Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

3 Fase Penting Perjuangan Istri Menjadi Sekolah Pertama bagi Buah Hati Kami

5 Desember 2020   11:01 Diperbarui: 5 Desember 2020   11:16 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bercerita soal "Ibu, Sekolah Pertamaku", rasanya tidak akan pernah cukup jika hanya dibatasi dengan 1500 kata. Terlalu banyak cerita yang bisa saya ceritakan dari pengalaman istri saya dalam mengambil peran penting bagi pertumbuhan buah hati kami.

Secara ringkas, saya akan menyaksikan kisah perjuangan istri saya menjadi sekolah pertama bagi putri kecil kami dalam 3 fase berikut ini.

Fase 1: 41 Minggu Masa Kehamilan, Sering Pingsan hingga Senang Belajar Menjahit dan Matematika

Pagi itu, istri membangunkan saya yang masih sedang tertidur. Dengan bersemangat, ia kemudian menunjukkan sebuah benda yang saya tahu itu adalah alat tes kehamilan sambil berkata "Pa, saya hamil". Kami berdua pun meluap dalam sukacita dan rasa haru bahagia.

Kami pun berdiskusi untuk memutuskan dokter kandungan tempat berkonsultasi seputar kehamilan. Istri saya memilih seorang dokter wanita, karena ia akan merasa lebih nyaman berkonsultasi dengan sesama wanita. Dari rekomendasi seorang teman, kami pun memutuskan ke sebuah RSIA tempat praktik dokter wanita yang dimaksud.

Saat menunggu giliran pemeriksaan di ruang tunggu, ia terlihat antusias mengamati ibu-ibu hamil yang ada disana. Rona bahagia terlihat dari wajahnya, membayangkan kelak juga perutnya akan membesar dengan kehadiran calon buah hati kami.

Giliran kami pun tiba. Saya dan istri waktu itu didampingi oleh ibu saya, masuk ke ruang pemeriksaan dokter. Singkat cerita, dokter pun membenarkan bahwa istri saya positif hamil dengan perkiraan waktu kehamilan 3-4 minggu. Dokter pun kemudian memberikan resep obat penguat rahim dan beberapa suplemen yang penting untuk istri dan calon anak kami.

Masa kehamilan istri saya tidak lah bisa dibilang mudah. Masa-masa trimester pertama, ia mengalami mabuk berat, ia kesulitan untuk makan. Rasa mual membuatnya selalu memuntahkan setiap makanan yang masuk ke perutnya. Namun semangatnya tidak pernah redup, ia tetap berusaha makan agar tetap kuat hari demi hari.

Memasuki masa trimester kedua, perutnya mulai terlihat membesar seiring rasa mualnya yang mulai berkurang. Namun, ia mulai mengalami anemia. Beberapa kali bahkan ia sempat pingsan hingga memasuki trimester ketiga.

Pernah satu kali secara mengejutkan saya menjawab panggilan telepon dari nomor istri namun dari kejauhan bukan suaranya yang saya dengar. Suara dari panggilan telepon itu mengabarkan bahwa istri saya pingsan di sebuah tempat perbelanjaan. Saya pun segera menyusul ke tempat yang dimaksud untuk menemui istri yang memang sudah terbaring lemas namun telah dalam kondisi sadar.

Istri saya juga pernah membuat seisi gereja riuh karena tiba-tiba saat ibadah sedang berjalan, ia lunglai dan akhirnya pingsan. Saya dan beberapa jemaat gereja pun menggendongnya ke sebuah ruang agar ia bisa meluruskan badannya dan berisitirahat sejenak di sana.

Sebenarnya, tidak ada masalah yang berarti dengan kehamilan istri. Kami selalu rutin menemui dokter setiap bulan. Dari hasil pemantauan dokter, kondisinya baik-baik saja. Hanya anemia yang dialami, membuatnya beberapa kali mengalami pingsan.

Selama masa kehamilan, ia suka menikmati salad buah buatan saya. Sebelumnya, saya tak sekali pun pernah membuat salad buah. Berbekal browsing di internet, saya pun memenuhi keinginannya makan salad buah buatan saya hampir setiap hari.

Saat sedang dalam kondisi baik, ia sangat menikmati masa-masa kehamilannya. Jika sedang istirahat di tempat tidur, ia memutar lagu-lagu instrumental yang membuatnya merasa nyaman sembari bercakap-cakap dengan janin yang ada di perutnya.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi

Ia juga belajar menjahit. Ia mengikuti kursus singkat menjahit untuk mengisi masa-masa kehamilannya dengan hal bermanfaat. Di rumah, ia mempraktikkan belajarnya dengan menggunakan mesin jahit listik yang dibelinya, membuat sprei, sarung bantal, alas meja dan beberapa kreasi sederhana lainnya.

Terkadang di saat luang, ia meminta saya mengajarkannya matematika. Ia meyakini jika rajin membahas soal-soal matematika, akan membuat anak di dalam kandungan menjadi cerdas. Ia juga rajin membaca buku saat sedang santai, sembari mengelus perutnya yang terus membesar.

Hampir setiap pagi dan sore, kami berdua jalan kaki di sekitar kompleks perumahan. Saat bertemu dengan tetangga, ia kerap bertegur sapa karena istri saya adalah tipikal wanita hangat dan selalu senang bercerita dengan siapa saja.

Fase 2: Perjuangan Melahirkan Normal, Mengalami Kontraksi Panjang hingga 3 Hari di Ruang Bersalin

Memasuki masa kehamilan 38-39 minggu, kami kembali datang konsultasi ke dokter kandungan. Namun belum terjadi tanda-tanda ia akan segera melahirkan. Dari pemeriksaan dokter, kondisinya sangat baik. Sebelum pulang dokter berpesan, jika dalam dua minggu ini tidak juga ada kontraksi, kami diminta untuk kembali datang ke RS.

Hari itu, masa dua minggu yang disebutkan dokter telah tiba. Ia tak kunjung juga mengalami kontraksi, hanya sedikit mengalami rasa mulas. Mungkin ini tandanya, pikir kami dan segera pergi ke RS seperti pesan dokter sebelumnya.

Saya segera membawa istri ke IGD dan menginformasikan nama dokter yang selama ini menangani kehamilan istri. Setelah dilakukan pemeriksaan standar, kami pun diarahkan ke ruang bersalin. Karena tanda-tanda akan segera melahirkan belum begitu terlihat, kami pun memutuskan untuk menunggu di ruang bersalin VIP, kamar khusus persis di sebelah ruang bersalin umum.

Hampir 3 hari 3 malam menunggu disana, kontraksi yang terjadi tidak juga mengalami perkembangan, bahkan suara tangisan bayi yang baru lahir sudah berulang-ulang kami dengar dari kamar sebelah. Bidan yang memeriksa selalu menyatakan kondisi istri masih bukaan dua. Dokter juga telah memberikan perangsang kontraksi yang dimasukkan melalui cairan infus.

Istri saya makin sering merasakan kontraksi terjadi, tetapi perkembangan bukaan yang ditunggu tak juga terjadi, masih bertahan di bukaan satu. Istri saya tetap yakin dengan keputusannya untuk melahirkan secara normal, seperti yang sering ia sampaikan ke dokter saat konsultasi setiap bulan.

Selama di ruang bersalin itu, ia terus berjalan kesana kemari, sambil melakukan senam kehamilan seperti yang telah ia pelajari sebelumnya dari klub ibu-ibu hamil. Saya juga mengajaknya turun naik tangga RS untuk mempercepat proses bukaan. Namun, hingga memasuki malam ketiga, bukaan tak kunjung berkembang padahal ia mulai mengeluh sakit akibat obat rangsangan kontraksi yang diberi.

Malam itu sekitar pukul 22, dokter pun menemui kami dan menyarankan agar dilakukan operasi caesar, karena istri terus mengeluarkan cairan dan dikuatirkan air ketubannya akan kering. Setelah berdiskusi sebentar, akhirnya istri pun bersedia untuk menjalankan operasi caesar dengan syarat saya diperbolehkan ikut masuk ke ruang operasi.

