Menjadi guru bukanlah impian semua orang. Memilih menjadi guru adalah keberanian untuk menerima resiko yang terjadi hari ini, besok, dan yang akan datang. Apa pun bentuk pekerjaan memiliki resiko. Resiko akan datang bila keberanian yang dimiliki tidak dibarengi dengan sikap mawas diri. Sikap mawas diri akan mejadi berresiko bila permasalahan seperti menimpah seorang guru di Lembata, Flores, NTT.
Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Patrisia Menge, S.Pd, ketua KGBN Lembata (12/03/2024), bahwa salah satu sekolah SMA Negeri 1 Lembata sedang menangani kasus pemukulan guru oleh keluarga siswa secara sepihak di dalam kelas Bapak Damianus Dolu (19/02/2024).
Beragam upaya yang dilakukan, seperti korban secara langsung melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian, para guru melakukan rapat darurat, serta menghadirkan siswa untuk mengumumgkan masalah darurat yang dialami sekolah saat itu.
Menurut pengakuan Ibu Karlin Lewar, sampai saat ini belum ada tidakan hukum yang diterima oleh pelaku. Sepertinya suam-suam kukuh (12/03/2024). Pemanggilan korban di pihak kepolisian akan terjadi pada Rabu, 13 Maret 2024.
Menyikapi hal tersebut, apa yang harus dilakukan? “Kejadian serupa kerapkali terjadi di NTT, dan kejadian seperti ini sebaiknya diselesaikan di sekolah, tidak perlu dibawah keluar”, ungkap Bapak Wilfridus Kado, ketua KGBN Ende.
Tindakan kekerasan di lingkungan sekolah manjadi berita populer di media sosial. Disrupsi informasi memicu percepatan mengkonsumsi informasi oleh publik dalam hitungan detik. Nah, bagaimana menanggapi peristiwa serupa?
Tindakan kekerasan di lingkungan sekolah manjadi berita populer di media sosial. Disrupsi informasi memicu percepatan mengkonsumsi informasi oleh publik dalam hitungan detik. Nah, bagaimana menanggapi peristiwa serupa?
Profesi menjadi guru miris diterkam masa. Perubahan perilaku, adab, telah menjadi krisis kemanusiaan di dunia pendidikan dan masyarakat pada umumnya. Siapakah yag bertanggung jawab? Segelintir orang yang memiliki kepedulian besar, akan bersuara. Mereka akan mencari cara untuk mengembalikan martabat guru dan marwa sekolah.
Sekolah merupakan tempat guru mengajar. Bila terjadi kekerasan di lingkungan sekolah, siapa yang berhak menutup mata? Orang-orang yang memiliki kepentingan musiman akan menutup mata. Mereka akan hadir ketika ada tawaran cuan atau hal lain. Menerima sesuatu yang instan lebih mudah untuk dilakukan daripada menjadi problem slover.
Zona nyaman telah merenggut karya kreativitas sehingga upaya melakukan pemecahan masalah mengalami tawar-menawar, maju-mundur. Realisasi bahkan nihil. Apa yang dicari dari dunia ini, bila sisa hidup kita merupakan bagian dari ekosistem sekolah?
Sungguh, ironis, keyakinan membenarkan zona nyaman untuk membudidayakan sikap pragmatis: “itu masalahmu, bukan masalahku” di lingkungan pendidikan maupun masyarakat umum. Apa yang akan terjadi, bila orang-orang memiliki sikap demikian?