Mohon tunggu...
Jose
Jose Mohon Tunggu... Guru - Saya Hose merupakan seorang guru. Saya memiliki pengalaman mengajar masih sangat mudah, kurang lebih empat tahun. Dan saya memiliki kesempatan menulis kolaborasi serta memiliki karya pribadi.

Saya Hose merupakan seorang guru. Saya memiliki pengalaman mengajar masih sangat mudah, kurang lebih empat tahun. Dan saya memiliki kesempatan menulis kolaborasi serta memiliki karya pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Setujukah Anda, Pramuka di Hapus?

9 April 2024   13:22 Diperbarui: 9 April 2024   13:32 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jagat maya dihebohkan dengan beragam tanggapan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim tentang Penghapusan Pramuka (25/3/24). Beragam komentar terhadap kebijakan tersebut. Ciutan yang mengandung kebencian subyektif marak dijumpai di medsos.  Nitizen aktif berkomentar baik yang beradab atau tidak. “Buat kebijakan sekerepnya dewe, membuat kebijakan semaunya sendiri” siapa dia? telah mewarnai beragam komentar yang dituliskan dilaman Instagram, Twitter, sejak dikeluarkan kebijakan Kemdikbudristek tentang Pramuka Bukan Eskul Wajib di Permendikbudristek No.12 Tahun 2024, di tetapkan oleh Nadiem Makarim, Tanggal 24 Maret 2024.

Tanggapan emosional kompulsif sesorang mengiring opini publik dalam memerangi kebijakan tersebut. Penilaian nitizen secara subyektif sungguh ironis. Mengapa menyerang pribadi yang mengesahkan kebijakan tersebut? Seharusnya perlu diserang adalah isi dari kebijakan tersebut, apakah Pramuka yang jalankan di lembaga pendidikan Dasar dan Menengah sungguh-sungguh dihapuskan atau tidak?  

Komplusifitas terhadap opini dan pengalaman pribadi yang “buruk” terhadap kegiatan pramuka yang dialami oleh seseorang menjadi sebuah wacana aduh argument di media sosial. Pasalnya argumen yang diberikan bukan memberikan sebuah solusi, tetapi apa yang dituliskan di medsos menciptakan masa untuk mendukung argumentasi dan pengalaman yang sama. Tujuannya adalah melemahkan persona-Nadiem Makarim.

Penilaian subyektif tidak memberikan beragam gagasan kredibel, karena secara kebahasaan yang dalam bentuk komentar di media sosial condong menyerang pribadi seseorang. Berbeda dengan sebuah kebajikan kita mengritik kebijakan yang tertuang dalam Permendikbutristek No 12 Tahun 2024. Apakah kebijakan yang dikeluarkan bertolak belakang dengan nilai kepermukaan selama ini? Atau adanya ambiguitas terhadap ulasan sebuah kebijakan yang disahkan?

Belajar menilik secara teliti adalah sebuah tantangan masyarakat di era disrupsi informasi dewasa ini. Setiap orang berani menyampaikan gagasannya tanpa melihat esensi dan tujuan dari sebuah komentar yang diulas di media sosial. Aksi demikian marak terjadi secara familiar dalam menanggapi sebuah masalah “yang viral”.

Bila ditilik secara psikologi sosial, kata dan ucapan yang diungkapkan merupakan bentuk kehadiran diri kita dalam menanggapi persoalan tersebut. ada tolok ukur, sikap mawas diri, ketika hendak menuliskan sesuatu di media sosial. Ada batasan berbahasa tertulis di media sosial. Bila kita tidak selektif, maka apa yang ditulis menjadi penilaian publik terhadap kepribadian penulis. Misalnya, “asal nulis aja apa yang ada di pikiran”, tanpa pertimbangan etika dan etiket.

Hal ini dapat diindikasikan bahwa daya tarik masyarakat untuk membicarakan hal yang esensial terhadap suatu persoalan tidak banyak orang memaknainya saat ini. Bosan untuk memikirkan hal yang ribet, buang waktu, tenaga, pikiran menjadi ancaman hilangnya idealisme masyarakat untuk menguji sebuah kebenaran. Bila idealisme disandingkan dengan empirisme, tentu pilihan yang tepat bagi kaum empirisme adalah berpikir pragmatis. Empirisme selalu membendung seseorang untuk menilai dari sisi aksiologis, materialistik. Bukan pada sebuah tujuan akhir dari sebuah nilai esensial yang ada dibalik tujuan tersebut.

