Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 7 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Accusare Nemo Debet, Nisi Coram Deo

17 Januari 2024   10:57 Diperbarui: 17 Januari 2024   11:00 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menurut Black Law Dictionary Fourth Edition, accusare nemo debet, nisi coram deo memiliki arti "no one is bound to accuse himself, except before God". Dalam Bahasa Indonesia, asas ini memiliki makna "tidak ada yang terikat oleh tuduhan, kecuali dihadapan Tuhan".

Asas ini dapat ditemukan dalam beberapa buku lain. Pertama, asas ini dikemukakan dalam Report of Cases adjudged in the Court of Exchequer tahun 1655 sampai dengan 1660 yang dipersembahkan pada Raja Charles, yang dibuat oleh Thomas Hardres. Asas ini kemudian digunakan pada Bagian De Termino Sancti Hillarii Anno Domini 1658, In Scaccario.

Accusare nemo debet, nisi coram deo kemudian tertuang dalam bentuk paragraf nomor dua yang berbunyi : "For the Law of Nature. That is of the same stamp; hence the rule, nemo tenetur seipsum prodere, vel accusare; and upon that rule it is, that if the man will prefer a bill to compel me to answer what trespasses I have commited upon his land, or what other injury I have done him; I shall not be compelled to answer to such a bill, as the common rule in all courts is, because it is matter of crime and tort; for which I am finable and punishable in another court, over and above what damages the party is to recover against me..."

Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa accusare nemo debet, nisi coram deo merupakan salah satu asas yang melengkapi postulat nemo tenetur seipsum prodere, vel accusare yang memiliki makna "no one is bound to betray or accuse themselves". Selain itu, pernyataan tersebut juga menjelaskan bahwa subjek hukum itu sedang membela diri dari tuduhan yang dilemparkan padanya terkait dengan Tort.

Sedikit tentang Tort, Tort dapat dikatakan sebagai bagian dari hukum publik yang apabila dilanggar, akan membuat pelanggar harus mengganti rugi sebagai akibat dari perbuatan tersebut. Perbuatan yang dimaksud dalam hukum Tort terkadang disamarkan sebagai hukum pidana karena sifat kriminalitasnya, ataupun hukum kontrak karena sifatnya yang tertutup antara para subjek dan menekankan kontrak, walaupun pada esensinya sangat berbeda.

Secara sederhana, perbedaan Tort dengan tindak pidana adalah Tort merugikan subjek tertentu dengan menjadikan objek tertentu sebagai objek yang dirusak, sementara pidana biasanya merugikan negara. Kemudian yang dikategorikan sebagai Tort pada dasarnya berpijak pada suatu perjanjian tertentu dengan subjek yang lain, sementara pidana tidak didasarkan oleh perjanjian tertentu.

Konsekuensi hukum yang terjadi karena Tort biasanya hanya berupa kompesasi terhadap objek hukum yang mengalami kerusakan sebagai bentuk pemulihan. Sementara pidana memiliki banyak gradasi yang disesuaikan oleh beban dan akibat perbuatan subjek hukum yang melakukan. Dan terakhir, biasanya Tort akan masuk ke dalam ranah Perdata sebagai bentuk Perbuatan Melawan Hukum, sementara Pidana tetap berada di ranah Pidana.

Contoh yang paling mudah ditemui terhadap Tort adalah pencemaran nama baik. Di Indonesia pencemaran nama baik termasuk dalam bentuk pidana yang diatur secara umum pada Pasal 310 KUHP lama atau yang termasuk Tindak Pidana Penghinaan pada KUHP Baru.

Dari hal ini, telah terang bahwa Tort yang dikenal dalam sistem Common Law yang berada pada ranah perdata, berbeda dengan dengan Tort yang dikenal di Indonesia yang masuk ke ranah pidana. Kendati demikian, perbedaan tersebut tidak serta merta menegasi keberlakuan asas accusare nemo debet, nisi coram deo yang menjadi bagian dari postulat nemo tenetur seipsum prodere.

Namun, perlu juga ditekankan bahwa sistem hukum Common Law terletak pada adat-istiadat. Biasanya, adat-istiadat yang kemudian dijadikan hukum adat tidak serta merta memisahkan antara perkara perdata ataupun pidana. Sehingga pendekatan Tort sebagai bentuk pidana masih sangat lazim, terutama pada pidana sendiri, tertuang hukuman-hukuman yang hanya berbentuk denda.

Adapun nemo tenetur seipsum prodere, vel accusare merupakan postulat yang lebih umum dikenal dengan sebutan nemo tenetur seipsum accusare yang berarti "no one is bound to accuse himself". Postulat ini merupakan prinsip seseorang yang bebas dari segala tuduhan ketika menjadi saksi dalam suatu peristiwa pidana.

Secara holistik, nemo tenetur seipsum accusare pada dasarnya memiliki arti yang sama dengan accusare nemo debet, nisi coram deo, walaupun secara gramatikal artinya sangat berbeda. Perbedaan signifikan ini dikarenakan accusare nemo debet, nisi coram deo memaknai suatu tuduhan hanya dapat dilakukan dihadapan Tuhan. Hal ini sudah terkait dengan moralitas subjek yang melakukan tindakan tersebut.

Di satu sisi, nemo tenetur seipsum accusare hanya menekankan bahwa subjek tidak boleh dipaksa untuk bersaksi maupun menyediakan bukti yang kemudian memberatkan subjek itu. Kendati demikian, asas maupun postulat tersebut mengerucut pada satu koridor, yaitu koridor hukum pembuktian, dimana dalam pembuktian suatu perkara testimoni seseorang, terutama seseorang yang telah disumpah, memiliki beban sebagai alat bukti.

Di Indonesia, akuntabilitas dari suatu testimoni sebagai suatu beban pembuktian dalam UU 8 nomor 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 1 ayat 27 berbunyi :

"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu."

Dan pada ayat 1 pasal 185 juga ada tertuang :

"Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan."

Keterkaitannya dengan nemo tenetur seipsum accusare adalah tidak jarang, dalam pengadilan Jaksa Penuntut Umum sebagai sosok yang bertugas untuk menuntut, memaksa saksi untuk menjawab hal-hal yang kemudian memberatkan saksi, atau setidaknya membuat saksi tersebut menjadi bagian peristiwa pidana.

Maka, postulat nemo tenetur seipsum accusare pada dasarnya digunakan untuk melindungi saksi, terutama saksi tersangka yang testimoninya menentukan nasibnya, karena secara teoritis, seorang saksi juga dapat dijadikan tersangka ketika memenuhi unsur-unsur yang membentuk spektrum peristiwa pidana itu sendiri.

Dimana pada praktiknya, nemo tenetur seipsum accusare memperbolehkan seorang saksi untuk tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan, dan menjadi cikal bakal Miranda Rules (Hak untuk Diam), yang secara umum dikenal hanya dilakukan oleh penegak hukum seperti polisi, walaupun tidak terbatas pada spektrum penegakan hukum saja.

Demikianlah, accusare nemo debet, nisi coram deo merupakan asas yang menjadi bagian dari postulat nemo tenetur seipsum accusare, yang berfungsi melindungi saksi agar tidak serta merta menjadi pelaku kriminal. Dimana asas ini digunakan dalam hukum pembuktian, yang meletakkan perkataan subjek hukum dalam pengadilan sebagai beban pembuktian perbuatan.

Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Referensi :

Black Law Dictionary.

Burton Legal Thesaurus.

Hardres; Thomas. Report of Cases adjudged in the Court of Exchequer. 137- 147. 1792.

Peraturan perundangan :

KUHP Lama.

KUHP Baru.

KUHAP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun