Terlepas dari pro kontra karena pertimbangan tersebut sangat mungkin untuk diperdebatkan, dalam kasus tersebut para hakim tidak menggunakan accessorius sequitur naturam sui principalis sebagai preferensi untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada pelaku utama dan lebih ringan daripada pelaku pembantu.
Hal ini karena dalam kasus itu sendiri, para hakim tidak melakukan kategorisasi terhadap siapa pelaku utama dan pelaku pembantu dan hanya menyertakan pernyataan yang berbunyi "korupsi secara bersama-sama". Pernyataan tersebut menimbulkan ambiguitas terhadap pidana penyertaan dalam spektrum pidana korupsi. Terlebih karena pidana penyertaan harus memisahkan antara pelaku utama dan pelaku serta.
Apabila kemudian dinyatakan 'bersama-sama' dan bukan 'turut serta', maka dapat disimpulkan semua subjek tersebut menjadi pelaku utama korupsi uang BTS tersebut. Hanya saja, hal tersebut tidak mungkin terjadi, karena peranan setiap subjek hukum dalam kasus tersebut memiliki bibit, bebet, dan bobot yang berbeda-beda, walaupun tujuannya sama.
Terlepas dari kasus di Indonesia itu, pada intinya accessorius sequitur naturam sui principalis merupakan asas yang berbunyi "assesoris mengikuti sifat alami dari prinsipnya" merupakan asas preferensi dalam hukum pidana, dimana seorang pelaku tambahan dalam pidana harus dijatuhi hukuman lebih rendah dari pelaku utama tindak pidana tertentu.
Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Referensi :
Putusan Nomor 54/Pid.Sus-TPK/2023/PN.Jkt.Pst
KUHP Lama. Pasal 55
KUHP Baru. Paragraf 5 Penyertaan.
Black Law Dictionary Fourth Edition.
KBBI.