Lalu, siapakah yang harus mengambil peran menberikan didikan itu?
Tanggung jawab itu seharusnya diambil alih oleh orangtua sebagai lingkaran terdekat anak. Jika orangtua gagal mengemban tugas itu, maka lingkungan di luar rumah lah yang akan berperan.
Seorang anak yang tidak mendapat pendidikan seks dari orangtua akan mencarinya dari mana pun juga. Jika mereka sangat mudah mengakses internet, maka dunia maya akan menyodorkan konsep seks yang tak sesuai dengan prinsip-prinsip yang seharusnya.
Teman sebaya juga bisa menjadi jebakan besar untuk anak. Bayangkan jika anak dicekoki oleh temannya yang terpapar pornografi berat, bukan tidak mungkin anak akan mencoba-coba aktivitas seksualitas bersama temannya.
Baik teman lawan jenis maupun teman dengan jenis kelamin yang sama, kedekatan anak dengan teman harus tetap dalam pengawasan orangtua. Potensi anak untuk jatuh pada LGBTQ juga patuh diwaspadai.
Lalu, bagaimana orangtua bisa menjadi tempat anak mendapatkan pendidikan seks secara tepat?
Sekali lagi, masalah utamanya adalah budaya kita. Termasuk para orangtua di segala usia, kerap menganggap topik seksualitas adalah sesuatu yang tidak pantas dibicarakan.
Sebuah riset daring yang dilakukan oleh Reckitt Benskiser Indonesia pada tahun 2018 terhadap 500 remaja menyimpulkan, remaja awal lebih memilih dokter atau praktisi kesehatan sebagai sumber informasi pendidikan seks.
Sedangkan di usia remaja, 41% lebih suka membicarakan topik seksualitas dengan teman, 24% mencari informasi tentang seks melalui internet, dan hanya 14% memilih orangtua untuk bertanya tentang seks.
Hasil penelitian ini sesungguhnya menjadi warning keras bagi orangtua. Sangat berbahaya jika remaja justru mencari informasi dari teman dan internet, bukan dengan orangtua nya sendiri.