Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Betapa Kita Tidak Bersyukur

16 Agustus 2020   18:19 Diperbarui: 16 Agustus 2020   20:34 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.cnnindonesia.com 

Penggalan kedua dari lagu itu, mengingatkan saya pada anugerah Tuhan yang lainnya atas negeri ini, yaitu matahari yang tak berhenti menyinari tanah negeri ini setiap hari. Tak terbayangkan oleh saya, bagaimana jika satu hari saja matahari berhenti menyinari tanah kita Indonesia?

Matahari dan panas yang diberikannya, sesungguhnya adalah anugerah yang tak terkira harganya bagi negeri ini. Matahari yang tak lupa terbit dari ufuk timur setiap pagi di seluruh negeri ini, sesungguhnya juga mengingatkan kita, demikianlah Tuhan dengan setianya melihat dan menerangi negeri ini.

Matahari dan panas yang diberikannya, telah membuat semua makhluk terkecuali kita manusia, tak berhenti berkicau dengan syukurnya. Demikian pula setiap tumbuh-tumbuhan yang tak lupa berbunga dan mengeluarkan bau-bauan yang harum dan berseri, seolah mensyukuri nikmat karunia Tuhan dengan caranya sendiri.

Justru harusnya kita tertunduk malu pada mereka, makhluk-makhluk ciptaan yang sering kita anggap lemah itu. Mungkin kita perlu belajar dari mereka, bagaimana seharusnya mensyukuri matahari dan panasnya. Atau justru mungkin kelemahanlah yang kita perlukan, agar kita juga tahu bagaimana harusnya bersyukur seperti mereka.

"Bumi yang hijau, langitnya terang, berpadu dalam warna cemerlang;
indah jelita, damai dan teduh, persada kita jaya dan teguh."

Di bait terakhir lagu itu, saya pun diingatkan dengan bumi kita yang subur dengan langitnya yang terang. Betapa mereka yang diluar sana tidak iri dengan indahnya bumi kita ini. Mereka bahkan rela jauh-jauh datang meninggalkan negerinya untuk menikmati bumi kita yang indah jelita.

Tetapi apa yang kita lakukan pada bumi yang indah ini? Berapa kali kita telah merusaknya dengan membuat sampah sembarangan? Membakar hutan demi memperluas pundi-pundi kekayaan kita? Mengotori langit yang cerah dengan kepulan asap dan polusi setiap hari? Entah bagaimana kita harus meminta maaf pada bumi pertiwi ini?

Di mata mereka yang diluar sana, kita ini dikenal sebagai bangsa yang damai dan penuh keteduhan. Beragam suku, budaya, dan agama sesungguhnya adalah kekayaan yang tak ternilai harganya. Keindahannya telah banyak menarik para wisatawan manca negara untuk datang dan melihatnya dari dekat.

Tetapi apa yang telah kita lakukan akhir-akhir ini? Justru kita merusaknya dengan saling adu jotos satu dengan yang lain. Kita terlalu sibuk mengurusi kebiasaan dan keyakinan orang lain, hingga lupa bahwa sebenarnya diri kitalah yang harus diurus lebih dulu.

Terlalu sering kita melihat selumbar di mata saudara kita, padahal gajah di pelupuk mata sendiri kita abaikan.

Memang luar biasa anugerah Tuhan soal kebebasan yang kita miliki di negeri ini. Tetapi sering kali, kebebasan yang kita pahami hanyalah dari pandangan kacamata kita sendiri, kita lupa setiap orang juga punya kacamatanya sendiri untuk melihat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun