Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Istriku Berpenghasilan 500 Dollar per Hari di Abu Dhabi, Nikmati Saja!

19 Desember 2020   06:30 Diperbarui: 19 Desember 2020   18:16 1495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan suami-istri| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Seorang suami sejatinya adalah kepala keluarga. Karena peran ini, seorang suami bertanggung jawab untuk mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari untuk seluruh anggota keluarga.

Seorang istri sejatinya adalah seorang penolong agar sang suaminya dapat menjalankan tugas sebagai keluarga keluarga dengan baik. Jika suami bisa menjadi tulang punggung keluarga, maka istri dapat menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dengan baik, tanpa harus ikut bekerja mencari nafkah.

Lain hal jika penghasilan suami tidak dapat mencukupi seluruh kebutuhan keluarga. Maka dengan kesepakatan bersama, istri dapat turut bekerja untuk mendapatkan penghasilan tambahan dan tugas rumah tangga diselesaikan bersama antara suami dan istri.

Bagaimana jika karena alasan satu dan lain hal, suami tidak dapat bekerja? Misalnya karena sakit atau memang suami sulit mendapatkan pekerjaan seperti di saat pandemi covid-19 saat ini. Maka jika memungkinkan bisa saja istri yang bekerja untuk mencari nafkah tanpa bermaksud mengambil alih peran suami sebagai kepala keluarga.

Selama pandemi covid-19 sekarang ini, saya mendengar kabar beberapa teman yang tiba-tiba harus dirumahkan dari tempat kerja. Beberapa dari mereka kemudian memulai usaha bisnis makanan rumahan yang dimasak oleh istri. Saya pikir demikianlah sejatinya kehidupan berkeluarga, di saat suami tidak bisa bekerja, maka atas kesepakatan bersama kemudian istri bekerja demi tetap mencukupi kebutuhan keluarga.

Jika ini adalah kesepakatan sementara, maka suami harus tetap berusaha mencari pekerjaan baru dan membantu peran istri dalam mengurusi rumah tangga. Suami tidak boleh malu atau malah merasa rendah diri jika kemudian tidak mampu menafkahi dan sebaliknya malah mengerjakan tugas-tugas istri sebelumnya.

Termasuk jika situasi sementara ini berlangsung lebih lama dari perkiraan. Maka keduanya harus terus bersabar dalam bertukar peran agar kehidupan berkeluarga dapat berjalan senormal mungkin.

Bagaimana jika situasi ini berlangsung sangat lama atau bahkan menetap? Mau tidak mau, tukar peran sebagai tulang punggung keluarga harus diterima dengan besar hati. 

Namun yang jelas, peran sebagai kepala keluarga tetap dipegang oleh suami dan istri ikhlas mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah.

Dalam hal ini, suami harus bisa mengambil peran istri untuk mengurusi rumah tangga. Jangan sampai suami malah bermalas-malasan di rumah dan sedapat mungkin terus menunjukkan keinginan dalam berusaha menghasilkan sesuatu.

Bagaimana jika keduanya, baik suami maupun istri bekerja? Itu pun tidak salah, asal keduanya memang telah sepakat bersama. Keputusan ini disepakati bisa saja karena terkait kecukupan ekonomi keluarga, tapi bisa juga alasan lain misalnya karena peluang istri berkarier lebih baik baik ketimbang suami.

Saya mengenal beberapa sahabat yang karier si istri lebih baik dari sang suami. Misalnya, beberapa sahabat yang istrinya adalah seorang PNS atau pegawai BUMN. 

Sebenarnya, keduanya dulu telah sama-sama mencoba peruntungan untuk menjadi PNS dan pegawai BUMN, tetapi ternyata si istri yang berhasil masuk dan suami sudah mencoba hingga batas usia tetap gagal.

Atas kesepakatan bersama, istri terus melanjutkan kariernya sebagai PNS atau pegawai BUMN, sedangkan suami bekerja sebagai karyawan swasta atau merintis usaha. Untuk keluarga yang demikian, istri harus bisa menempatkan diri dengan baik agar persoalan karir dan penghasilan jangan menjadi sumber masalah.

Meskipun penghasilan suami jauh lebih kecil, istri tidak boleh membanding-bandingkan penghasilannya dengan penghasilan suami. Berapa pun penghasilan suami harus diterima dan dikelola dengan baik oleh istri untuk keperluan hidup sehari-hari.

Jika ternyata penghasilan suami dapat mencukupi semua keperluan keluarga, maka istri dapat menabung penghasilannya untuk keperluan pendidikan anak di kemudian hari atau untuk persiapan masa tua.

Kalaupun istri akan menggunakan penghasilannya untuk keperluan keluarga saat ini, misalnya untuk membeli kendaraan baru atau untuk renovasi rumah, ini harus tetap didiskusikan bersama agar suami tidak merasa kecil hati.

Termasuk untuk gaya hidup, jangan sampai ada ketimpangan besar terjadi di rumah antara suami dan istri. Suami yang terbatas dengan rela menyerahkan seluruh penghasilannya kepada istri dan berpenampilan sederhana, sementara si istri berfoya-foya menggunakan uangnya untuk penampilan.

Dalam kehidupan berkeluarga, suami dan istri harus bisa melihat penghasilan masing-masing adalah rezeki yang Tuhan berikan untuk keluarga. Karena itu, tidak boleh yang satu merasa rendah diri dan yang lain merasa sombong atas rezeki yang dititipkan untuk bersama.

Alasan lain yang membuat seorang istri bekerja adalah passion. Ini tidak terkait karena suami tidak mampu menafkahi keluarga, tetapi karena ada panggilan jiwa yang diyakini oleh istri untuk berkarya diluar rumah, misalnya sebagai tenaga medis atau panggilan berkarya di pemerintahan.

Jika karena passion ini akhirnya penghasilan istri menjadi lebih besar dari sang suami, maka saat di rumah istri harus tetap kembali pada khodratnya sebagai seorang istri, melayani suami dan anak-anak degan sebaik-baiknya sebagai ibu rumah tangga.

Wanita-wanita demikian sesungguhnya adalah wanita-wanita yang luar biasa. Di luar ia bisa menjadi berkat karena pekerjaannya, di rumah ia tetap bisa menempatkan diri sebagai seorang istri dan ibu yang baik bagi anak-anak.

Terkait penghasilan, jika suami masih tetap bisa mencukupi semua kebutuhan keluarga dengan baik, maka cukuplah dengan menggunakan uang dari penghasilan suami. Penghasilan istri bisa ditabung atau untuk keperluan pensiun. Atau jika sangat berlimpah, bisa saja keduanya sepakat menggunakan untuk keperluan sosial.

Liburan ke Abu Dhabi (Dokumentasi Pribadi)
Liburan ke Abu Dhabi (Dokumentasi Pribadi)
Kondisi ini pernah terjadi di keluarga kami. Suatu saat, istri berkesempatan melakukan suatu project ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Sesuatu yang sangat ia impi-impikan sebelum menikah dengan saya. Karena ini adalah passion-nya, kami bersepakat berpisah sementara demi istri bisa berangkat ke Abu Dhabi.

Karena project di Abu Dhabi ini, istri saya mendapatkan penghasilan 500 US Dollar per hari, hampir setara gaji saya sebulan sebagai seorang ASN. Sesuatu yang tidak pernah saya duga sebelumnya jika istriku berpenghasilan berkali-kali lipat dari suaminya.

Apa yang saya pikirkan saat itu? Terkejut, ya. Senang, ya banget, hehehe .... Bagaimana tidak, karena passion istri saya malah mendapat bayaran yang jauh tak terbayangkan sebelumnya. Coba saja kalikan berapa hari selama 3 bulan disana.

Karena rezeki "ketiban durian runtuh" itulah akhirnya saya bisa menjejakkan kaki di tanah Arab, sesuatu yang tak pernah masuk list daftar tempat liburan yang ingin dikunjungi sebelumnya. Termasuk merasakan sebagai penumpang kelas bisnis di pesawat Etihad Airways, yang saat itu saya ingat benar, harga tiketnya 15 juta rupiah sekali jalan.

Saya dan istri memutuskan untuk menikmati rezeki yang Tuhan berikan melalui penghasilan istri yang jauh lebih besar ketimbang penghasilan saya. Selebihnya diinvestasikan untuk hari tua dan tentu saja untuk mendukung beberapa proyek sosial yang kami sepakati bersama dalam keluarga.

Apakah dengan ini stigma saya sebagai suami kemudian jadi buruk? Saya tidak pernah merasa demikian, karena untuk keperluan sehari-hari, seluruh kebutuhan keluarga tercukupi dengan penghasilan saya sebagai suami.

Sejak menikah, kartu ATM rekening gaji saya serahkan ke istri. Saya mempercayakan kepada istri untuk mengelola keuangan keluarga seberapa pun penghasilan yang saya peroleh.

Walaupun saya tahu, jumlah uang di rekening istri saya jauh lebih besar, kalaupun akan digunakan untuk keperluan keluarga, istri selalu mendiskusikannya lebih dulu.

Jadi, kalau penghasilan istri lebih besar dari suami, tidak perlu minder atau cemburu. Nikmati saja berkat Tuhan, termasuk berkat Tuhan karena memberikan seorang istri yang penghasilannya lebih besar dari suami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun