Namun, ketika akhirnya Ia pun menyerahkan nyawaNya mati di kayu salib, menunjukkan kepada kita bentuk penyerahan diri Yesus pada kehendak Allah. "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Demikianlah Yesus memilih kehendak Tuhan terjadi atas hidupNya.
Dan sesaat sebelum kalimat tersebut keluar dari mulut Yesus, ia berseru "tetelestai" yang artinya "sudah selesai". KematianNya di atas kayu salib, menjadi akhir tugasNya di dunia sebagai penebus dan juru selamat bagi manusia berdosa.
Ya, sudah selesai. SalibNya yang dipandang sebagai kehinaan justru adalah penyempurnaan dari tugasNya selama kurang lebih hidup 33 tahun di dunia. Melalui kematian Yesus di kayu salib, jaminan keselamatan kita telah sempurna dikerjakan oleh Yesus.
Peristiwa kematian Yesus adalah peristiwa supranatural, karena Tuhan yang tidak berdosa harus mengalami kematian sebagaimana dialami manusia yang berdosa. Namun tidak ada jalan lain, ini harus terjadi untuk menyelesaikan dan menuntaskan karya penyelamatanNya bagi manusia berdosa.
Lalu bagaimana seharusnya kita berespon terhadap kematian Yesus di kayu salib?
Setelah Yesus menyerahkan nyawanya, dua peristiwa yang dicatat Lukas selanjutnya menjadi teladan bagaimana seharusnya respon kita setelah mengetahui peristiwa kematian Yesus pada Jumat Agung.
Ketika kepala pasukan yang bertugas mengeksekusi kematian Yesus dengan penyaliban melihat apa yang terjadi, ia memuliakan Allah, katanya: "Sungguh, orang ini adalah orang benar!" Kepala pasukan yang tadinya bringas dan menggebu-gebu ingin menghabisi nyawa Yesus, tiba-tiba mengakui kegelapan hatinya dan memuliakan Tuhan.
Demikian pula seluruh orang banyak, yang datang berkerumun di situ dan menonton peristiwa penyaliban Yesus, melihat apa yang terjadi itu, mereka pulang sambil memukul-mukul diri. Sebuah ekspresi penyesalan yang dalam karena telah turut mengolok-olok dan menyalibkan Yesus.
Demikianlah seharusnya sikap kita seperti pengakuan kepala pasukan dan penyesalan orang banyak itu. Ketika menghayati peristiwa Jumat Agung, seharusnya makin menyadarkan diri bahwa kita adalah orang berdosa dan sepantasnya, kitalah yang disalibkan, bukan Yesus.
Karena itu, sudah seharusnya kita datang kepada Tuhan, menyesali dosa-dosa, menyerahkannya di atas salib Yesus dan datang memuliakan Tuhan. Inilah makna terdalam yang harus kita hayati melalui peristiwa kematian Yesus pada hari Jumat Agung yang kita rayakan hari ini.
Cerita tentang kepala pasukan yang bertobat itu memang tidak dilanjutkan di injil Lukas. Namun dari catatan lainnya, akhirnya kepala pasukan itu disebut mati martir dgn giginya yg dirontokkan, lidah yang dipotong, dan kepala yg dipenggal.