Setelah sempat banyak diberitakan perihal ditariknya klaster pendidikan dari pembahasan omnibus law, rupanya hal berbeda terjadi dan mengejutkan banyak pihak.  Sektor pendidikan masih masuk dalam UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR pada hari senin (5/10/2020) lalu.
Sektor Pendidikan dan Kebudayaan dalam UU Cipta Kerja diatur pada Pasal 65 dalam 2 ayat. Pada ayat pertama dijelaskan bahwa "Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini".
Sedangkan di ayat kedua dijelaskan "Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah."
Dalam penjelasan ringkasan UU Cipta Kerja oleh Kemenko Perekonomian RI, sektor Pendidikan dan Kebudayaan masuk klaster peningkatan ekosistem investasi. Bersamaan dengan sektor penyiaran dan pertahanan.
Masuknya pendidikan dalam UU Cipta Kerja dinilai banyak pihak dapat mengarah pada kapitalisasi sektor pendidikan. Dengan UU Cipta Kerja ini, proses perizinan pendidikan akan disamakan dengan proses perizinan usaha.
Menyamakan perizinan pendidikan dengan perizinan usaha dapat dinilai sebagai bentuk legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usahanya di bidang pendidikan. Hal ini berpeluang menyuburkan bisnis pendidikan di tanah air.
Memandang sektor pendidikan sebagai usaha atau bisnis tentu saja akan memunculkan peluang pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada keuntungan atau laba. Tentu saja ini sangat bertentangan dengan institusi pendidikan yang merupakan lembaga non profit oriented.
Komersialisasi pendidikan, dimana pengelolaan pendidikan berdasarkan orientasi menghasilkan keuntungan, akan menghalangi anak-anak Indonesia yang berasal dari keluarga tidak mampu untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan setara.
Selain itu, pengaturan perizinan pendidikan dalan UU Cipta Kerja, dikuatirkan akan memunculkan gap kualitas yang makin terbuka lebar antar institusi pendidikan.
Sekolah atau Pendidikan Tinggi dengan sistem pengelolaan berbasis bisnis akan memiliki sumber dana yang berlimpah sehingga pengelolaannya dapat dilakukan seleluasa mungkin. Sementara institusi lain yang mengandalkan sumbangan masyarakat yang terbatas akan sulit mengembangkan diri.
Menanggapi kekuatiran ini, pemerintah memberikan penjelasan bahwa pelaksanaan izin satuan pendidikan dengan menggunakan sistem Perizinan Berusaha hanya berlaku untuk pendidikan yang berada di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
KEK merupakan 15 kawasan yang ditetapkan pemerintah dengan batas tertentu yang tercakup dalam daerah atau wilayah untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Beberapa daerah yang masuk dalam kawasan ini di antaranya adalah KEK Sorong yaitu daerah yang dikembangkan untuk industri pengolahan nikel, hasil hutan dan perkebunan serta logistik. Juga KEK Kendal yaitu daerah yang dikembangkan untuk industri manufaktur elektronik, otomotif, tekstil, furniture, dan logistik.
Meskipun dijelaskan bahwa ketentuan perizinan pendidikan ini hanya dibatasi pada daerah KEK, tetap saja ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Implementasinya harus secara tegas dan jelas diatur lewat peraturan pemerintah agar kekuatiran yang banyak muncul ke permukaan tidak benar-benar terjadi.
Prinsip nirlaba dalam pengelolaan pendidikan harus dijamin sepenuhnya oleh pemerintah. Hal ini harus dilakukan agar hak anak-anak bangsa dalam memperoleh pendidikan yang setara dan berkualitas dapat terpenuhi.
Penetapan UU ini tentu sangat mungkin memunculkan protes besar-besaran oleh kalangan praktisi pendidikan menyusul demonstrasi yang dilakukan oleh asosiasi buruh belakangan ini. Namun tentu saja seharusnya para pelaku pendidikan melakukannya dengan cara yang berbeda.
Salah satu alternatif yang bisa dilakukan tentu saja adalah judical review atau uji materi dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji jika ada aturan-aturan yang bertentangan dengan perundang-undangan lainnya.
Sebagai seorang guru, tentu saja saya sangat tidak setuju jika akhirnya melalui kehadiran UU Cipta Kerja ini lantas memuluskan jalan para pemilik modal untuk membangun bisnis pendidikan. Komersialisasi pendidikan akan membuat pendidikan tidak berjalan dengan baik karena berbagai kepentingan pemilik modal usaha.
Guru tidak akan lagi disebut sebagai pendidik, melainkan pekerja yang bekerja di pabrik bernama sekolah. Tak ubahnya pekerja pabrik, guru akan diposisikan sebagai pekerja untuk menjalankan tugas sesuai permintaan konsumen demi keuntungan pemilik pabrik.
Bagaimanapun, praktik pendidikan dalam sekolah yang berbau komersil dan kapitalis tak akan bisa sungguh-sungguh menjawab cita-cita luhur pendidikan mencerdaskan anak bangsa yang bermartabat. Berbagai kepentingan yang muncul akan saling bergesekan dan menumpulkan tujuan utama pendidikan itu sendiri.
Semoga kehadiran UU Cipta Kerja ini tidak menjadi jalan mulus menuju kapitalisasi pendidikan di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H