Mohon tunggu...
Joseph Chen
Joseph Chen Mohon Tunggu... -

Kota Semarang adalah asalku, kerja di Jakarta. Menulis adalah salah satu hobby'ku. Sekarang ikut menggawangi Blog keroyokan yang bernama gloBAL communiTY nusantaRA... BALTYRA.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menakar Kekuatan Calon DKI-1 & 2 Tahun 2017 dan Pemanasan 2019

11 Oktober 2016   14:45 Diperbarui: 11 Oktober 2016   17:47 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang tidak lazim di sini adalah adanya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang identik dengan Gus Dur dan NU dalam gerbong Agus Yudhoyono – Sylviana Murni ini. Dari segala sisi ideologi dan kebangsaan, rasanya sungguh tidak klop dan tidak klik chemistry antara PKB, PAN dan PPP. Kalau PPP dan PAN bisa jadi mereka memiliki ‘genetis’ ideologi sama, namun PKB sangat jauh dari gaya PPP dan PAN. Belum lagi keberadaan Nusron Wahid mantan Ketua Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama yang sekarang menjadi tim pemenangan Ahok – Djarot. Genetis dan ideologi PKB sebenarnya lebih cocok di gerbong Ahok – Djarot. Bisa jadi keberadaan PKB dalam gerbong Agus Yudhoyono – Sylviana Murni adalah sebagai ‘kuda Troya’ pemecah perhatian dan pemecah kekuatan dari dalam dan dari luar.

Ini sangat identik dengan keberadaan Ruhut Sitompul sebagai dedengkot dan senior di Demokrat. Sejak Pilgub 2012, Pilpres 2014 sampai sekarang sepak terjangnya sangat vokal dan gemar nyeruduk ‘seolah-olah’ membelot dari Demokrat. Bahkan ketika terang-terangan tidak mendukung Agus Yudhoyono – Sylviana Murni dan malah menyeberang ke kubu Ahok – Djarot sekaligus menjadi juru bicaranya, tidak ada satu patah kata pun dari SBY atau pentolan Demokrat yang lain, kecuali Roy Suryo yang nyap-nyap. Ruhut Sitompul adalah anomali dalam Demokrat. Statusnya jelas masih Demokrat, tidak ada teguran apalagi pemecatan dirinya. Entah peran Ruhut sebagai ‘double agent’ di kubu seberang atau justru sebagai bentuk ‘unspoken support’ SBY kepada kubu Ahok – Djarot karena semua tahu masih ada ‘unspoken barrier’ antara SBY dan Megawati; sama-sama gengsi dan pentolan partai politik mainstream di Indonesia. Jika Agus Yudhoyono – Sylviana Murni kalah, posisi Demokrat masih ‘ok-lah’ di kubu lawan, jika menang juga masih ‘ok-lah’ karena Ruhut Sitompul toh mendukung kubu sana.

Yang perlu dicermati adalah reputasi Demokrat yang sudah berantakan semenjak kasus-kasus berderet para kader papan atas satu per satu berurusan dengan KPK. Sebut saja deretannya: Angelina Sondakh, Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Mirwan Amir, Johny Allen Marbun, Amrun Daulay, Aziddin, Max Sopacua, Andi Mallarangeng, Jero Wacik. Ditambah lagi reputasi PAN dengan ketokohan si Aki Tua Amien Rais yang menderita amnesia politik jelas tidak pernah mendapat tempat lagi di hati dan pikiran masyarakat. Sementara PPP sejak jaman Orde Baru sampai sekarang lebih merupakan penggembira saja, kiprahnya yang ‘gemilang’ belakangan hanyalah gebrakan Suryadharma Ali nilep duit penyelenggaraan haji, selain itu tak ada satupun gaung dari PPP ini.

Dan baru-baru ini suara PPP terbelah dua, antara yang mendukung Agus Yudhoyono – Sylviana Murni dan kubu Djan Faridz yang mendukung Ahok – Djarot, bahkan mengatakan bahwa Lulung – ‘musuh besar’ Ahok juga pasti akan mendukung Ahok karena keputusan DPP PPP harus diikuti semua kadernya. Hal ini menuai kontroversi di dalam PPP dan kekacauan pemetaan kekuatan dukungan.

Harus diakui strategi think tank kubu Agus – Sylvi cukup jitu. Dengan tidak koar-koar mengusung isu SARA, rupanya cukup mampu menggoyang pertimbangan para pemilih. Selama si Aki Amien Rais tidak membuat blunder (lagi) yang tidak perlu, sepertinya pasangan Agus – Sylvi akan menjadi lawan berat Ahok – Djarot.

 

Anies Baswedan – Sandiaga Uno

Sungguh malang Prabowo Subianto ditinggalkan para pendukung semu dengan cara seperti ini. Di penghujung kesempatan dimana seharusnya seorang Prabowo bisa diingat sebagai negarawan sejati, tapi Prabowo memilih untuk dilindas dengan strategi total-crushing tanpa sisa – hanya didampingi PKS yang memang tidak punya pilihan dan exit strategy. (Peta Kekuatan Politik Pasca Pilpres 2014)

Di Pilgub DKI kali ini Gerindra berdua dengan PKS sendirian mengusung Anies Baswedan – Sandiaga Uno. Sosok Anies Baswedan dengan ketokohan serta reputasi positif selama ini – secara akademis dan politis posisi terakhir Menteri Pendidikan – sontak serta merta amblas menguap dengan bersedianya dia diusung oleh Gerindra – PKS. Kesan mencla-mencle tak bisa dihindari, di Pilpres 2014 masih segar dalam ingatan, Anies ada di kubu Jokowi – JK dan melontarkan beberapa pernyataan negatif terhadap kubu Prabowo – Hatta Rajasa dan juga opini kepada pribadi Prabowo. Memang tak salah jargon politik sepanjang masa: “tidak ada musuh atau kawan abadi, yang ada kepentingan (bersama) abadi” dan “the enemy of my enemy is my friend”.

Kubu Gerindra dan PKS jelas-jelas tidak memiliki kader yang cukup menjual. Sandiaga Uno yang pertama didekati dan diusung sebagai calon gubernur, ternyata harus mengalah dengan Anies Baswedan. Kubu Gerindra – PKS jelas paham bahwa Sandiaga Uno masih jauh sekali daya jualnya kepada para pemilih dibanding kubu lawan, sehingga dipilihlah Anies Baswedan yang diyakini lebih menjual, sehingga Sandiaga Uno tak ada pilihan lain selain menjadi calon wakil gubernur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun