A principalioribus seu dignioribus est inchoandum, memiliki arti it is to be begun from the more important of worthy things. Dalam Bahasa Indonesia punya makna "kelayakan suatu hal dimulai dari yang lebih penting". Asas ini dapat digali dalam buku Coke Upon Littleton, buku yang menjadi salah satu dogma Common Law, yang dibuat oleh Lord Edward Coke.
Beliau menggunakan a principalioribus seu dignioribus est inchoandum dalam menerangkan hal tentang Fee-simple in Estate dispute. Fee-simple sendiri adalah terma hukum properti yang merujuk pada kepemilikan dan keuntungan seseorang dalam memanfaatkan properti tertentu. Properti yang dimaksud bisa merujuk ke tanah, bangunan, benda bergerak atau benda tidak bergerak, termasuk juga benda berwujud atau benda tidak berwujud lainnya.
Menurut Black Law Dictionary Fourth Edition, Fee-simple sendiri dapat dibagi setidaknya dua yaitu fee-simple absolut dan fee-simple conditional. Fee-simple absolut merujuk pada fee-simple yang dimiliki subjek hukum tanpa dibatasi oleh kondisi maupun situasi apapun. Sementara fee-simple conditional merujuk pada suatu property yang haknya kemudian memiliki batas tertentu untuk dimanfaatkan.
Dari pendekataan keindonesiaan, Fee-simple yang dimaksud bisa dipersamakan dengan hak eigendom. Hak eigendom tertuang dalam pasal 570 KUHPerdata yang berbunyi :
"hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan."
Perbedaannya adalah Fee-simple memiliki cakupan yang lebih luas. Dalam pengertian absolut, Fee-simple tidak memiliki batasan apapun sementara Hak Eigendom tetap tunduk dibawah undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan penguasa, serta tidak mengganggu hak-hak orang lain. Dalam pengertian kondisional, Fee-simple hampir sama dengan hak eigendom, namun fee-simple conditional juga mempertimbangkan ahli waris dan eksklusifitas dari pihak tertentu.
Kembali pada asas a principalioribus seu dignioribus est inchoandum, Lord Coke menggunakannya untuk mempertimbangkan posisi tenant in fee-simple, atau pemilik dari fee-simple itu sendiri. Asas tersebut kemudian tertuang dalam section 11 yang secara kontekstual menerangkan hak eigendom dalam fee-simple. Secara tekstual, Lord Coke menuangkannya dengan bunyi :
"from this estate in fee-simple, estate tail, and all other particular estates are derived; and therefore worthily our author begins his first book with tenant in fee-simple, for a principalioribus seu dignioribus est inchoandum"
Pernyataan diatas berangkat dari pemisahan antara fee-simple absolut atau conditional, dimana dalam kepemilikan properti dipertimbangkan kualitas dan kuantitasnya. Di suatu situasi-kondisi barang terdapat begitu banyak kepentingan hingga dapat menimbulkan sengketa, ada skala prioritas yang mau tidak mau harus didahulukan untuk dipertimbangkan.
Namun yang menarik dari pernyataan Lord Coke adalah, beliau menggunakan a principalioribus seu dignioribus est inchoandum sebagai dasar alasan untuk mempertimbangkan bahwa pemilik absolut menjadi subjek yang diprioritaskan, bukan dasar pertimbangan kasus. Hal ini menunjukkan asas tersebut lebih merujuk pada asas preferensi.
Asas preferensi adalah terminologi yang digunakan untuk mendahulukan dan mengutamakan hal tertentu dengan tujuan penyelesaian suatu masalah hukum. Pada konteks hukum Indonesia, asas preferensi biasa dipakai untuk membaca dan mengaplikasikan peraturan perundangan yang mana yang lebih diutamakan. Sementara dalam keharian, asas ini bisa dilihat dari tabiat seseorang menggunakan skala prioritas untuk  kehidupan mereka sehari-hari
Kembali pada penggunaan a principalioribus seu dignioribus est inchoandum Lord Coke, dimana beliau menakar bahwa pemilik absolut menjadi subjek yang diprioritaskan dalam sengketa properti. Pertimbangan beliau memilih pemilik absolut berlandaskan pada kepemilikan properti sebagai barang yang diwariskan.
Pewarisan barang yang dimaksud tidak hanya berupa tanah dan bangunan, melainkan estate. Estate dalam konteks Common Law tidak merujuk pada apartement seperti yang umumnya beredar di Indonesia, tapi merujuk pada suatu komplek kerajaan beserta segenap apapun diatasnya maupun dibawahnya. Termasuk manusia, hasil panen, gelar dan pengaruh komunitas, dan lain sebagainya.
Kepemilikan properti sedemikian mewah tersebut biasanya jarang dimiliki oleh dua entitas dengan Fee-simple absolut. Bila ada dua entitas menyatakan hal tersebut, maka biasanya akan terjadi perseteruan sampai perang. Hal ini menyebabkan hanya ada satu pihak sebagai pemilik fee-simple absolut, dan pihak lain merupakan pihak pemilik fee-simple conditional, termasuk juga anggota keluarga sedarah-semenda dari empunya fee-simple absolut tersebut.
Saat empunya fee-simple absolut ini kemudian meninggal dunia, maka akan terjadi pewarisan. Pewarisan tersebut terbagi pada para pemilik fee-simple conditional dan biasa menimbulkan sengketa antara siapa penerus penyelenggaraan estate tersebut. Terutama ketika pemilik fee-simple absolut tersebut meninggal dunia tanpa wasiat.
Dan dalam keadaan tersebut, maka menurut Lord Coke subjek yang lebih pantas dipertimbangkan bibit, bebet, dan bobotnya bukan ahli waris dari darah, melainkan dibawa ke pengadilan. Hal tersebut karena fee-simple memiliki kualifikasi untuk ditahbiskan kepada calon pemilik, dan tidak menutup kemungkinan hal tersebut didapatkan oleh pemilik fee-simple conditional yang sudah memiliki kontribusi dalam naungan pemilik atau pihak yang sudah bekerja sama dengannya, namun bukan hubungan sedarah-semenda.
Maka, telah terang bahwa Lord Coke menggunakan asas a principalioribus seu dignioribus est inchoandum dan memilih pemilik absolut sebagai landasan mewariskan properti, tidak hanya berdasarkan hukum semata. Beliau juga mempertimbangkan hubungan-hubungan non-hukum yang terbentuk selama pemilik fee-simple absolut itu hidup. Sebab, apabila pertimbangan non-hukum sudah termasuk dalam pemikiran Lord Coke, beliau tidak akan menuliskan kasus seperti ini harus dibawa ke pengadilan untuk diselesaikan.
Faktor non-hukum merujuk pada bidang ilmu lain yang mempengaruhi penyelenggarakan atau pembentukan hukum itu sendiri. Bisa dari faktor ekonomi, politik, sosiologi, sejarah, komunikasi, agama, dan lain sebagainya. Namun yang pasti, penggunaan a principalioribus seu dignioribus est inchoandum menekankan pada segi kemanfaatan hukum.
Bila kemudian asas a principalioribus sue dignioribus est inchoandum atau "kelayakan suatu hal dimulai dari yang lebih penting" diterapkan pada sistem hukum Indonesia, maka penerapannya akan berdasarkan pada kebijaksanaan para pembentuk hukum positif serta kebijaksanaan hakim memutus perkara.
Para pembentuk hukum positif, umumnya Dewan Perwakilan Rakyat, akan selalu menggunakaan asas ini karena dalam membentuk undang-undang diperlukan dasar yang dapat mengakomodasi spektrum tertentu secara holistik. Hal tersebut dapat ditelisik dari setiap peraturan perundangan pasti memiliki pertimbangan yang tertuang dalam bagian 'menimbang.'
Dari kebijaksanaan hakim memutus perkara, asas a principalioribus sue dignioribus est inchoandum tidak terlihat dalam bagian pertimbangan secara tekstual, namun pada prinsipnya, pertimbangan hakim harus mengadung triquetra hukum, meliputi keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum. Contoh konkret dalam hal ini adalah pelaku pidana korupsi yang selalu mendapatkan hukuman yang sering dinilai tidak layak bagi koruptor oleh masyarakat.
Demikianlah, asas a principalioribus seu dignioribus est inchoandum merupakan asas preferensi untuk menentukan faktor non-hukum yang dapat mempengaruhi positivisme hukum. Dalam sejarah digunakan oleh Lord Coke untuk mempertimbangkan sengketa estate antara pemilik fee-simple absolut dan pemilik fee-simple conditional.
Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H