Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Cerita Rakyat Riau "Lancang Kuning" dan Sebuah Pesan bagi Para Pemimpin

10 Januari 2021   22:34 Diperbarui: 12 Januari 2021   08:35 7343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah mendengar lagu "Lancang Kuning"? Lagu ini diambil dari sebuah cerita rakyat yang berasal dari tanah melayu, Riau tempat saya dilahirkan, yang sekarang banyak disebut orang sebagai "Bumi Lancang Kuning".

Lagu "Lancang Kuning" diciptakan oleh Sulaiman Sjafe'i dan dinyanyikan oleh Eddy Silitonga. Lagu ini sering dinyanyikan dalam prosesi pentahbisan pemimpin di Riau.

Kalimat-kalimat utama dalam lagu "Lancang Kuning" adalah sebagai berikut.

Lancang kuning, lancang kuning belayar malam.
Haluan menuju, haluan menuju ke laut dalam.

Kalau nakhoda, kalau nakhoda kuranglah faham.
Alamatlah kapal, alamatlah kapal akan tenggelam.

Lancang kuning, lancang kuning menentang badai.
Tali kemudi, tali kemudi berpilit tiga.

Lagu "Lancang Kuning" memang sangat populer di Riau. Jika ingin menyebut lagu daerah yang mencari ciri khas Riau, tentulah orang-orang akan merujuk pada lagu "Lancang Kuning".

Lagu "Lancang Kuning" sebenarnya berkisah tentang sorang pemimpin, yang digambarkan sebagai seorang nahkoda "lancang", istilah kapal dalam bahasa melayu, yang menggambarkan sebuah negeri atau pemerintahan.

(Alm) Tenas Effendy, seorang budayawan asal Riau dalam sebuah tulisannya pernah menyinggung mengapa Riau disebut dengan istilah "bumi Lancang Kuning".

Menurutnya, "Lancang" adakah sebuah kapal besar yang biasa digunakan raja-raja mengarungi lautan luas dan merupakan tanda komando armada perang di lautan yang dikendalikan oleh seorang laksamana atau raja.

Sementara warna kuning merupakan warna kebesaran dan sangat khas dalam tradisi orang Melayu. Warna kuning selalu ditemukan dalam berbagai prosesi upacara, pakaian, riasan dan baju kebesaran petinggi adat.

Riau dengan ragam kerajaan maritimnya di masa lalu, seperti Lingga di Kepulauan Riau atau Siak Sri Indrapura di sungai Siak, serta negeri Indragiri, membentang dari laut China hingga Selat Malaka.

Keberadaan Lancang inilah sebagai pemersatu antar pulau-pulau dan mempermudah raja berpindah dari satu negeri ke negeri lain yang dikuasainya. Menyebutkan Riau dengan istilah "Bumi Lancang Kuning" seolah menegaskan bahwa Riau adalah kerajaan Melayu Maritim yang sangat kuat.

Selain itu, menyebutkan Riau sebagai "Bumi Lancang Kuning" juga mengandung pesan khusus agar siapa pun yang memimpin Riau harus seperti penggalan kalimat dalam lirik lagu tersebut "Kalau nahkoda kuranglah paham, alamat kapal akan tenggelam".

Dalam kisah yang diceritakan dalam lagu itu, juga disebutkan soal berlayar pada malam hari. Tentu saja menahkodai sebuah kapal pada malam hari akan sangat berbeda dan jauh lebih menantang ketimbang berlayar pada siang hari.

Jika berlayar pada siang hari ada terang matahari yang bisa dijadikan penerang bagi nahkoda kapal, namun berlayar pada malam hari, seorang nakhoda mengandalkan petunjuk arah angin dan bintang sebagai suluh.

Frase berlayar malam juga mengingatkan bahwa perjalanan dalam roda kepemimpinan tidak selalu akan mulus tanpa tantangan. Karena itu, dibutuhkan seorang nahkoda yang lihai membaca bintang dan arah angin agar bisa membawa kapal besar mengarungi lautan yang luas menuju dermaga yang dituju.

Syarat nahkoda yang lihai dalam menghadapi badai tidak terlepas dengan hadirnya orang-orang yang menjadi tempat berdiskusi dalam menyelesaikan masalah seperti dalam kalimat "Lancang kuning menentang badai, tali kemudi berpilit tiga".

Istilah "berpilit tiga" disini mengacu pada tiga unsur penting dalam tatanan budaya dan adat istiadat melayu, yaitu umara atau orang cerdik pandai, tetua adat dan ulama atau orang paham agama.

Karena budaya Melayu sangat kentara dengan nilai-nilai Islam, posisi ulama memang menempati salah satu posisi penting yang disebut berpilit tiga. Ketiga unsur ini menjadi tempat bagi raja dalam mengambil keputusan ketika menghadapi masalah dalam pemerintahannya.

Sehingga, secara tidak langsung, kalimat terakhir dalam lagu "Lancang Kuning" itu ingin berpesan, saat terjadi masalah di dalam negeri, seorang pemimpin harus menyelesaikan sebijaksana mungkin dengan melibatkan 3 unsur lain yang disebut berpilit tiga.

Dari cerita rakyat yang dikisahkan dalam lirik lagu "Lancang Kuning" ini, kita bisa memetik pelajaran berharga bagaimana menjadi seorang pemimpin, tidak hanya pemimpin dalam konteks pemerintahan tetapi juga dalam organisasi atau lembaga.

Pertama, seorang pemimpin haruslah orang yang diberi anugerah dan passion untuk memimpin. Seseorang yang tidak kurang faham tetapi memahami secara baik seluk peluk kepemimpinan. Menyerahkan roda kepemimpinan kepada seseorang yang tidak punya kemampuan dan hati untuk memimpin niscaya akan membawa kehancuran.

Terlebih lagi jika dipimpin oleh seseorang yang ambisi pribadinya jauh lebih utama dari kemashalatan negeri, maka tinggal menunggu waktu, apa yang dipimpinnya akan tenggelam dan hilang.

Kedua, meskipun seorang pemimpin dianggap seorang yang paling tepat untuk memimpin, bukan berarti ia tidak butuh orang lain untuk menjalankan kepemimpinannya. Justru, pemimpin yang bijaksana selalu akan belajar dan bersedia mendengarkan nasihat dari orang lain termasuk dari orang yang tak diperhitungkan sekalipun jika itu berguna bagi kebaikan bersama.

Namun, tentu saja ini bukan berarti setiap orang berhak memaksakan gagasannya untuk diikuti oleh sang pemimpin. Bagaimanapun, saya percaya seorang pemimpin yang dekat dengan Tuhannya, akan mempertimbangkan sesuatu yang disampaikan dan memberikan putusan sesuai hikmat dan petunjuk Sang Ilahi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun