Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dilema Rumah Sakit "Banci" dan Asa Pasien Umum Mendapatkan Layanan Terbaik

21 November 2020   10:00 Diperbarui: 21 November 2020   10:10 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari jum'at lalu (20/11/2020), untuk pertama kalinya saya ke Rumah Sakit selama pandemi Covid-19. Saya dan keluarga memang lebih memilih untuk di rumah saja, bahkan saat sedang sakit ringan. Termasuk urusan gigi yang harusnya sudah dikonsultasikan ke dokter gigi.

Sudah hampir 3 pekan ini ibu saya sedang tidak sehat. Ibu saya punya riwayat kadar gula tinggi. Biasanya ia rutin ke Rumah Sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya.

Namun selama hampir 9 bulan pandemi covid-19 ini, ia pun enggan untuk datang ke Rumah Sakit. Saya juga menyarankannya untuk menghindari datang ke Rumah Sakit. Selagi masih bisa dibantu dengan obat-obatan biasa, kami memilih untuk tetap di rumah saja.

Hari itu, kondisi ibu terlihat sangat lemah. Kadar gula yang tinggi sempat mencapai 330, membuatnya sangat tidak nyaman. Selera makannya pun hilang karena perasaan mual yang dirasa.

Ibu juga mengalami batuk akibat Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA). Keluhan ini sudah sempat dikonsultasikan ke klinik terdekat dengan rumah. Kondisi ispa ini diamati dokter telah terjadi peradangan sehingga sesekali membuatnya demam hingga 39 derajat.

Semua kondisi yang terjadi ini akhirnya memaksa kami untuk ke Rumah Sakit. Dan kami pun membawa ibu ke Rumah Sakit yang cukup terkenal di kota Pekanbaru.

Setibanya di Rumah Sakit, kami memilih untuk masuk lewat jalur IGD mengingat kondisi ibu yang lemah. Kami menceritakan semua riwayat keluhan ibu selama 3 minggu sedang tidak sehat ini. Kami berharap ibu dilakukan Medical Check Up (MCU), untuk mengetahui kondisi kesehatannya secara lengkap.

Perawat sempat memeriksa kondisi tekanan darah ibu. Kondisinya memang sedang sedikit tinggi, namun tidak terlalu mengkuatirkan.

Dokter IGD pun kemudian memeriksa detak jantung dan nafas ibu. Dari hasil pemeriksaan, dokter tersebut menginformasikan ada sedikit bunyi berbeda dengan tarikan nafasnya. Singkatnya, ia pun menyatakan kondisi ibu mengarah pada covid-19.

Kemudian, dokter tersebut memberikan dua opsi. Pertama, dilakukan pemeriksaan SWAB secara mandiri. Atau kedua, di rawat di ruang perawatan covid-19 Rumah Sakit tersebut untuk selanjutnya isolasi dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut hingga 2 kali hasil pemeriksaan SWAB negatif.

Sebenarnya kami tidak keberatan jika ibu dirawat asal di kamar perawatan biasa, bukan perawatan covid-19. Namun kebijakan Rumah Sakit mengharuskan pasien yang diduga covid-19 dirawat di ruang khusus pasien covid-19 meski belum dilakukan pemeriksaan SWAB.

Akhirnya kami pun memutuskan untuk melakukan test SWAB mandiri di area drive thru Rumah Sakit tersebut. Walaupun dalam hati merasa sangat kesal, karena ingin melakukan MCU, namun harus melalui pemeriksaan SWAB lebih dulu.

Rumah Sakit menyediakan 3 pilihan SWAB berdasarkan lamanya hasil pemeriksaan keluar. Pilihan waktu paling lama yaitu 3-4 hari dibandrol dengan harga hampir 900 ribu rupiah. Dan yang paling cepat dengan perkiraan waktu 12 jam, dibandrol dengan harga 2 juta rupiah.

Karena ingin mendapatkan hasil secepatnya, kami pun memilih paket seharga 2 juta rupiah. Meski sebenarnya kami sangat yakin bahwa ibu tidak tertular virus corona, tetapi paling tidak kami segera memegang hasil SWAB bebas covid-19 untuk selanjutnya bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

SWAB dilakukan di sebuah tenda di sekitar parkiran Rumah Sakit. Pengambilan sampel dilakukan sekitar pukul 7 malam, dan hanya butuh waktu sekitar 15 menit saja menyelesaikan seluruh prosedurnya. Saat tiba disana, hanya kami sendiri yang akan melakukan pemeriksaan.

Dari bagian informasi menyampaikan bahwa hasil SWAB akan dikirim melalui WhatsApp paling lama 12 jam setelah pengambilan sampel. Dan memang benar, sebelum pagi hari ini kami telah mendapatkan informasi yang menyatakan hasil SWAB ibu negatif seperti keyakinan kami sebelumnya.

Melalui kejadian ini, saya lalu berpikir, sebenarnya pihak Rumah Sakit telah menerapkan prosedur demikian untuk pasien yang akan dirawat. Namun sayangnya Rumah Sakit tidak jujur dengan SOP yang diberlakukan.

Pada dasarnya adalah hal yang wajar jika Rumah Sakit ingin memastikan lebih dulu calon pasien umum untuk bebas covid-19 agar tim medis dapat leluasa melakukan perawatan. Namun, tentu saja dikomunikasikan dengan baik termasuk soal biaya SWAB mandiri yang terbilang cukup memberatkan.

Tidak semua orang mampu dan bersedia mengeluarkan uang 2 juta rupiah untuk keperluan SWAB 8 jam. Kalau pun penerapan SOP nya demikian, perlu win win solution antara pasien dan pihak Rumah Sakit.

Termasuk soal fokus pelayanan Rumah Sakit. Pemerintah dan pihak pengelola Rumah Sakit harus jelas menentukan fokus pelayanan yang diberikan. Jangan menjadi Rumah Sakit "Banci", ingin melakukan pelayanan untuk keduanya, baik pasien umum juga pasien covid-19.

Tipikal Rumah Sakit "Banci" ini sebenarnya telah merugikan pasien umum. Seperti kasus ibu saya, karena menghindari datang ke Rumah Sakit yang ia rutin datangi sebelum pandemi terjadi, justru harus putus berobat dan konsultasi rutin dengan dokter.

Jika pasien umum lalu tiba-tiba kondisinya drop di masa pandemi, sangat merugikan jika kondisi demam yang dialami lalu dikait-kaitkan dengan covid-19 dan harus mengalami pemeriksaan SWAB lebih dulu.

Menurut hemat saya, pihak Rumah Sakit harus menjaga komitmennya untuk melayani pasien-pasiennya selama ini dengan sebaik-baiknya. Kalaupun ada desakan untuk turut menangani pasien covid-19, seharusnya ditolak dan tetap komitmen untuk tidak menjadi Rumah Sakit "Banci".

Setiap pasien berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan yang terbaik. Jangan karena mau turut menangani pasien covid-19, lalu bersikap banci dan merugikan pasien umum non covid-19.

Setelah mengalami kejadian ini, barulah saya mengerti kenapa selama ini banyak kisruh yang terjadi soal layanan Rumah Sakit terhadap pasien umum. Semoga ada perbaikan atas kondisi ini sehingga tidak lagi ada Rumah Sakit "Banci" yang merugikan pasien umum non covid-19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun