Suasana hati tergerus oleh informasi yang di dengar, dilihat pada chanel instagram Republika. Tak habis dibendung aksi yang dilakukan oleh seorang siswa SMK Serpong (Rabu, 8 Februari 2023) kepada gurunya.
Nurani tak lagi ditilik dengan rasa hormat kepada gurunya. Nampaknya emosi membludak seorang siswa termakan kebodohan yang tak habis pikir. Enyalah, laku tak dibarengi dengan sikap sopan santun kepada guru.
Kata tolol menjadi cibiran siswa kepada gurunya. "Hi anak, jiwa masih setengah hidup di bumi ini, usiamu masih seumur jagung. Perjalananmu masih hidup panjang, ingat! Camkanlah!"
Dunia pendidikan semakin suram perhatiannya terhadap marwa seorang guru. Siswa begitu mudah mengatakan kata-kata yang seharusnya ia lakukan. Ironis, bukan? Dimanakah letak kesadaran yang dibangun ketika mengikuti, mempelajari ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter pada jenjang pendidikan sebelumnya?
Begitu mudah mengungkapkan kata "tolol" kepada seorang. Rasanya terhenyak tak memiliki arti, lebih dari penyesalan terhadap laku siswa tersebut.
Ini adalah kerja rodi yang harus dihadapi guru saat ini. Kecaman dari murid telah menghiasi langkah peradaban hidupnya di dunia pendidikan.
Indonesia merdeka telah mencapai 77 tahun yang lalu. Konon kecaman di jaman Belanda telah teranulir pada siswa saat ini. Apakah peristiwa ini telah digambarkan oleh pepatah: buah jatuh tidak jauh dari pohon. Apakah ini sudah cukup mewakili tidakan ironis siswa tersebut?
Tidak. Kita memiliki budaya tata laku, sopan santun yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Hal yang perlu ditilik adalah apakah kita masih secara serius menerapkan di dalam keluarga?
Keluarga adalah ekosistem yang mengembangkan spesies tata laku seorang anak, sopan santun. Kita harus peka dengan hal ini. Kehidupan awal seorang anak bermula dari keluarga. Apakah keluarga sangat peka terhadap perilaku anaknya ketika berada di rumah? Misalnya ketika nonton TV, berselancar dengan gawai, posisi kakinya melipat, dan saat itu ada orang di rumah yang melihatnya. Apakah ada direct action kepada anak tersebut, atau menganggap hal itu biasa saja, lalu membiarkan seorang anak melakukan hal itu tanpa merasa kurang sopan.
Mengapa kita harus memberitahu tentang tingkah laku yang dianggap kurang sopan? Ya, kesadaran membantu kita untuk melakukan aksi, jika kita peka bawa tindakan seorang anak kurang baik, maka kita segera melakukan pengarahan tentang hal tersebut.
Hi, Rino kakinya di turunkan ya? Sambil berteriak, atau menyampaikannya dari jarak jauh. Bagaimana respon seorang anak jika ia mengalami hal ini? Apakah ini sebuah nasehat? Tidak. Ini adalah sebuah perintah, bukan sebuah didikan.
Mendidik seorang anak selalu didahului pertimbangan rasa nyaman: Â ketika saya melakukan hal ini atau itu, anak saya terima gak ya? Pola pikir ini membantu kita untuk melakukan proses mendidik yang membutuhkan pola pendekatan well being.
Pola pendekatan well being merupakan pola pendekatan yang dilakukan secara sadar dengan menerapkan pertimbangan psikologis seseorang, seperti rasa nyaman, merasa ia dihargai, ia merasa dihargai, ia merasa diperhatikan. Ini konsep dasar dalam mendidik yang harus kita lakukan sebagai pendekatan awal. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan. Dan mengapa saya mengatakan hal ini?
Sungguh ini bermula dari praktek yang saya lakukan di kelas atau di mana saya berada bersama siswa saya. Saya merasa tidak nyaman ketika saya melihat siswa saya melipat kaki sambil duduk di kursi. Alasan sederhana, ketika melipat kaki, misalnya ketika proses belajar tentu ini menggambarkan situasi body language siswa, misalnya ia merasa tidak nyaman, malas, bahkan ia enggan untuk mengikuti pelajaran. Di sisi lain, kita harus sadar bahwa ketika siswa melakukan hal itu adalah sesuatu yang tidak diperkenankan karena tidak semua siswa melakukan hal yang sama, maka yang dilakukan oleh saya adalah bersikaplah seperti teman-temannya. Duduk tanpa melipat kaki.
Apakah saya hanya berbicara tentang hal seharusnya atau sebaliknya? Saya mendekati siswa baik pria maupun wanita untuk menurunkan kaki mereka. Mengapa saya melakukan hal ini?
Ketika kita melakukan sesuatu dengan sentuhan, maka siswa akan mengingat hal yang pernah ia lakukan itu kurang sopan. Dan pada situasi selanjutnya, secara tidak sadar ia melakukan, saya berhenti berbicara dan melihat saja ia sudah sadar, ia melihat kondisi dirinya. Dan saat itulah dengan sendiri ia merubah hal yang kurang sopan  tersebut.
Kepekaan guru terhadap hal-hal yang kurang sopan  harus diperhatikan secara intens terhadap siswanya. Kepekaan guru mendorongnya untuk siap memberikan arahan yang menyadarkan siswa tentang what should I do?
Kepekaan memberikan kesadaran sepanjang ada rasa keberpihakan pada murid. Kehadiran guru bersama murid perlu menumbuhkan sikap ini dan menjauhkan sikap apatis, menganggap sepele terhadap sesuatu yang kurang wajar untuk dilakukan bersama orang lain.
Saya pernah mengatakan kepada siswa saya: jika anak-anak ingin melipat kaki ketika Anda duduk sendiri seperti di kamar, akan tetapi ketika Anda berada di ruang terbuka maka hal itu harus dibatasi, bahkan seharusnya tidak boleh dilakukan. Apakah hal ini membatasi kebebasan siswa?
Tidak. Siswa didik tahu menempatkan sikap dan tindakan, antara ruang persoanal dan ruang publik. Nah, ada nilai moral yang ditanamkan melalui proses mendidik tersebut, yaitu siswa menyadari bahwa setiap ia berada, ia selalu mengontrol segalanya dari dalam dirinya. Dirinya adalah penggerak perubahan bagi lingkungan di mana ia berada. Ya, harus diakui, untuk mencapai proses belajar bermakna ini membutuhkan  proses yang cukup membutuhkan kesabaran serta konsistensi.
Akankah saya menyerah? Menyerah untuk mendidik siswa adalah dosa terbesar bagi seorang guru. Menjadi guru adalah sebuah tanggung jawab untuk mengarahkan hal-hal baik yang diwariskan oleh Maha Kuasa kepada umatNya. Oleh karena itu, mendidik adalah sebuah proses untuk mengarahkan siswa untuk mendapatkan kebaikan Allah di dalam dirinya. Action yang menyadarkan siswa adalah tanggung jawab moral, baik dilakukan orang tua di rumah maupun guru di sekolah.
Kepekaan adalah kunci utama untuk  mewujudkan perubahan pada lingkungan sekitar murid berada.
Kita harus respect dengan hal-hal kecil yang tertangkap oleh mata. Tumbuhkan semangat untuk melakukan pembinaan secara tulus. Jika kita tulus membina siswa maka ada kemudahan yang kita terima. Buanglah sikap pragmatis, misalnya ini bukan anak saya, anaknya orang. Ya, kita harus sadar bahwa seorang anak lahir bukan kehendak kita, bukan sekadar pertemuan sel seperma dan sel telur dari kedua orang tua. Ingatlah, kehadiran mereka adalah titipan ilahi, semua terjadi bukan atas kehendak kita. Apa pun yang terjadi pada seorang anak adalah tanggung jawab untuk membina dan mengarahkan  dengan tulus hingga akhirnya ia menyadari pentingnya menjadi pribadi yang terus berproses demi mencapai pribadi dewasa, bertanggung jawab serta beradab.
Globalisasi semakin merajalela setiap lini kehidupan manusia. Generasi Alfa, generasi Z tengah berada di arus diskusi informasi yang meluas. Mereka mudah mengaksesnya. Ingat, bila tidak memiliki pengetahuan yang cukup, maka akan terjerumus kepada hal-hal yang kurang baik, termasuk kesadaran moral semakin hilang, tergerus oleh rasa egosentris.Â
Nilai kemanusiaan, sopan santun seharusnya menjadi perhatian serius bagi generasi ini. Ya, kita harus peka terhadap hal ini, jika kita tidak mengatasi hal seperti kejadian yang dilakukan oleh siswa SMK tersebut, dikemudian hari kita akan ditertwakan oleh negera-negara adikuasa. Generasi kita hancur, moral buruk, egosentris meningkat, nilai budaya sopan santun semakin termakan oleh arus budaya barat sehingga hilangnya ia sedikit demi sedikit. Tentu saja kita akan mengalami "Kalathidha".
Kalatidha merupakan jaman penuh keraguan. Kata ini terdiri dari kala berarti jaman dan tidha berarti ragu. Harapan hal ini tidak terjadi pada generasi Alfa dan generasi Z saat ini. Semoga mereka istikomah berkat kepedulian para orang tua dan guru dalam mendidik mereka.
Kita haru tegas dengan kejadian yang terjadi seperti yang telah di ulas. Kita bukan hidup di jaman edan. Secara harafiah jaman ini digambarkan sebagai jaman gila-seseorang tidak dapat berpikir secara waras, tidak mempunyai hati nurani. Perbuatan kacau, dan sering menimbulkan kekacauan.Â
Seharusnya ketika kita hidup di era 4.0 kita semakin memiliki keadaban sehingga membawa kita semakin mawas diri dalam bertutur kata dan bertindak. Namun, ini berbanding terbalik dengan kenyataan. Akankah kita berhenti? Kita tetap semangat untuk membina generasi bangsa, walau diterjang ombak persoalan. Tidak ada yang berubah di dunia ini, selain kesetiaan untuk melakukan dari nurani yang suci.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI