Esok Senin (27/07/2020) sudah memasuki pekan ketiga tahun ajaran baru 2020/2021. Meski sudah terlewati 2 minggu, bukan berarti tahun ajaran baru ini terlewatkan dengan sangat mudah.
Banyak cerita yang muncul ke permukaan. Mulai dari keluhan orangtua seputar pembelajaran daring yang menghabiskan banyak kuota internet, hingga keluhan peserta didik tentang banyaknya tugas-tugas yang harus dikerjakan dari rumah.
Hari ini pun saya membaca postingan salah satu orangtua murid di media sosial. Entah hanya bersifat guyonan, atau memang demikian adanya, postingan itu menyatakan "MENYERAH MAIN GURU-GURUAN!".
Saya menuliskannya dengan huruf kapital, karena memang demikian adanya postingan itu tertulis. Sekali lagi entahlah hanya candaan atau luapan kemarahan orang tua karena ditulis dengan huruf kapital dan tanda seru.
Pada intinya, postingan itu menyatakan keberatan orangtua karena diberikan beban untuk mendampingi anak-anak dalam kegiatan belajar mengajar di rumah.Â
Alasan yang disampaikan dalam postingan tersebut adalah untuk menghindari keretakan hubungan antara orangtua dan anak karena dikhawatirkan yang terjadi bukan kegiatan belajar mengajar, tetapi kegiatan hajar menghajar. Oalah, koq sampai begitu ya?
Terus terang, ketika membaca postingan ini, ada dua hal yang saya pikirkan sebagai seorang guru.Â
Pertama, sebagai seorang guru saya turut berempati jika para orangtua saat ini merasakan kesulitan dan harus berbeban berat ketika berperan sangat besar mendampingi anak-anak selama belajar dari rumah. Bahkan hingga membuat hubungan antara orangtua dan anak menjadi tidak harmonis lagi.
Para orangtua yang saya hormati, paling tidak kita mulai bisa merasakan apa yang dialami oleh bapak ibu guru selama ini ketika mendampingi siswa siswi yang jumlahnya bisa mencapai 36 orang dalam satu kelompok belajar.Â
Mendampingi satu kelas dengan anak-anak yang bermacam-macam karakter dan tingkat kecerdasannya, dari pagi hingga sore saat pembelajaran berakhir.
Bisa dibayangkan, bagaimana guru selama ini melayani anak-anak yang beragam ini seorang diri di kelas. Maka bukan bermaksud untuk membela diri jika terkadang para guru marah saat mengajar, karena memang demikianlah adanya, mendampingi satu anak saja begitu sulitnya, apalagi satu kelas dengan keragaman yang ada.