Menurut Black Law Dictionary Fourth Edition, a verbis legis non est recedendum memiliki arti "the words of a statute must not be departed from", yang kemudian memiliki penjelasan tambahan yang berbunyi "a court is not at liberty to disregard the letter of the statute, in favor of a supposed intention."
Bila dimaknai dalam bahasa Indonesia, maka a verbis legis non est recedendum memiliki arti bahwa kata dalam hukum tertulis tidak bisa menyimpang, dan pengadilan tidak bebas mengesampingkan surat dalam statuta demi tujuan-tujuan tertentu. Secara sederhana, asas ini memberikan batasan bahwa hakim tidak bisa menentukan hukum hanya dengan kebijaksanaan mereka, melainkan juga tidak boleh menyimpang dari ketentuan peraturan perundangan.
Keberadaan asas ini dapat diperiksa dalam The Report of Edward Coke Fifth Edition, dalam bagian Edrich's Case, yang berbunyi "and therefore in such cases, a verbis legis non est recedendum". Â Kasus yang dimaksud merujuk pada sengketa Smith vs Edrich terkait Replevin. Replevin sendiri adalah terma hukum yang dalam Britannica bermakna "return of personal property wrongfully taken and for compensation for resulting loss."
Bila definisi Replevin dalam sumber tersebut diartikan dalam bahasa Indonesia, maka akan memiliki makna 'pemulihan properti pribadi yang secara salah diambil dari pemiliknya sekaligus pemberian kompesasi dari hasil kerugian yang terjadi'. Secara teori, Replevin merupakan salah satu bentuk legal remedy atau pengobatan hukum dan hanya dilakukan oleh lembaga yudikatif.
Terkait duduk perkara Smith vs. Edrich, telah terjadi keputusan yang menyebabkan pengambilalihan pembayaran Socage ( tanah sewa untuk kepentingan non-militer ), yang telah dikontrak seumur hidup dan turun temurun oleh pihak penyewa. Akibat kontrak turun temurun tersebut, keturunan pihak penyewa harus membayar penyewaan tanah. Kemudian pada saatnya ketentuan itu tiba pada keturunan penyewa, timbul sengketa.
Keturunan penyewa tidak ingin membayar uang sewa, dengan dalil bahwa sang buyut, yang telah mati, yang harus membayarkannya. Dia mendasarkan diri pada ketentuan Common Law. Kelakuan keturunan penyewa telah menyebabkan kesulitan penagihan uang sewa. Lord Coke kemudian merujuk pada kontrak yang telah dibuat sang buyut terhadap pemberi sewa, lalu menganggap sang buyut hidup, sehingga sang keturunan tetap harus membayar uang sewa.
Adapun peran a verbis legis non est recedendum merujuk pada bunyi kontrak yang tidak boleh dirubah-rubah. Aksentuasi tersebut tertuang dengan bunyi :
"it would be dangerous to give scope to make a construction in any case against the express words, when the meaning of the makers doth not appear to the contrary, and when no inconvenience will thereupon follow..."
Secara sederhana, bunyi kontrak yang dirubah oleh pihak yudikatif pada dasarnya dapat menimbulkan masalah baru, dan hal itu dianggap berbahaya. Hal tersebut tak boleh dilakukan tanpa kecuali, termasuk bila terjadi pertentangan makna yang tersurat oleh para pembuat, dan ada keberatan yang terjadi dalam kontrak tersebut.
Makna yang senada juga tertuang diutarakan dalam Maximes of Reason karya Edmund Wingate pada halaman 25, yang berbunyi :
"that he shall distraine for the same arrearages upon such lands, &c. out of which the said rents, &c. are issuing in such manner and forme as he ought or might have done if Cesty que vie had been alive, Here, (I say) the latter part of this branch doth expresly charge him in the remainder with the payment of the arrearages; And the Judges in that case said, that they ought not to make any interpretation against the expresse letter of the Statute; for nothing can so well expresse the intent of the makers of an Act, as the direct words themselves (for index animi sermo) and it will be dangerous to give libertie to make construction in any case again the the expresse words, when the intent of the makers appeares not to the contrarie, and when no inconvenience may happen upon it: And therefore in such cases, A verbis legis non est recedendum."
Kutipan tersebut kembali menerangkan bahwa a verbis legis non est recedendum digunakan sebagai dasar bahwa kontrak yang tertuang antara para pihak tidak boleh diganggu-gugat. Bunyi yang ada di dalamnya tidak boleh dirubah karena isi kontrak tersebut merupakan nafas para pembuat kontrak, seakan perkataan dalam kertas adalah ucapan mereka langsung.
Apabila kemudian isi kontrak itu dirubah, maka pembuat kontrak tersebut tidak lagi bermaksud sama dan dengan demikian, kontrak itu kehilangan objeknya. Hilangnya objek kontrak juga berakibat pada tidak ada lagi tujuan yang disepakati bersama. Termasuk juga saat kontrak tersebut memiliki masalah dalam bunyinya, pengadilan tidak dapat merubahnya, kecuali atas dasar kesepakatan pembuat kontrak itu sendiri.
Selain pada perkara perdata, asas a verbis legis non est recedendum juga digunakan menjadi dasar dalam mempertimbangkan instrument tertulis lain. Hal ini tertuang dalam buku A Selection of Legal Maxim karya Herbert Broom Tenth Edition. Pada Chapter VIII The Interpretation of Statutes and Written Instrument.
Mengutip dari buku a quo, ada tertulis "it may scarely necessary to observe that the maxim under consideration applies equally to the interpretation of an Act of Parliament, the general rule being that a a verbis legis non est recedendum.". Bila diartikan, maka kalimat tersebut merujuk pada urgensi pengamatan asas apa yang dapat digunakan demi melakukan interpretasi dalam spektrum Act of Parliament.
Act of Parliament sendiri adalah terma hukum yang digunakan dalam sistem parlementer, yang merujuk pada produk hukum yang akan, sedang dan telah melewati proses. Di Indonesia tidak ada Act of Parliament, namun secara mutatis mutandis polanya ada dari misalnya, saat DPR beraktifitas, mulai dari rapat paripurna hingga pengesahan suatu peraturan perundang-undangan.
Adapun asas a verbis legis non est recedendum menjadi satu bagian dari asas lain yang berbunyi quoties in verbis nulla est ambiguitas, ibi nulla exposition contra versa fienda est, atau dalam bahasa Indonesia bermakna "dalam kekosongan kata menyebabkan ambiguitas, tiada eksposisi yang bertentangan dengan yang tertulis untuk menyelesaikannya."
Secara sederhana, tiada tambahan maupun pengurangan kata produk hukum yang bertentangan dengan tujuan produk itu dibuat, hanya karena produk hukum itu memiliki kekosongan pada norma-normanya. Hal ini bermuara pada setiap interpretasi digunakan pada produk hukum tersebut harus sejalan dengan semangatnya atau sama sekali tidak digunakan. A verbis legis non est recendendum memperkukuh posisi peraturan perundangan tersebut.
Demikianlah, a verbis legis non est recedendum diterapkan. Asas ini terarah sebagai bagian dari asas kepastian hukum, karena implementasinya yang secara terang menyatakan bahwa bunyi daripada kontrak tidak dapat dirubah. Selain itu, juga digunakan secara khusus dalam perkara perdata saat mendalami kontrak, serta dipakai dalam perihal peraturan perundangan yang diterbitkan oleh badan legislatif, menempatkan asas ini sebagai asas pengatur hukum khusus dalam hukum kontrak dan konstitusi.
Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Referensi :
Coke;Edward. The Report. Fifth Edition. Edrich's Case. 118-119.
Wingate; Edmond. Maximes of Reason. Page 25. 1596-1656.
Broom; Herbert. A Selection of Legal Maxim. Tenth Edition. 419-422. 1939.
Britannica. Replevin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H