Bila ditilik dari argumentasi nitizen di media sosial, tindakan “brutal” terus terjadi untuk menilai kebijakan yang dilakukan oleh Kemdikbudristek. Ada penggunaan kata, bahasa yang miris, menyinggung integritas seseorang. “Ini Menteri suruh balik urus gojek yang terus merugi…kok gak dipecat-pecat ya pakde. Kebijakannya dari awal jabat gak ada yang benar, ujar gading_roof_top”, dilaman Instagram (6/4/24).

Kebrutalan berbahasa menjadi momok yang harus diperhatikan secara intens untuk berpendapat di media sosial. Kebajikan berkomunikasi secara tertulis di media sosial butuh ketelitian terhadap kata dan bahasa yang digunakan. Kerapkali ketika berpendapat di media sosial, argumentasi seserang “bukan memberikan solusi tetapi memberikan peluang untuk menciptakan masalah baru”.

Sikap selektif adalah tujuan utama ketika kita berada dimana pun, termasuk bagaimana kita memberikan argumentasi di media sosial. Komunikasi asertif harus dibangun dengan kesadaran utuh, bahwa apa pun kata dan bahasa yang ditulis dimedia sosial tidak hanya dikonsumsi satu pihak. Setiap kata yang diungkapkan secara verbal, ditulis adalah wujud dari adab kepribadian seseorang. Tiliklah setiap kata yang ditulis, apakah hal yang ditulis memberikan dampak positif bagi banyak orang atau tidak?

Titik persoalan yang dikaji adalah bukan penghapusan pramuka, tetapi pramuka diahlikan sebagai kegiatan ekstrakurikuler tidak wajib. Pramuka tetap wajib ada dan laksanakan di setiap sekolah. Namun, kegiatan pramuka tidak mewajibkan siswa memilih. Artinya kemerdekaan bagi setiap siswa untuk memilih atau tidak menjadi tolok ukur perhatian Nadeim Makarim.

Di dalam Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Kurikulm pada Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, Pramuka ditetapkan sebagai kegiatan yang dapat dipilih dan diikuti sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat peserta didik.

Secara utuh, Pramuka masih tetap ada di sekolah-sekolah. Namun, hanya hilang status sebagai eskul wajib. Mengutip pendapat, Edi Subakhan, Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, menilai langkah Nadiem ini mengembalikan kegiatan “Pramuka sesuai ketentuan Undang-undang yang bersifat sukarela dan bukan pemaksaan dan bukan paksaan”.

“Sejarah Pramuka juga begitu, bukan dengan paksaan atau kewajiban, saya relatif sepakat dengan kebijakan tersebut, karena tidak semua siswa memiliki minat terhadap Pramuka, ujarnya kepada CNNIndoensia.com (25/3/24)”. Hal ini berarti ia setuju dengan nilai merdeka belajar, yaitu setiap siswa wajib diberikan kemerdekaan dalam memilih hal yang diinginkan tentunya potensi, bakat dan kebutuhannya.

Kita perlu flashback terhadap sejarah Pramuka di masa lalu terhadap masa kini. Ada suatu hal yang dibanggakan sebagai nilai yang menyejarah. Namun, kita perlu melihat konteks bahwa “siswa yang sedang kita hadapi saat ini adalah mereka yang pernah mengalami proses pembelajaran online di masa pandemi”. Singkatnya, mereka adalah korban pandemi. Dan mereka saat ini masih melakukan proses pemulihan mental.

Di masa pandemi Covid-19 siswa mengalami beban mental tanpa investasi bermakna untuk mengubah perilaku mereka. Mereka terkungkung oleh situasi yang mereka hadapi selama 24 jam dalam siklus yang sama. Menurut laporan UNICEF yang berjudul “ The State of the World’s Children 2021; On Mind: Promoting, Proctecting and caring for the children’s mental health, menunjukkan bahwa remaja berusia 10-19 tahun di dunia (termasuk Indonesia) mengalami diagnose gangguan mental.  Pembatasan mobilitas anak-anak di masa pandemi menyebabkan mereka terpisah dari keluarga, sekolah, teman, dan kesempatan bermain-membentuk karakter, sebagai suatu hal yang perlu diperhatikan, ungkap Direktur Eksekutif Unicef, Hendrietta Fore (5/10/2021).

Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dari The State of the World’s Children 2021, pertama, pemerintah harus melakukan pencegahan, promosi, dan perawatan terhadap pemulihan mental siswa. Tindakan ini, dilakukan agar siswa memperoleh kesempatan belajar bagaimana ia dengan bantuan orang dewasa dapat memulihkan mentalnya dengan beragam cara. Kedua, partisipasi sektor kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial perlu melakukan pola asuh yang mengedepankan building human sense, seperti kasih sayang, empati, agar mendukung self-esteem siswa. Ketiga, perlu melakukan pendekatan holistik untuk menanggapi pengalaman gangguan mental siswa agar mereka dapat menumbuhkan self-resilien di dalam diri mereka. Self-resilier dapat dibentuk bila, para siswa mendapatkan kebiasaan yang dilatih secara berangsur untuk mendewasakan mental mereka, misalnya melalu program kegiatan pramuka. Didalam program tersebut seharusnya dirancang bentuk-bentuk kegiatan yang dapat memulihkan dan mengembangkan “mental baja” mereka.

Temuan survei yang dilakukan oleh UNICEF dan Gallup untuk mengetahui perbedaan antar generasi “Changing Childhood Project” menunjukkan temuan tentang perasaan atau rendahnya minat untuk berkegiatan (5/10/2021). Hal ini menujukan bahwa siswa kita masih “terkunkung” dalam suasana yang mereka alami selama pandemi Covid-19. Seperti yang dijumpai penulis, siswa kita saat ini, masih terpatri dengan gangguan mental seperti rebahan, malas berpikir (berpikir secara mendalam gregetnya sangat minim), kurang berempati, mudah menyerah, daya juang rendah. Hal ini merupakan dampak dari alienasi mental yang masih terpatri di masa pandemi.

Pandangan serupa dijumpai Penulis, ketika memasuki ruang kelas. Disana ada siswa sibuk dengan bermain gawai, kepala tertunduk diatas meja, bermalas-malasan, bahkan kurang memiliki semangat dalam belajar. Apakah hal ini terjadi dilingkungan sekolah karena tidak ada aturan? Saya katakana di sekolah ada aturan untuk mendorong siswa memiliki kesiapan belajar. Namun, hal sesederhana tersebut, “mereka ciptakan sendiri”. Dan menurut mereka lebih áman saja”. Mereka lebih menyukai dunia sendiri. Secara tidak langsung, hal yang dilakukan siswa tersebut merupakan sumber dari pengalaman belajar di masa pandemi Covid-19. Rendahnya sikap empati dan kesiapan belajar secara mandiri membuat semakin merosotnya misi belajar pada idealisme kognitif dan idealisme praktis untuk mendukung capaian tujuan hidup mereka. Hal yang masih terjadi adalah mereka seperti orang-orang yang kehilangan tujuan hidup.

Dalam menyikapi persoalan tersebut, seharusnya, di masa ini, Kemendikbudristek, perlu merefleksikan kembali terhadap kebijakan Pramuka: “Pramuka tidak Diwajibkan sebagai Eskul”. Penulis mengutip ulang pernyataan Edi Subakhan, “Pramuka sesuai ketentuan Undang-undang yang bersifat sukarela dan bukan pemaksaan dan bukan paksaan”. Pernyataan ini jauh lebih baik diterapkan sebelum masa pandemi dan kondisi saat itu, siswa kita “bisa dikatakan minim” mengalami gangguan mental.

Pasca pandemi, pernyataan tersebut perlu direfleksikan, dapat dikatakan kurang “kontekstual”. Seharusnya pernyataan tersebut sejalan dengan upaya apa yang harus dilakukan untuk memulihkan kesehatan mental siswa pasca pandemi. Kebutuhan yang mendesak kita saat ini, bukan kebijakan teoritis tetapi kebijakan praktis yang mengerucut pada program kegiatan kepramukaan yang lebih berdampak terhadap proses pemulihan mental siswa pasca pandemi Covid-19.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba menilik kembali makna kata sukarela. Aristoteles Moral Philosophy, menguraikan makna kata sukarela. Tindakan sukarela adalah tindakan yang insentif (tambahan) yang mendorong tindakan tersebut berasal dari kebijaksanaan individu itu sendiri; meskipun orang tersebut sadar akan keadaan yang menimpanya, namun tidak bertindak semata-mata karena keadaan tersebut. Artinya bahwa seseorang bertindak tidak semata-mata karena keputusan sendiri, tetapi ada intervensi dari luar dirinya. Intervensi inilah sebagai daya dukung untuk mendukung keputusan dan tindakan seseorang.

Sebuah tindakan dapat ditentukan oleh keputusan dari dalam diri dan intervensi orang lain, karena ada hal sebagai target atau tujuan utama yang dicapai seseorang didalamnya. Tindakan sukarela dalam pemikiran Aristoteles adalah komitmen (to commit of things) sebagai agen yang memengaruhi proses pengambilan keputusan (Nichomachean Ethics, Book III).

Seperti yang diungkapkan oleh Patrick Hagard, Professor of Cognitive Neuroscience, University College London “voluntary action, what are the underlying mental processes of volition and whether we have a conscious free will (7/6/2020).  Tindakan sukarela merupakan proses mental yang memberikan kesadaran berkehendak bebas.

Dari pernyataan kedua tokoh tersebut, benar adanya. Namun, melihat kebutuhan urgensi memulihkan serta membiasakan proses pendewasaan mental siswa, perlu mendapat intervensi. Sekolah berperan memberikan intervensi untuk mendorong siswa mengalami, merasakan, merefleksikan, memaknai kebutuhan, perubahan, serta misi belajar yang mendukung pertumbuhan mental kearah yang lebih baik.

Maka kewajiban sekolah adalah mengemban amanah human being, untuk berperan mewajibkan siswa untuk mengikuti kegiatan pramuka. Kebijakan yang diambil sekolah ini, bisa kita nilai suatu paksaan. Akan tetapi, tujuan, target esensial pengelaman belajar siswa melalui kegiatan pramuka merupakan bentuk humanis sekolah dalam merefleksikan secara praktis yaitu option for the criss students mental health. Sekolah menyadari bahwa tindakan ini, tentunya akan mengalami beragam penilaian. Tetapi, suatu hal yang kita sadari bahwa apa yang kita berikan kepada siswa kita saat ini, adalah sebuah gift bagi siswa di kemudian hari. Berpihak pada siswa adalah sebuah jawaban hatinurai dari kepala sekolah berserta komponennya untuk mengasihi siswa tanpa pamrih. To build students charcter within Pramuka activities is one way and it has positive impact to reduce bullying in school.  

Dengan memiliki misi inilah, Penulis ijin menegasi kebijakan yang tertuang dalam Permendikbudristek No.12 Tahun 2014, tentang Pramuka merupakan Eskul tidak wajib, sebaiknya diterapkan secara wajib.

Alasan pendukung Penulis adalah pertama, kegiatan Pramuka yang mewajibkan semua siswa merupakan langkah kecil yang dilakukan sekolah untuk memulihkan kembali serta menumbuhkan mental siswa pasca pandemi. Kedua, Bila eskul pramuka sebagai eskul pilihan, tidak semua siswa wajib ikut, maka secara inhern, pembuat kebijakan telah mengambil misi terselubung didalamnya yaitu menciptakan zona nyaman bagi siswa.

Sikap fortitur, keberanian untuk melibatkan secara menyeluruh “semua siswa wajib ikut Pramuka” harus didorong agar siswa terlebur dalam pengolahan emosional-suka dan tidak suka. Proses ketika siswa melebur dalam kontradiksi “suka atau tidak suka” terhadap Pramuka, harus dilihat sebagai bentuk pembiasaan yang harus dibentuk karakter mereka. Mereka harus belajar mengindentifikasi dari setiap kegiatan di dalam kepermukaan. Berani mengambil makna positif di setiap kegiatan. Belajar untuk berkurban, beradaptasi terhadap sesuatu yang tidak disukai.

Didunia ini tidak menyajikan sesuatu yang disukai semata. Kompleksitas dan intensitas dari ketidaksukaan akan lebih banyak dihadapi oleh siswa dikemudian hari. Program eskul pramuka merupakan wadah untuk menumbuhkan budaya cita rasa-memahami kebutuhan diri, kebutuhan orang lain. tumbuhkan budaya kerja sama, empati, kasih sayang, adab, keimanan dan ketaqwaaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Inilah yang harus direvitalisasi oleh Kemendikbudristek.

Waspadalah selalu memberi kemudahan kepada siswa Generasi Z, Alfa. Kompleksitas kehidupan yang dihadapi siswa dikemudian hari tidak dikendalikan oleh kebijakan saat ini. Berilah kesempatan kepada mereka belajar dari apa yang mereka tidak suka. Saat itulah, kita memberikan kebiasaan kepada siswa untuk memahmi bahwa “setiap pilihan ada resiko, setiap resiko ada makna yang dipetik”. Proses pengolahan emosi dan menumbuhkan budaya survive adalah sebuah umpan balik yang dilakukan didalam kegiatan Pramuka.

Sebagai upaya untuk mendukung program eskul wajib yang perlu dilakukan adalah pertama, membuat program kegiatan pramuka berdasarkan jenjang pendidikan siswa. Penjenjangan ini bertujuan agar pembentukan karakter dasar dimulai dari Sekolah Dasar, dan berlanjut secara kontinu. Kedua, bentuk tim penanganan kepramukaan. Pembentukan tim ini, bertujuan untuk menganalisis keberhasilan atau tidak dari sebuah program kegiatan yang telah dilaksanakan. Ketiga, melakukan evaluasi secara berkala dan uji klinis (bekerja sama dengan BK) untuk mengetahui pengalaman keterlibatan siswa di kepramukaan, seperti ada tindakan kekerasan atau tidak. Keempat, uji kelayakan program pramuka secara berkala serta membaharui program kegiatan dalam menunjang tumbuh kembangnya mental siswa berdasarkan jenjang pendidikan.

Mengutip dialog Nadiem Makarim dengan DPR Komisi X, sebagai harapan dan aspirasi Mentri Pendidikan adalah “apa yang bisa kerja sama antara Menteri Pendidikan dan KUARNAS untuk bisa memasukan nilai-nilai Kepermukaan kedalam Projek Penguatan Profile Pelajar Pancasila (P5). “Saya tidak ada wacana untuk menambahkan mata Pelajaran, ungkap Nadiem Makarim Sepertinya yang diungkapkan Kang Gede, “ada statemen join” bisa memiliki kemitraan lebih baik (dikutip melalui laman Youtube, 3/3/24).   

Tindakan yang dilakukan oleh Nadiem tersebut, menurut hemat Penulis merupakan tindakan melakukan konektivitas, kerja sama antar lembaga. Kolaborasi dan saling mendukung merupakan misi Kemendikburistek untuk menanamkan nilai-nilai Pramuka di dalam diri siswa melalui program kegiatan P5. Kepedulian bersama terhadap stakeholder merupakan sebuah refleksi secara sadar bahwa membina anak bangsa tidak dapat berjalan seorang diri, tetapi gotong royong sebagai hal esesial dalam mewujudkan misi belajar siswa.

Kebijakan yang diambil, menurut hemat Penulis terlalu cepat, perlu dipertimbangkan kembali untuk “tetap menjalankan kepermukaan sebagai kegiatan wajib kolektif bagi siswa generasi Z, Alfa”. Itensi ini merupakan upaya urgensi untuk menjawab kebutuhan siswa saat ini.  

Analisis kontekstual yang dilakukan Kemendikbudritek merupakan langkah praktis yang perlu diapresiasi. Namun, yang perlu diperhatikan adalah pertama, sebuah kebijakan perlu dilihat pengalaman masa lalu siswa. Siswa kita merupakan korban Covid-19, maka eskul Pramuka merupakan wadah untuk membiasakan kembali pembentukan karakter siswa dalam memulihkan gap mental. Kedua, merancang materi Pramuka yang mengerucut pada pertumbuhan karater siswa. Ketiga, melakukan elaborasi diolag pengalaman bermakna yang dialami oleh siswa di dalam Kepramukaan secara berkala. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah menumbuhkan misi belajar peer learning antar siswa dalam mencapai target pendewasaan mental siswa.

Ulasan ini mendukung semuah sikap optimis Penulis,  bahwa bila pramuka diterapkan pada pilihan sukarela, maka beberapa siswa akan enggan memilih. Secara tidak langsung kita menciptakan budaya malas gerak (mager). Keterlibatan sekolah harus mendukung Pramuka sebagai eskul wajib merupakan tanggung jawab dan misi sekolah dalam menumbuhkembangkan siswa yang dipercayakan pada lembaga tersebut agar mereka bertumbuh karakter tangguh, bermoral, beriman, serta memiliki kepedulian sosial.

Kehidupan manusia tidak ada tawar menawar, baik atau buruk akan dihadapi siswa. Bersikaplah tegas untuk mempertahankan kebijakan yang tertuang dalam aturan yang menganulir Permendikbud No. 63 Tahun 20214, tentang Pendidikan Kepermukaan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun