Kutipan tersebut kembali menerangkan bahwa a verbis legis non est recedendum digunakan sebagai dasar bahwa kontrak yang tertuang antara para pihak tidak boleh diganggu-gugat. Bunyi yang ada di dalamnya tidak boleh dirubah karena isi kontrak tersebut merupakan nafas para pembuat kontrak, seakan perkataan dalam kertas adalah ucapan mereka langsung.
Apabila kemudian isi kontrak itu dirubah, maka pembuat kontrak tersebut tidak lagi bermaksud sama dan dengan demikian, kontrak itu kehilangan objeknya. Hilangnya objek kontrak juga berakibat pada tidak ada lagi tujuan yang disepakati bersama. Termasuk juga saat kontrak tersebut memiliki masalah dalam bunyinya, pengadilan tidak dapat merubahnya, kecuali atas dasar kesepakatan pembuat kontrak itu sendiri.
Selain pada perkara perdata, asas a verbis legis non est recedendum juga digunakan menjadi dasar dalam mempertimbangkan instrument tertulis lain. Hal ini tertuang dalam buku A Selection of Legal Maxim karya Herbert Broom Tenth Edition. Pada Chapter VIII The Interpretation of Statutes and Written Instrument.
Mengutip dari buku a quo, ada tertulis "it may scarely necessary to observe that the maxim under consideration applies equally to the interpretation of an Act of Parliament, the general rule being that a a verbis legis non est recedendum.". Bila diartikan, maka kalimat tersebut merujuk pada urgensi pengamatan asas apa yang dapat digunakan demi melakukan interpretasi dalam spektrum Act of Parliament.
Act of Parliament sendiri adalah terma hukum yang digunakan dalam sistem parlementer, yang merujuk pada produk hukum yang akan, sedang dan telah melewati proses. Di Indonesia tidak ada Act of Parliament, namun secara mutatis mutandis polanya ada dari misalnya, saat DPR beraktifitas, mulai dari rapat paripurna hingga pengesahan suatu peraturan perundang-undangan.
Adapun asas a verbis legis non est recedendum menjadi satu bagian dari asas lain yang berbunyi quoties in verbis nulla est ambiguitas, ibi nulla exposition contra versa fienda est, atau dalam bahasa Indonesia bermakna "dalam kekosongan kata menyebabkan ambiguitas, tiada eksposisi yang bertentangan dengan yang tertulis untuk menyelesaikannya."
Secara sederhana, tiada tambahan maupun pengurangan kata produk hukum yang bertentangan dengan tujuan produk itu dibuat, hanya karena produk hukum itu memiliki kekosongan pada norma-normanya. Hal ini bermuara pada setiap interpretasi digunakan pada produk hukum tersebut harus sejalan dengan semangatnya atau sama sekali tidak digunakan. A verbis legis non est recendendum memperkukuh posisi peraturan perundangan tersebut.
Demikianlah, a verbis legis non est recedendum diterapkan. Asas ini terarah sebagai bagian dari asas kepastian hukum, karena implementasinya yang secara terang menyatakan bahwa bunyi daripada kontrak tidak dapat dirubah. Selain itu, juga digunakan secara khusus dalam perkara perdata saat mendalami kontrak, serta dipakai dalam perihal peraturan perundangan yang diterbitkan oleh badan legislatif, menempatkan asas ini sebagai asas pengatur hukum khusus dalam hukum kontrak dan konstitusi.
Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Referensi :
Coke;Edward. The Report. Fifth Edition. Edrich's Case. 118-119.