Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tetelestai dan 3 Peristiwa Supranatural pada Hari Jumat Agung

2 April 2021   18:08 Diperbarui: 2 April 2021   18:31 1745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persiapan Perjamuan Kudus (Dokpri)

"Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga, sebab matahari tidak bersinar. Dan tabir Bait Suci terbelah dua. Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku." Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya.

Ketika kepala pasukan melihat apa yang terjadi, ia memuliakan Allah, katanya: "Sungguh, orang ini adalah orang benar!" Dan sesudah seluruh orang banyak, yang datang berkerumun di situ untuk tontonan itu, melihat apa yang terjadi itu, pulanglah mereka sambil memukul-mukul diri. (Lukas 23 : 44-48).

Hari ini, umat Kristen diseluruh dunia memperingati kematian Yesus Kristus yang dikenal dengan hari Jumat Agung. Sesuai catatan Alkitab yang ditulis oleh Lukas, Yesus disalibkan dan mati pada hari Jumat kira-kira jam tiga sore hari.

Pada peringatan hari Jumat Agung, umat Kristiani datang ke gereja untuk beribadah dengan berpakaian hitam sebagai ungkapan duka karena kematian Yesus.

Di gereja HKBP Rajawali Sakti Pekanbaru tempat saya terdaftar sebagai jemaat, dilaksanakan empat kali jadwal ibadah mulai pukul 06.30 WIB, hingga terakhir pukul 17.00 WIB.

Tentu saja, karena masih dalam situasi pandemi covid-19, pengurus gereja menerapkan protokol kesehatan yang ketat untuk setiap jadwal ibadah.

Selain diwajibkan memakai masker dan mencuci tangan sebelum masuk gedung gereja, sebaris kursi yang biasanya diisi 6 orang hanya diperbolehkan untuk diduduki 3 orang saja untuk menjaga jarak antar jemaat. Sehingga keterisian bangku gereja hanya maksimum 50%.

Selain itu, di luar gedung gereja juga disediakan tenda dengan disusun kursi tambahan. Hal ini dilakukan agar keinginan jemaat yang besar untuk beribadah Jumat Agung dapat diakomodir oleh gereja namun tetap menerapkan prosedur jaga jarak selama ibadah.

Seperti pelaksanaan ibadah Jumat Agung tahun-tahun sebelumnya, gereja selalu mengadakan acara perjamuan kudus. Acara ini ditandai dengan makan roti dan minum anggur sebagai bentuk persekutuan jemaat dengan pengorbanan dan penderitaan Yesus yang disalibkan.

Persiapan Perjamuan Kudus (Dokpri)
Persiapan Perjamuan Kudus (Dokpri)
Sekali lagi, tentu saja acara perjamuan kudus wajib dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat sesuai dengan surat penggembalaan Ephorus HKBP Pdt. Dr. Robinson Butarbutar. Gereja menggunakan gelas sloki personal tertutup dan pendeta pelayan perjamuan kudus tetap menggunakan masker dan memakai sarung tangan saat melayani. Jemaat yang menerima perjamuan kudus pun diatur sedemikian rupa agar tetap jaga jarak.

Dalam peristiwa kematian Yesus seperti dicatat oleh injil Lukas, terjadi 3 peristiwa supranatural.

Pertama, setelah jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh daerah tempat Yesus disalibkan itu sampai jam tiga.

Alam seolah turut berduka dengan terjadi kegelapan sekitar tiga jam lamanya. Panas matahari yang sebelumnya memanggang tubuh Yesus yang tergantung di atas kayu salib, tiba-tiba menghilang dan situasi menjadi gelap. Saya membayangkan bagaimana tiba-tiba setiap orang yang ada disana terperangah dengan respon alam saat-saat kematian Yesus yang makin dekat.

Dalam kekristenan, kegelapan sering dikonotasikan dengan dosa atau sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Kegelapan yang sedang terjadi saat itu, seolah menunjukkan kegelapan hati manusia yang menyalibkan Yesus yang tidak berdosa.

Melalui peristiwa alam di hari Jumat Agung itu, kita diingatkan agar waspada dengan kegelapan rohani. Karena hidup manusia sesusungguhnya bukan hanya soal hal-hal jasmani saja, tetapi juga hal-hal rohani. Sebagaimana kita selalu menjaga jasmani kita tetap sehat, demikian juga kehidupan rohani harus dijaga tetap sehat dan kuat agar jauh dari kegelapan dan dosa-dosa yang tidak berkenan di hadapan Tuhan.

Kedua, tabir bait suci terbelah dua.

Pada masa itu, ritual ibadah umat kepada Tuhan dilakukan di bait Allah dengan perantaraan Imam. Umat hanya bisa menyampaikan korban persembahan melalui para Imam di bait Allah. Ada batas antara umat dan Allah, ada tabir pembatas sehingga Allah tidak berkenan bertemu langsung dengan umat kecuali melalui perantaraan Imam.

Peristiwa tabir bait Allah yang terbelah dua, menunjukkan kini tidak ada lagi kasta orang beriman. Setiap orang sekarang bisa datang langsung kepada Tuhan untuk beribadah dan berkeluh kesah tanpa harus melalui perantara. Kematian Yesus telah menghancurkan tabir pembatas itu, karena mulai saat itu, Yesuslah perantara langsung antara jemaat dan Tuhan.

Saya membayangkan bagaimana jika tidak terjadi peristiwa terbelahnya tabir bait suci itu. Hingga sekarang tentu saja kita masih harus beribadah melalui perantara Imam bait Allah. Permohonan pengampunan dosa dan doa-doa tidak bisa kita sampaikan langsung kepada Allah. Kematian Yesus memang suatu anugerah besar agar kita bisa beribadah dan bercakap-cakap langsung dengan Allah melalui doa-doa pribadi kita.

Ketiga, kematian Yesus.

Sesaat sebelum kematianNya, Yesus berseru dengan suara nyaring: "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku. Kematian Yesus sesungguhNya bukan semata-mata karena Ia tersalib, tetapi karena Ia menyerahkan nyawanya.

Sebelum perkataan ini disampaikanNya, masih di atas kayu salib itu, Yesus sempat berseru: "Eli, Eli, Lama Sabachthani!" Kalimat yang berarti "Allahku, ya Allahku, mengapa Kau tinggalkan Aku?" ini sebenarnya sedang menunjukkan pergumulan yang besar dialami Yesus karena harus mengalami penyaliban, dipandang sebagai manusia berdosa, padahal sejatinya Ia adalah Tuhan.

Namun, ketika akhirnya Ia pun menyerahkan nyawaNya mati di kayu salib, menunjukkan kepada kita bentuk penyerahan diri Yesus pada kehendak Allah. "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Demikianlah Yesus memilih kehendak Tuhan terjadi atas hidupNya.

Dan sesaat sebelum kalimat tersebut keluar dari mulut Yesus, ia berseru "tetelestai" yang artinya "sudah selesai". KematianNya di atas kayu salib, menjadi akhir tugasNya di dunia sebagai penebus dan juru selamat bagi manusia berdosa.

Ya, sudah selesai. SalibNya yang dipandang sebagai kehinaan justru adalah penyempurnaan dari tugasNya selama kurang lebih hidup 33 tahun di dunia. Melalui kematian Yesus di kayu salib, jaminan keselamatan kita telah sempurna dikerjakan oleh Yesus.

Peristiwa kematian Yesus adalah peristiwa supranatural, karena Tuhan yang tidak berdosa harus mengalami kematian sebagaimana dialami manusia yang berdosa. Namun tidak ada jalan lain, ini harus terjadi untuk menyelesaikan dan menuntaskan karya penyelamatanNya bagi manusia berdosa.

Lalu bagaimana seharusnya kita berespon terhadap kematian Yesus di kayu salib?

Setelah Yesus menyerahkan nyawanya, dua peristiwa yang dicatat Lukas selanjutnya menjadi teladan bagaimana seharusnya respon kita setelah mengetahui peristiwa kematian Yesus pada Jumat Agung.

Ketika kepala pasukan yang bertugas mengeksekusi kematian Yesus dengan penyaliban melihat apa yang terjadi, ia memuliakan Allah, katanya: "Sungguh, orang ini adalah orang benar!" Kepala pasukan yang tadinya bringas dan menggebu-gebu ingin menghabisi nyawa Yesus, tiba-tiba mengakui kegelapan hatinya dan memuliakan Tuhan.

Demikian pula seluruh orang banyak, yang datang berkerumun di situ dan menonton peristiwa penyaliban Yesus, melihat apa yang terjadi itu, mereka pulang sambil memukul-mukul diri. Sebuah ekspresi penyesalan yang dalam karena telah turut mengolok-olok dan menyalibkan Yesus.

Demikianlah seharusnya sikap kita seperti pengakuan kepala pasukan dan penyesalan orang banyak itu. Ketika menghayati peristiwa Jumat Agung, seharusnya makin menyadarkan diri bahwa kita adalah orang berdosa dan sepantasnya, kitalah yang disalibkan, bukan Yesus.

Karena itu, sudah seharusnya kita datang kepada Tuhan, menyesali dosa-dosa, menyerahkannya di atas salib Yesus dan datang memuliakan Tuhan. Inilah makna terdalam yang harus kita hayati melalui peristiwa kematian Yesus pada hari Jumat Agung yang kita rayakan hari ini.

Cerita tentang kepala pasukan yang bertobat itu memang tidak dilanjutkan di injil Lukas. Namun dari catatan lainnya, akhirnya kepala pasukan itu disebut mati martir dgn giginya yg dirontokkan, lidah yang dipotong, dan kepala yg dipenggal.

Kepala pasukan itu menunjukkan penyesalan dan pertobatannya dengan memberitakan dan menyaksikan kematian Yesus. Dan bahkan, ia harus dihukum mati lebih kejam hingga kepalanya dipenggal demi bersaksi tentang Yesus Kristus.

Bagaimana dengan kita? Apa respon kita setelah mengetahui peristiwa supranatural pada Jumat Agung itu? Tuhan tidak serta merta meminta kita mengikuti kepala pasukan itu dengan mati martir, tetapi respon utama yang seharusnya kita lakukan adalah mengakui kehidupan kita yang penuh dosa, datang dengan penyesalan di bawah salib Yesus dan menerima karya penyelamatanNya untuk menebus dosa-dosa kita.

Selamat memperingati hari Jumat Agung! Selamat menyongsong hari Paskah 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun