Ab alio expectes, alteri quod feceris lebih merujuk pada suatu adagium atau asas umum, dan cukup berbeda keberlakuannya dengan postulat atau asas hukum. Sebagai adagium, kalimat tersebut dikemukakan dalam bentuk puisi yang diciptakan Publicius Syrus, sereorang yang dibawa ke Itali dan sempat bekerja sebagai seorang budak, lalu beralih profesi ke pentas seni pantonim ( Mime ), sukses hingga mendapatkan hadiah langsung dari Julius Caesar, dan konon katanya hidup sampai jaman Nero.
Adapun puisinya berbunyi :
"Alienum est omne quicsuid optando evenit. Ab alio exspectes, alteri quod feceris. Animus vereri qui scit, scit tuto aggredi. Auxilia humilia firma consencus facit. Amor animi arbitrio sumitur, non ponitur. Aut amat aut odit mulier, nil est tertium. Ad tristem partem strenua est suspicio. Ames parentem, si aequus est: si aliter, feras. Aspicere oportet quicquid possis pardere. Amici vitia nisi feras, facis tua."
Puisi tersebut bila diartikan sekira memiliki makna :
"Everything that comes by wishing is foreign. Expect from another what you have done to another. A mind that knows how to fear also knows how to advance safely. Lowly help is made strong by united consent. Love is taken by the will of the mind, not imposed. A woman either loves or hates; there is nothing in between. On the sad side, suspicion is vigilant. Love your parent if they are fair; if otherwise, endure. It is fitting to look at whatever you can spare. Unless you bear with a friend's faults, you are making your own."
Adapun pengaruhnya dengan hukum, puisi tersebut menyentuh pemikiran para filsuf dan politisi kenamaan seperti Cicero, Seneca the Younger, dan lainnya. Dan bukan hanya itu saja, banyak dari puisi serta karakternya yang menjadi landasan berfikir para filsuf untuk mengembangkan moralitas yang kemudian terkandung dalam norma hukum itu sendiri. Hal tersebut dapat dibaca pada testimoni yang tertera pada Buku Sententiae.
Terkait dengan ab alio expectes, alteri quod feceris, adagium ini memiliki makna "expect from another what you have done to another" atau dalam bahasa Indonesia kira-kira "pertimbangkan perbuatan orang lain seperti yang kau lakukan pada orang lain". Dari sini, maka dapat dikatakan sementara, bahwa adagium ini merujuk pada penalaran.
Masuknya adagium tersebut menjadi suatu asas penalaran dipertegas dengan eksposisi ab alio expectes, alteri quod feceris dalam Ad Lucilium Epistulae Morales Seneca, atau The Epistles of Seneca. Beliau menggunakannya menjadi landasan berfikir filosofis terhadap nilai-nilai moral pada masa itu.
Kegelisahan itu tertuang dengan bunyi :
""nothing in excess," "the greedy mind is satisfied by no gains," "you must expect to be treated by others as you yourself have treated them.". We receive a sort of shock when we hear such saying; no one ever think of doubting them or of asking "why?" so strongly, indeed, does mere truth, unaccompanied by reason, attract us."
"If reverence reins in the soul and checks vice, why cannot counsel do the same? Also, if rebuke gives one a sense of shame, why has not counsel the same power, even though it does use bare precepts? The counsel which assist suggestion by reason-which adds the motive for doing a given thing and the reward which awaits one who carries out and obey such precepts-is more effective and settles deeper in the heart."
Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi :
""tiada berlebihan," "pikiran yang serakah tidak puas dengan keuntungan apa pun," "Anda harus mengharapkan diperlakukan oleh orang lain seperti Anda sendiri telah memperlakukan mereka." Kita menerima semacam kejutan ketika kita mendengar pernyataan seperti itu; tidak seorang pun pernah berpikir untuk meragukannya atau bertanya "mengapa?" begitu kuatnya, sebenarnya, kebenaran belaka, tanpa didampingi oleh alasan, menarik perhatian kita."
"Jika rasa hormat mengendalikan jiwa dan menghambat kejahatan, mengapa nasihat tidak dapat melakukan hal yang sama? Juga, jika teguran membuat seseorang merasa malu, mengapa nasihat tidak memiliki kekuatan yang sama, meskipun hanya menggunakan ajaran yang sederhana? Nasihat yang membantu saran dengan alasan---yang menambahkan motif untuk melakukan suatu hal dan hadiah yang menanti bagi mereka yang melaksanakan dan mematuhi ajaran tersebut---lebih efektif dan mengakar lebih dalam di dalam hati."
Paragraf tersebut termasuk dalam bagian dari On the Value of Advice, dimana Seneca bergelut terhadap nilai daripada kebijaksanaan yang secara holistik menjadi bagian dari politik publik, namun tidak merasuk dalam hubungan manusia yang sederhana dan kecil, seperti keluarga. Gelut itu juga membawa tatanan pemikiran kebijaksanaan, sifat manusia secara individual, serta cara hukum yang pada jaman romawi kuno itu terjadi.
Adapun pernyataan ad alio expectes, alteri quod feceris menjadi bagian dari penalaran moral karena Seneca mempertanyakan manusia sebagai mahluk yang sama namun tidak setara. Dalam buku tersebut, tertuang bahwa telah terjadi kemajemukan status karena persepsi sosial itu sebagai konsekuensi dari payung filosofi hukum.
Filosofi, pada saat itu, tidak membedakan hukum (precepts) bagi pebisnis dan petani, royalty atau rakyat jelata, perlakuan terhadap perawan atau janda, orang kaya atau orang miskin, suami beristri kaya atau istri bersuami kaya, beda ibu dengan ibu tiri, dan sebagainya. Di mata filosofi saat itu, mereka semua sama, walaupun pada kenyataan terdapat perbedaan yang signifikan.
Dan karena itulah, beliau kemudian berpendapat bahwa nasihat, dalam bentuk hukum, harus diberikan sesuai konteksnya, selaras antara semangatnya dengan perbuatannya, dari bentuk norma hingga kenyataan yang dirasakan oleh masyarakat yang berbeda-beda pula. Dari hal ini, terlihat bahwa dialog antara hukum dan masyarakat dijembatani dengan keseimbangan yang tertuang pada asas.
ad alio expectes, alteri quod feceris atau "berharaplah diperlakukan orang lain seperti orang lain memperlakukan anda" kemudian menempatkan hukum pada caranya, harus dapat memperlakukan masyarakat seperti masyarakat memperlakukan hukum itu sendiri. Apabila cara hukum tidak sesuai dengan nilai dalam masyarakat, maka hukum itu kehilangan kebijaksanaannya.Â
Sebaliknya, apabila masyarakat menciptakan lalu memberlakukan hukum dengan sekehendak mereka saja, maka hukum tidak lagi memiliki nyawa dan kebijaksanaannya, kecuali demi kepentingan belaka yang menempatkan hukum sebagai alat mencapai tujuan semata. Hal ini ditekankan karena buku yang sama menyatakan negara telah memberikan hak individual kepada masyarakat.
Pandangan Seneca tersebut tidak terlepas oleh teori hukum yang dikumandangkan oleh Epicurus. Dalam epistemologi Epicurus, hukum pada dasarnya merupakan tatanan untuk melindungi kepentingan setiap individu dengan tujuan terjaganya ketentraman batin. Maka, agar dapat berlaku, hukum tersebut mengatur nasib dan tindak perilaku secara individu.
Demikianlah, adagium ad alio expectes, alteri quod feceris merupakan asas umum, yang menekankan pada penalaran moral terhadap individu, kehidupan sosial, dan hukum. Asas ini digunakan untuk menemukan keseimbangan timbal balik antara aksi dan reaksi, juga besifat dinamis karena terkandung dalam spektrum teori hukum, sehingga keberlakuannya dapat disesuaikan dengan jaman sekarang.
Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Referensi :
Syrus; Publilius. Sententiae. 1.
Annaei Senecae ad Lucilium Epistulae. The Epistles of Seneca. XCIV
Tanya; Bernard. Teori Hukum. Toeri Epicurus. Hlm 45-50.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H