Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Betapa Kita Tidak Bersyukur

16 Agustus 2020   18:19 Diperbarui: 16 Agustus 2020   20:34 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.cnnindonesia.com 

Esok Senin (17 Agustus 2020) adalah hari penting dan bersejarah bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, bangsa ini telah berdiri sebagai bangsa merdeka tidak kurang dari 75 tahun. Sungguh suatu hal yang patut disyukuri.

Pandemi covid-19 yang masih terus berlanjut hingga hari ini, memang telah membuat banyak perubahan dalam kehidupan kita sebagai suatu bangsa. Seyogyanya esok ada euforia sukacita yang terjadi dari sabang sampai merauke. Namun semangat 17 Agustus itu harus dirayakan dengan sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

Di seluruh negeri ini, dari kota hingga pelosok tanah air, mungkin akan sulit kita temui semarak perlombaan 17an seperti biasanya. Tak ada tradisi panjat pinang, tak ada keceriaan anak-anak dalam lomba makan kerupuk dan mungkin kita tidak akan berada pada barisan upacara mengenang detik-detik proklamasi.

Dan mungkin tak ada penghormatan pada sang saka merah putih secara langsung seperti biasanya, yang dengan gagahnya dikibarkan oleh putra putri terbaik, pasukan pengibar bendera.

Sejujurnya, kondisi ini memang jauh dari ideal seperti yang kita inginkan bersama. Namun kondisi tak ideal ini harusnya tidak menjadi alasan agar kita dapat memaknai dengan baik hari ulang tahun kemerdekaan negara kita yang ke 75 ini.

Jika selama ini kita merayakan dengan hiruk pikuk suasana kemerdekaan, mungkin kini justru kita harus memaknainya secara personal dalam masa-masa kontemplasi pribadi.

Bagaimanapun juga, keberadaan kita sama pentingnya di negara ini. Tidak ada satupun yang boleh merasa paling penting dan berguna bagi negeri ini. Karena itu, dalam situasi pandemi covid-19 saat ini, justru saya melihat bahwa negeri ini ingin secara individu kita banyak melakukan refleksi, menghayati makna kemerdekaan ini dan mengambil komitmen secara pribadi untuk berbuat bagi bangsa ini.

Sebuah lagu yang diciptakan Subronto Kusumo Atmojo dengan judul "Betapa Kita Tidak Bersyukur", telah menolong saya bagaimana seharusnya secara pribadi saya memaknai HUT RI ke75 dalam penggalan liriknya baris per baris.

"Betapa kita tidak bersyukur bertanah air kaya dan subur;
lautnya luas, gunungnya megah, menghijau padang, bukit dan lembah."

Penggalan pertama dalam lagu ini, mengingatkan saya bahwa hal pertama dan utama yang harus kita lakukan dalam merayakan hari kemerdekaan bangsa ini adalah 'bersyukur'. Mengapa kita harus bersyukur? Dalam bagian reffrain lagu ini, kita diingatkan bahwa tokoh sentral dalam kemerdekaan bangsa ini adalah Tuhan yang Agung dan Mahakuasa.

Saya setuju dengan syair lagu itu, Tuhanlah tokoh utama yang berada di balik layar, yang menggerakkan hati para pahlawan kita terdahulu, untuk rela mati demi merebut kemerdekaan. Tanpa Tuhan yang mengobarkan semangat, mereka pada dasarnya hanyalah manusia lemah dan terbatas, yang mungkin mudah sekali takut dan goyah.

Namun, Tuhan yang Agung dan Mahakuasa itu, membakar hati mereka dengan semangat berkorban, hingga para pahlawan kita itu tak lagi mementingkan kenyamanan sendiri, tetapi pergi dan berjuang, bahkan hingga mati di medan pertempuran.

Ketika merenungkan hal ini, bagaimana mungkin kita yang sekarang adalah para pejuang pengisi kemerdekaan, hendak berjuang sendiri dan melupakan sosok sentral itu?

Negeri ini adalah milik Tuhan yang dititipkan bagi kita yang mengaku bagian dari bangsa ini. Karena itu, dalam mengelola negeri ini adalah suatu kebodohan jika kita hanya mengandalkan kemanusiaan kita yang terbatas dan mengesampingkan DIA yang Agung dan Mahakuasa.

Karena itu jugalah, bukan saatnya lagi berlomba-lomba menonjolkan satu golongan tertentu saja untuk maju dan berdiri pada barisan terdepan, tetapi mari bersama saling bergandengan tangan atas nama satu bangsa, mengisi kemerdekaan ini dengan tuntunan DIA yang Agung dan Mahakuasa.

Meski saat ini kondisi kita sedang sulit, dimana ekonomi mungkin hampir terpuruk dan kita terancam masuk pada jurang resesi, tetapi justru kejadian ini mengingatkan kita untuk tidak mengandalkan pikiran dan kekuatan kita sebagai manusia dan bangsa yang terbatas.

Kita harus datang dan berserah pada DIA yang Agung dan Mahakuasa, agar kondisi ini menjadi memontum kebangkitan bersama, "membajak" masa krisis dan mengisinya dengan lompatan-lompatan demi kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sesungguhnya tidak ada alasan kita untuk tidak bersyukur di tengah semua kondisi yang tejadi. Negeri ini adalah negeri yang kaya dan subur. Lihat lah sejenak luasnya lautan yang kita miliki, megahnya gunung-gunung yang kokoh berdiri, serta hamparan padang, bukit dan lembah yang menghijau. Bukankah itu semua anugerah yang tak terkira?