Dokter pun memberikan izin. Dan akhirnya saya menyaksikan operasi caesar itu secara langsung. Istri saya telah berbaring di atas meja operasi, lampu operasi telah dinyalakan, dan saya tepat berdiri di atas kepalanya seraya menyampaikan doa-doa di telinganya.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi

Tepat pukul 23.15 tanggal 17 Agustus, terdengar suara tangisan bayi mungil kami yang baru lahir. Seorang bayi perempuan dengan berat 3,6 kg dan panjang 51 cm. Kulitnya seperti berkerak, dokter menjelaskan ini akibat terlalu lama di dalam kandungan dan air ketuban yang mulai mengering.

Namun, dokter menjelaskan kondisi bayi kami sehat-sehat saja. Kekuatiran sebelumnya kalau bayi dalam kandungan yang terlalu lama di dalam perut hingga 41 minggu dapat mengalami keracunan, tidak terjadi. Putri kecil kami itu terlahir dengan sangat sehat.

Rasa haru pun kami rasakan, tak terasa air mata bahagia mengalir dari sudut mata istri saya yang saat itu belum sepenuhnya tersadar akibat pemberian obat bius untuk operasi. Sebuah perjuangan telah selesai ia lakukan, membawa bayi di dalam perutnya dalam waktu 41 minggu dengan berbagai dinamika kehamilan yang terjadi.

Fase 3: Full Memberikan ASI Eksklusif 2 Tahun hingga Senang Membacakan Buku Cerita Kepada Anak

Setelah anak kami lahir, istri saya komitmen untuk memberikan ASI Eksklusif penuh dua tahun lamanya. Keingingan itu pun sungguh-sungguh ia lakukan dan memang berhasil.

Ia kerap minum susu suplemen serta makan makanan yang banyak direkomendasi untuk memperlancar produksi ASI. Menu makanan seperti daun katuk, daun bangun-bangun dan beberapa daun hijau lainnya kerap menjadi lauk makan sehari-hari. Disamping protein dan rutin mengonsumsi kacang-kacangan dan buah-buahan segar.

Ia terlihat sangat menikmati waktu-waktu memberikan ASI pada bayi kami. Sembari menyusui, ia juga sering berbicara pada si kecil yang seolah mendengar dan mengerti setiap ucapan yang disampaikan oleh ibunya.

Istri saya memang senang bercerita. Termasuk bercerita berdua bersama si kecil yang baru lahir. Kebiasaan itu terus ia lakukan selama masa menyusui hingga sekarang. Dan dampaknya cukup besar. Dari kebiasaan bercerita itu, anak kami memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik.

Saat melewati masa dua tahun ASI, anak perempuan kami itu sudah lancar bercuap-cuap. Kami sudah bisa berkomunikasi dengan si kecil meski dengan kalimat-kalimat pendek namun sudah dapat kami mengerti dengan baik.

Dalam 5 tahun pertama pertumbuhannya, ia telah tumbuh menjadi balita yang sehat dan bijak berkata-kata. Kebiasaan istri dan saya membelikan buku cerita dan membacakannya, membuat ketertarikannya dengan baca tulis bertumbuh dan kemampuan berkomunikasinya sangat baik.

Kemampuan numeriknya juga terlihat menonjol dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Di usia 3-4 tahun, ia telah bisa berhitung, dan memasuki usia lima tahun ia telah mampu mengenal huruf dan angka.

Tidak hanya itu, ia juga menunjukkan sikap manis dengan sering memberikan bantuan-bantuan kecil pada kami orangtuanya. Saat terlihat sibuk bekerja seharian di depan komputer, ia kerap memberikan segelas air minum pada saya. Saat saya terlihat kelelahan saat akan tidur malam, ia dengan senang memberikan pijatan kecil di kaki dan punggung ayahnya.

Kami pun kemudian memutuskan untuk menyekolahkan anak kami di TK saat usianya 4 tahun 11 bulan. Kepala Sekolah yang kami temui mengonfirmasi bahwa anak kami telah siap masuk TK saat itu.

Saya bersyukur anak kami tumbuh tidak hanya sehat dan cerdas, tetapi juga dengan karakter yang baik. Saya yakin, itu semua tidak terlepas dari peran Istri saya yang berhasil menjadi sekolah pertama dan utama bagi buah hati kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun