Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 8 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Hukum

A Piratis Aut Latronibus Capti Liberi Permanent

1 Desember 2023   17:41 Diperbarui: 1 Desember 2023   18:59 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Asas  a piratis aut latronibus capti liberi permanent merupakan asas yang memiliki arti things do not change their ownership when captured by pirates and robbers. Dalam bahasa Indonesia artinya "suatu hal tidak berubah hak milik ketika hal itu diambil oleh pembajak dan perompak". Dalam terjemahan lain, asas ini berbunyi they that are taken by pirates, or robbers, continue free. Apabila diindonesiakan, maka akan berbunyi "mereka yang diambil oleh pembajak, atau perompak, tetap bebas."

Dalam Black Law Dictionary Fourth Edition, asas ini memiliki arti Persons taken by pirates or robbers remain free. Asas ini memiliki perpanjangan yang berbunyi a piratis et latronibus capta dominum non mutant, yang ditafsirkan menjadi capture by pirates and robbers does not change title... No right to booty vests in piratical captors; no right can be derived from them by recaptors to the prejudice of the original owner.

Bila perpanjangan asas tersebut diterjemahkan, maka sekiranya akan mengandung arti "tertangkap oleh pembajak dan perompak tidak merubah hak milik... tiada hak dalam rampasan korban pembajakan; tiada hak dapat lahir dari Penangkap Lain yang diprasangka sebagai pemilik orisinal."

Secara sederhana, asas a piratus aut latronibus capti liberi permanent merujuk pada kepemilikan yang tidak berpindah melewati proses pembajakan atau perompakan. Dalam analogi, seseorang merampok motor ibu-ibu kemudian orang tersebut mengolah motor tersebut. Motor itu tetaplah milik ibu-ibu tersebut, terlepas motor tersebut sudah dijual, digadai, dipreteli, dan sebagainya.

Kendati demikian, asas a piratus aut latronibus capti liberi permanent merupakan asas yang diterapkan secara sangat khusus dalam keadaan peperangan. Hal ini diketahui karena setiap sumber penggunaan asas ini mengacu pada hukum perang maupun hukum internasional dan melibatkan pihak negara.

Termasuk juga di dalam asas ini harus mengandung unsur kejahatan terhadap negara dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan perbuatan dapat dikenakan pidana lain, yang menyebabkan pelaku layak dijatuhi pidana hukuman mati. Hal ini tertuang dalam US Report, The United States v. Thomas Smith, dimana dalam yurisprudensi tersebut, Amerika Serikat kemudian memberikan definisi terhadap Piracy.

Piracy yang dimaksud disini berbeda dengan pemaknaan bahasa Indonesia. Piracy dalam bahasa Indonesia adalah pembajakan, dimana perbuatan pembajakan umumnya mengacu pada tindak pidana hak cipta sesuai ketentuan pidana undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam undang-undang tersebut, definisi pembajakan berbunyi :

"Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi."

Dengan demikian, telah terang perbedaan Piracy yang dimaksud dalam asas a piratus aut latronibus capti liberi permanent. Piracy yang beririsan dengan asas ini merujuk pada perbuatan yang mengakibatkan cedera pada negara secara holistik, sehingga perbuatan tersebut setidaknya layak dikenakan hukuman mati ( capital punishment ).

Asas ini ditemukan dalam buku Jure Belli Et Pacis yang dibuat oleh Hugo Grotius. Hugo Grotius adalah seorang diplomat, humanis, hakim, negarawan, pengacara dari Belanda. Pernah dipenjara karena pendapatnya, karya-karya beliau menjadi cikal bakal Hukum Internasional yang masih digunakan sampai sekarang.

Mengutip dari buku Jure Belli Et Pacis, Caput III De Bello Justo Sive Solenni Jure Gentum, Ubi De Inditione, beliau mengutip pendapat Ulpianus yang berbunyi :

"in civilibus dissensionibus, quamvis saepe per eas respublica iaedatur, non tamen in exitium reipublicae condetitur : qui in, iterutras partes discedent vice hostium non sunt eorum inter quos jura captivitatum aut postliminiorum fuerint : et ideo captos, et venundatos posteaque manumissos placuit supervacuo repetere a principe ingenuitatem, quam nulla captivitate amiserant."

Yang diterjemahkan dalam bahasa inggris menjadi :

"in civil dissentions, tho' by the state be often wounded, yet the ruin of the state is not intended; they that embrace either party, are not such enemies as they who have the right of taking prisoners, and of postliminy; therefore they who are taken and sold, and afterwards recover their liberty, have no occasion to petition the prince for their kingdom, having never left it."

Dan dalam bahasa Indonesia, sekiranya berbunyi :

"dalam perselisihan sipil, negara sering terluka, namun tidak dimaksudkan agar negara itu hancur; para pihak pemeluk partainya masing-masing, bukan musuh sebagaimana mereka yang berhak untuk menahan tawanan, dan hak postliminy; dengan demikian mereka yang ditangkap dan dijual, yang kemudian mendapatkan kembali kebebasan mereka, tidak perlu memohon pada pangeran dalam kerajaan mereka, karena mereka tidak pernah meninggalkannya."

Posliminy adalah terma khusus dalam hukum internasional yang bermakna seseorang atau suatu properti direbut dalam peperangan, dipulihkan kepada status mula-mula.  Dan kalimat 'mereka tidak pernah meninggalkannya' merujuk pada setiap orang yang diambil perompak tidak pernah pergi dari tempat kejadian perkara, sehingga hak mereka tetap dalam lingkup area tertentu.

Apabila dipetakan secara sederhana, asas a piratus aut latronibus capti liberi permanent memberikan sekat hingga terjadi pemisahan antara tiga spektrum yang saling berkesinambungan. Spektrum tersebut meliputi para pelaku perang, objek dalam perang, dan para pelaku perang lain. Kesinambungan itu terbentuk dari rangkai peristiwa yang terjadi dalam satu ruang tertentu.

Pada spektrum objek dalam perang, terdapat pihak yang kemudian juga dapat terlibat. Pihak tersebut bisa menjadi netral, korban, atau relawan. Kondisi tersebut berdampak pada ambiguitas subjek peperangan itu sendiri. Asas a piratus aut latronibus capti liberi permanent kemudian membatasi para pelaku perang, yaitu hanya mereka yang dideklarasikan sebagai musuh.

Pemisahan tersebut didasarkan oleh dogma yang dicetuskan Pomponius, hakim pada era Kaisar Hadrian hingga Marcus Aurelius. Beliau memberikan definisi perang dengan bunyi "They are Enemies, who publickly denounce war against us, or we against them; the rest are but Pirates, or Robbers".

Sementara objek dalam perang yang dimaksud adalah semuanya. Dari tanah, bangunan, air, udara, tumbuhan, binatang, juga manusianya. Manusia sebagai objek properti merupakan hal yang lazim pada masa peperangan, dimana mereka didapatkan dari hasil pencaplokan bersama dengan segenap yang ada diatasnya.

Dengan diketahuinya dua spektrum tersebut, maka telah terang pembajak atau perompak yang ada dalam asas merupakan pihak pelaku perang lain. Kemudian, karena asas intinya berbunyi "suatu hal tidak berubah hak milik ketika hal itu diambil oleh pembajak dan perompak", maka objek perang yang diambil pelaku perang lain tidak otomatis menjadi hak miliknya. Berbeda dengan pemenang perang yang otomatis memiliki hak prerogatif saat berhasil memenangkan perang.

Secara praktis, pelaku pembajakan dan perompakan tidak memiliki objek peperangan walaupun mereka yang mengambil objek tersebut di kejadian yang berlangsung antara dua pihak. Objek peperangan itu milik para pihak yang berperang. Apabila ada pemenang, objek tersebut milik pemenang. Apabila damai, objek tersebut milik para pihak yang sudah memilikinya sebelum perang terjadi. Dan yang pasti, tidak pernah menjadi milik pembajak dan atau perompak tersebut.

Demikianlah, asas a piratus aut latronibus capti liberi permanent merupakan asas hukum perang. Bersifat khusus hanya dalam perang yang sedang terjadi. Berfungsi melengkapi sistem hukum perang, berperan untuk menerangkan bahwa pihak yang tidak dideklarasikan, tidak berhak terhadap objek dalam perang.

Tulisan ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Referensi :

Hugo Grotius. De Jure Belli Et Pacis. 54.

U.S. Report. U.States v.Smith. 180-183.

Black Law Dictionary Fourth Edition.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun