is my right to do what you have prevented; or, it is not your right to do what you have begun. It can be brought only by the owner of the dominant land; or by person having substantially the same rights, as a mortagee in possession. It lies against against the owner of the servient land, or anyone else that interferes with the enjoyment of the servitude, although in this case the interdict would generally be the preferable remedy. The burden of proof lay on the plaintiff."
Dari kutipan tersebut, telah terang bahwa actio confessoria tidak memberikan batasan penggunaan terhadap Perhambaan itu sendiri. Artinya, actio confessoria dapat dilakukan dalam bentuk Perhambaan apapun, selama memenuhi unsur-unsur yang tertuang, yaitu dilakukan oleh pemilik tanah atau pemilik rumah cicil, ditujukan pada subjek perhambaan atau semua yang menghalangi kenikmatan Perhambaan.
Dalam konteks Indonesia, perhambaan yang dimaksud tidak berbeda dengan perbudakan. Secara singkat, ketentuan perbudakan atau perhambaan ini kemudian beradaptasi menjadi hukum ketenagakerjaan yang juga berkaitan dengan Hukum Hak Asasi Manusia. Hukum ketenagakerjaan sendiri diatur dalam UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sementara Hukum HAM diatur dalam UU 39 tahun 1999.
Karena adanya kedua peraturan perundangan tersebut, maka bentuk pekerjaan yang dapat dikenakan actio confessoria tidak lagi dikatakan sebagai perbudakan, melainkan Pekerja Kasar, bila bukan Pekerja Lepas. Pekerja Kasar sendiri tidak atau belum diatur secara konkret dalam peraturan perundangan Indonesia, namun konotasinya sudah melekat dengan pekerjaan yang melakukan pekerjaan fisik yang sangat berat. Misal pemanen padi sewaan yang termasuk dalam Rural Servitude, atau kuli panggul yang termasuk Urban Servitude, atau Pembantu Rumah Tangga, dan sebagainya.
Mengingat sifatnya Pekerja Kasar yang sangat tentatif serta dinamis, maka bentuk pekerjaan kemudian lebih diatur dalam kontrak dan bukan dalam UU, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap para Pekerja Kasar tersebut. Namun karena problematika tersebut akan memperluas lingkup pembahasan dan mengaburkan objek kajian, maka tidak dibahas.
Namun jelas, problematika tersebut mengarah pada ketentuan tentang actio confessoria yang kembali pada kebijaksanaan pemberi kerja, baik itu orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau yang lainnya. Adapun pengaktifan actio confessoria oleh pemberi kerja, dalam hal untuk melindungi para pekerja tersebut, diatur dalam pasal 35 ayat 3 yang berbunyi :
"Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja."
Tentu saja, pengaktifan tersebut lebih menitikberatkan pada kontrak antara pemberi kerja dan pekerja, mengingat actio confessoria pada esensinya menekankan perbuatan hukum oleh pemberi kerja daripada para pekerja itu sendiri, karena dalam perspektif ini, para pekerja ditempatkan menjadi objek hukum yang ditanggungkan oleh pemberi kerja, bukan subjek hukum.
Demikianlah, actio confessoria merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemberi kerja dalam rangka melindungi objeknya, termasuk juga para pekerja yang ada dibawah naungannya. Keterkaitan asas ini dengan ketenagakerjaan berdasarkan latar belakang bahwa actio confessoria secara khusus digunakan dalam hal Perhambaan, dimana aktivasinya tergantung dari bagaimana Pemberi Kerja melihat pekerjanya sebagai aset atau sebagai manusia.