Sejauh mana kita telah mensyukuri segala karuniaNya itu bagi kita? Apa yang sudah kita lakukan pada laut, gunung, padang, bukit dan lembah-lembah itu? Sudah kah kita mengelolanya dengan baik demi kemakmuran bersama? Atau justru kita telah merusaknya?

Bukan lagi waktunya saling menyalahkan satu dengan yang lain, tetapi bertanyalah dalam hati masing-masing, apa yang sudah kita lakukan bagi setiap anugerah Tuhan itu?

"Alangkah indah pagi merekah bermandi cah'ya surya nan cerah,
ditingkah kicau burung tak henti, bunga pun bangkit harum berseri."

Penggalan kedua dari lagu itu, mengingatkan saya pada anugerah Tuhan yang lainnya atas negeri ini, yaitu matahari yang tak berhenti menyinari tanah negeri ini setiap hari. Tak terbayangkan oleh saya, bagaimana jika satu hari saja matahari berhenti menyinari tanah kita Indonesia?

Matahari dan panas yang diberikannya, sesungguhnya adalah anugerah yang tak terkira harganya bagi negeri ini. Matahari yang tak lupa terbit dari ufuk timur setiap pagi di seluruh negeri ini, sesungguhnya juga mengingatkan kita, demikianlah Tuhan dengan setianya melihat dan menerangi negeri ini.

Matahari dan panas yang diberikannya, telah membuat semua makhluk terkecuali kita manusia, tak berhenti berkicau dengan syukurnya. Demikian pula setiap tumbuh-tumbuhan yang tak lupa berbunga dan mengeluarkan bau-bauan yang harum dan berseri, seolah mensyukuri nikmat karunia Tuhan dengan caranya sendiri.

Justru harusnya kita tertunduk malu pada mereka, makhluk-makhluk ciptaan yang sering kita anggap lemah itu. Mungkin kita perlu belajar dari mereka, bagaimana seharusnya mensyukuri matahari dan panasnya. Atau justru mungkin kelemahanlah yang kita perlukan, agar kita juga tahu bagaimana harusnya bersyukur seperti mereka.

"Bumi yang hijau, langitnya terang, berpadu dalam warna cemerlang;
indah jelita, damai dan teduh, persada kita jaya dan teguh."

Di bait terakhir lagu itu, saya pun diingatkan dengan bumi kita yang subur dengan langitnya yang terang. Betapa mereka yang diluar sana tidak iri dengan indahnya bumi kita ini. Mereka bahkan rela jauh-jauh datang meninggalkan negerinya untuk menikmati bumi kita yang indah jelita.

Tetapi apa yang kita lakukan pada bumi yang indah ini? Berapa kali kita telah merusaknya dengan membuat sampah sembarangan? Membakar hutan demi memperluas pundi-pundi kekayaan kita? Mengotori langit yang cerah dengan kepulan asap dan polusi setiap hari? Entah bagaimana kita harus meminta maaf pada bumi pertiwi ini?

Di mata mereka yang diluar sana, kita ini dikenal sebagai bangsa yang damai dan penuh keteduhan. Beragam suku, budaya, dan agama sesungguhnya adalah kekayaan yang tak ternilai harganya. Keindahannya telah banyak menarik para wisatawan manca negara untuk datang dan melihatnya dari dekat.

Tetapi apa yang telah kita lakukan akhir-akhir ini? Justru kita merusaknya dengan saling adu jotos satu dengan yang lain. Kita terlalu sibuk mengurusi kebiasaan dan keyakinan orang lain, hingga lupa bahwa sebenarnya diri kitalah yang harus diurus lebih dulu.

Terlalu sering kita melihat selumbar di mata saudara kita, padahal gajah di pelupuk mata sendiri kita abaikan.

Memang luar biasa anugerah Tuhan soal kebebasan yang kita miliki di negeri ini. Tetapi sering kali, kebebasan yang kita pahami hanyalah dari pandangan kacamata kita sendiri, kita lupa setiap orang juga punya kacamatanya sendiri untuk melihat.

Bagaimana seharusnya kita sebagai bangsa yang tahu bersyukur?

Sebagai pelajar dan mahasiswa yang tahu bersyukur, akan belajar dan menggali ilmu pengetahuan dan keterampilan dengan sebaik-baiknya. Kelak ketika menjadi seorang alumni dan terjun ke masyarakat, ia akan punya bekal yang cukup bagaimana memanfaatkan semua potensi yang ada di negeri ini untuk kemajuan bangsa.

Sebagai seorang pekerja profesional yang tahu bersyukur, akan menghayati bahwa bekerja bukan semata-mata untuk memperkaya diri sendiri dan tidak mempedulikan orang lain. Jika ia berbisnis, maka bisnis yang dijalankan akan dikembangkan agar turut menjadi berkat bagi orang di sekitarnya.

Sebagai seorang abdi negara yang tahu bersyukur, akan menyadari bahwa ia adalah pelayan masyarakat, sehingga akan bekerja seoptimal mungkin untuk memberikan pelayanan terbaik. Ia tak akan sekali-kali berniat korup, karena berkat yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya lebih dari cukup.

Semoga peringatan kemerdekaan Indonesia tahun ini, menyadarkan diri kita secara pribadi untuk tahu bersyukur. Menyadarkan bahwa setiap kita sama pentingnya di negeri ini, dan setiap orang punya kuk nya masing-masing untuk memikul apa yang seharusnya ia pikul untuk membajak momentum krisis yang ada demi kesejahteraan bersama.

Mari kembali memaknai kemerdekaan RI ke 75 dengan mengingat bahwa "Itu semua berkat karunia Allah yang Agung, Mahakuasa", dan bagian apa yang dapat kita lakukan di masa momen krisis ini demi kebangkitan negeri yang kita cintai.

Selamat HUT 75 RI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun