Mohon tunggu...
Joseph Chen
Joseph Chen Mohon Tunggu... -

Kota Semarang adalah asalku, kerja di Jakarta. Menulis adalah salah satu hobby'ku. Sekarang ikut menggawangi Blog keroyokan yang bernama gloBAL communiTY nusantaRA... BALTYRA.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menakar Kekuatan Calon DKI-1 & 2 Tahun 2017 dan Pemanasan 2019

11 Oktober 2016   14:45 Diperbarui: 11 Oktober 2016   17:47 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Strategi Ahok ternyata sedikit off-track, pertama dengan mengumumkan keindependenan tanpa partai politik manapun juga. Berdirinya Teman Ahok yang menggalang satu juta KTP DKI sampai dua kali karena pertama penggalangan KTP untuk majunya calon independen adalah pasangan Ahok – Djarot, kemudian berubah menjadi Ahok – Heru dikarenakan waktu itu PDIP belum memberikan dukungan dan Djarot adalah salah satu kader PDIP sehingga pasangan Ahok berubah.

Dalam perjalanannya, partai-partai yang semula berseberangan dengan Ahok dan sibuk mencari calon, akhirnya harus menerima kenyataan wind of change perpolitikan di Indonesia, satu per satu menyatakan dukungan untuk Ahok tanpa syarat dan tanpa mahar politik.

Golkar tanpa Ical Bakrie akan menjadi kendaraan politik dahsyat untuk Ahok. Dengan pamor Ahok dan gebrakan serta pencapaian yang dicanangkannya akan menguntungkan kedua belah pihak. Ahok akan mulus jalan politiknya. Apalagi Jusuf Kalla – Wakil Presiden 2014-2019 adalah sesepuh Golkar. Belum lagi Wiranto dan Surya Paloh, yang walaupun sudah bersalin baju menjadi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), ‘DNA’ mereka berdua tetap Golkar; genetically-default Golkar.

Setya Novanto menggantikan Ical Bakrie. Surya Paloh adalah yang pertama menyatakan dukungan Nasdem untuk Ahok, disusul oleh Wiranto dengan Hanura; kemudian Golkar menyusul. Secara politis PDIP tidak ada pilihan calon lain selain Ahok yang harus diusung. Megawati dan para penasehat utamanya dengan cerdik “memimpin” di tikungan terakhir. Di malam terakhir pendaftaran calon DKI-1 dan DKI-2 barulah dideklarasikan PDIP mengusung Ahok berpasangan dengan Djarot, sehingga menyebabkan Boy Sadikin berang dan angkat kaki menyeberang ke gerbong kubu lain. Manuver “tikungan terakhir” sama persis ketika Megawati mengusung Jokowi sebagai capres di tahun 2014. Sepertinya Sang Ibu Suri sudah “sadar” tidak dapat melanggengkan politik dinasti dan calon satu-satunya yang (mungkin) digadang-gadang yaitu Puan Maharani, masih jauh sekali dari segi intelektualitas, kematangan karakter, leadership, public speaking capacity, dan semua aspek untuk menjadi penggebrak menjadi pemimpin sekelas Gubernur DKI, future RI-2 apalagi future RI-1.

Dengan mengusung Ahok – Djarot untuk DKI-1 dan DKI-2 di 2017, gerbong raksasa partai-partai besar ini meletakkan fondasi kuat dan ancang-ancang all out battle di Pilpres 2019. Kedekatan Jokowi – Ahok yang sering disebut Dwitunggal tak tergoyahkan sampai saat ini, sejak duet DKI-1 dan DKI-2 kemudian duet RI-1 dan DKI-1 terbukti menjungkirbalikkan tatanan pakem politik Indonesia selama ini. Manuver Ahok dengan deklarasi jalur independen dengan apik berakhir dengan ‘merangkul’ PDIP dan Golkar (beserta derivatifnya Hanura dan Nasdem). Merangkul tanpa merangkul!

Di balik semua kekuatan ini, Ahok sendiri membuat blunder besar dengan ketidak-konsistenannya mencla-mencle bersikukuh maju dengan jalur independen, namun ternyata kemudian justru diusung oleh para partai politik besar. Memang ‘bukan’ Ahok sendiri yang berniat diusung para partai politik, memang para partai politik yang seolah-olah merapatkan barisan ke Ahok, tapi sepertinya memang itu adalah bagian dari strategi besar Ahok. Dengan blunder ini sepertinya banyak potensial suara pemilihnya yang akan mengalihkan suara ke kubu lain.

 

Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni

Yang mengagetkan adalah munculnya Agus Yudhoyono yang diusung oleh gerbong Demokrat bersama dengan Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ini adalah langkah blunder terbesar SBY dalam karier politiknya. Pertaruhannya terlalu besar dan beresiko. Sungguh kasihan Agus Yudhoyono yang karier militernya bisa dibilang gilang gemilang, deretan pendidikan militernya dari berbagai institusi militer bergengsi Amerika yang hanya segelintir manusia non Amerika bisa menempuhnya, tiba-tiba harus menuruti dorongan keluarga untuk melestarikan Dinasti Cikeas.

Konon yang paling berpengaruh di dalam Dinasti Cikeas adalah dua ibu suri; Ibu Suri Sepuh dan Ibu Suri Muda. Tidak usah membahas Ibas karena dari segala aspek tidak akan pernah menjadi penerus atau calon penerus Dinasti Cikeas. Agus Yudhoyono satu-satunya yang layak diusung untuk diadu dengan para calon DKI-1 lain dan sebagai teaser sekaligus pemanasan untuk laga Pilpres 2019. Memang timing yang tidak menguntungkan untuk Agus Yudhoyono, pangkat kolonel pun belum disandangnya, namun harus melepas impian mengejar pangkat minimal bintang satu atau dua. Bisa jadi secara hitung-hitungan politis dari Dinasti Cikeas, kans ini layak dicoba dan ditempuh demi merengkuh sesuatu yang lebih besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun