Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Cerita Rakyat Riau "Lancang Kuning" dan Sebuah Pesan bagi Para Pemimpin

10 Januari 2021   22:34 Diperbarui: 12 Januari 2021   08:35 7343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara warna kuning merupakan warna kebesaran dan sangat khas dalam tradisi orang Melayu. Warna kuning selalu ditemukan dalam berbagai prosesi upacara, pakaian, riasan dan baju kebesaran petinggi adat.

Riau dengan ragam kerajaan maritimnya di masa lalu, seperti Lingga di Kepulauan Riau atau Siak Sri Indrapura di sungai Siak, serta negeri Indragiri, membentang dari laut China hingga Selat Malaka.

Keberadaan Lancang inilah sebagai pemersatu antar pulau-pulau dan mempermudah raja berpindah dari satu negeri ke negeri lain yang dikuasainya. Menyebutkan Riau dengan istilah "Bumi Lancang Kuning" seolah menegaskan bahwa Riau adalah kerajaan Melayu Maritim yang sangat kuat.

Selain itu, menyebutkan Riau sebagai "Bumi Lancang Kuning" juga mengandung pesan khusus agar siapa pun yang memimpin Riau harus seperti penggalan kalimat dalam lirik lagu tersebut "Kalau nahkoda kuranglah paham, alamat kapal akan tenggelam".

Dalam kisah yang diceritakan dalam lagu itu, juga disebutkan soal berlayar pada malam hari. Tentu saja menahkodai sebuah kapal pada malam hari akan sangat berbeda dan jauh lebih menantang ketimbang berlayar pada siang hari.

Jika berlayar pada siang hari ada terang matahari yang bisa dijadikan penerang bagi nahkoda kapal, namun berlayar pada malam hari, seorang nakhoda mengandalkan petunjuk arah angin dan bintang sebagai suluh.

Frase berlayar malam juga mengingatkan bahwa perjalanan dalam roda kepemimpinan tidak selalu akan mulus tanpa tantangan. Karena itu, dibutuhkan seorang nahkoda yang lihai membaca bintang dan arah angin agar bisa membawa kapal besar mengarungi lautan yang luas menuju dermaga yang dituju.

Syarat nahkoda yang lihai dalam menghadapi badai tidak terlepas dengan hadirnya orang-orang yang menjadi tempat berdiskusi dalam menyelesaikan masalah seperti dalam kalimat "Lancang kuning menentang badai, tali kemudi berpilit tiga".

Istilah "berpilit tiga" disini mengacu pada tiga unsur penting dalam tatanan budaya dan adat istiadat melayu, yaitu umara atau orang cerdik pandai, tetua adat dan ulama atau orang paham agama.

Karena budaya Melayu sangat kentara dengan nilai-nilai Islam, posisi ulama memang menempati salah satu posisi penting yang disebut berpilit tiga. Ketiga unsur ini menjadi tempat bagi raja dalam mengambil keputusan ketika menghadapi masalah dalam pemerintahannya.

Sehingga, secara tidak langsung, kalimat terakhir dalam lagu "Lancang Kuning" itu ingin berpesan, saat terjadi masalah di dalam negeri, seorang pemimpin harus menyelesaikan sebijaksana mungkin dengan melibatkan 3 unsur lain yang disebut berpilit tiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun