Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

4 Hal yang Dapat Melemahkan "Bonding" Anak dan Orang Tua

13 Juni 2020   21:03 Diperbarui: 14 Juni 2020   08:16 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.theemotionmachine.com

Secara biologis, ada hubungan darah antara orang tua dan anak, dimana dalam diri seorang anak mengalir darah ayah dan ibunya. Namun secara emosional, seharusnya juga terjadi hubungan antara anak dan orang tuanya yang disebut dengan "bonding".

Kamus Inggris - Indonesia menerjemahkan kata "bonding" sebagai "mengikat". Istilah lain yang merujuk pada kata ini adalah "emotional bonding" yang dapat diartikan "ikatan emosional".

Dalam perkembangan anak, diperlukan relasi yang terbangun secara terus menerus dengan kedua orang tua. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kualitas relasi sangat mungkin menjadi makin lemah. Kedekatan antara orang tua dan anak saat mulai beranjak remaja tidak lagi seerat saat masih kanak-kanak.

Jika hal ini terjadi, maka akan muncul perasaan ambivalensi dalam diri anak. Di satu sisi, anak membutuhkan keterikatan secara terus menerus secara emosional dengan orang tua, tetapi di sisi lain ada kebingungan karena perubahan relasi yang terjadi. Padahal, justru memasuki masa-masa remaja, bonding antara orang tua dan anak sangat dibutuhkan karena anak sedang bertumbuh menemukan jati dirinya.

Anak remaja yang tumbuh tidak disertai bonding dengan orang tua, sesungguhnya berpotensi menghadapi masalah besar dalam hidupnya di kemudian hari. Tanpa bonding dengan orang tua, sangat mungkin seorang anak akan mencari dan menemukan kedekatan dari tempat yang salah. Saat mengetahui anak mulai menunjukkan sejumlah tanda kenakalan, barulah orang tua tersadar, bahwa bonding antara anak dan orang tua tidak boleh putus.

Lantas, apa yang menyebabkan melemahnya ikatan antara anak dan orang tua? Paling tidak ada empat hal yang perlu diwaspadai agar bonding antara anak dan orang tua tidak melemah.

Pertama, orang tua yang terlalu sibuk.

Kesibukan dunia kerja akan banyak menyita waktu orang tua. Apalagi jika ayah dan ibu, keduanya bekerja, maka yang sering terjadi adalah kehidupan yang serba cepat dan sulit menemukan waktu-waktu berkualitas bersama anak.

Sering sekali, orang tua pulang ke rumah dengan sisa-sisa energi yang telah banyak terkuras sepanjang hari. Kebutuhan orang tua saat tiba di rumah adalah istirahat untuk memulihkan kondisi dari kelelahan. Hal ini akan membuat interaksi antara orang tua dan anak menjadi sulit. Anak kemudian tidak lagi merasakan kehadiran dan kehangatan orang tua.

Belum lagi jika orang tua memiliki keluarga besar dan segudang aktivitas sosial. Akhir pekan yang seharusnya menjadi kesempatan membangun kedekatan dengan anak, justru tidak terjadi. Orang tua sibuk dengan sejumlah kunjungan keluarga dan pertemuan-pertemuan sosial dengan orang lain.

Jika orang tua terus membiarkan kesibukan ini menjadi alasan, dan tidak banyak upaya untuk kembali memulihkan relasi dengan anak, maka bisa dipastikan bonding antara anak dan orang tua akan melemah.

Kedua, kepribadian orang tua yang buruk.

Orang tua yang memiliki kebiasaan buruk akan sulit membangun bonding dengan anak. Seorang ayah yang suka minum minum keras dan pulang ke rumah dengan mabuk alkohol, akan membuat anak takut dan menjaga jarak. Seorang ibu yang sering marah-marah juga akan membuat anak tidak nyaman dan memilih menghindar.

Apalagi jika kedua orang tua sering cek cok di depan anak. Hal ini akan membuat anak merasa di antara kedua orang tua. Suasana rumah yang tidak nyaman akan membuat anak tidak betah di rumah, dan memilih mencari tempat diluar yang lebih tenang. Jika ternyata anak pergi ke tempat yang salah, maka akan sangat mungkin bonding antara anak dan orang tua hilang, dan digantikan dengan sosok lain dari luar rumah.

Pada dasarnya, tidak ada orang tua yang sempurna. Tidak ada juga keluarga yang benar-benar bebas dari percekcokan. Namun, adalah kewajiban orang tua mengelola setiap konflik yang ada dan berjuang untuk menjadi teladan bagi anak, agar anak tetap melihat kedua orang tua nya sebagai profil orang dewasa yang perlu ditiru.

Ketiga, penerapan disiplin yg salah.

Setiap keluarga tentu ingin punya anak yang membanggakan. Punya prestasi yang baik di sekolah, berperilaku manis dan menghormati kedua orang tuanya. Namun, untuk mencapai hal ini, terkadang orang tua menerapkan cara yang salah, pendisplinan yang keras dan tidak permisif.

Orang tua yang menerapkan disiplin yang keras, biasanya tidak mentolerir sedikitpun kesalahan dari anak-anaknya. Anak akan takut melakukan sesuatu karena takut akan melakukan kesalahan. Padahal, dari satu kesalahan justru anak akan belajar hal baru untuk memperbaiki diri dan manjadi lebih dewasa.

Dalam hal ini, seharusnya orang tua berperan menyediakan pintu maaf yang lebar saat anak melakukan kesalahan. Orang tua harus belajar lebih sabar dan membimbing anak untuk menyadari kesalahannya sehingga dengan kesadaran sendiri, anak berjanji tidak akan mengulangi kembali.

Anak-anak yang diberi banyak maaf, akan belajar tentang kesabaran dari orang tuanya. Mereka akan nyaman datang untuk mengadu kepada orang tua, karena keyakinan bahwa orang tua nya akan selalu membuka pintu maaf dan kesempatan untuk berubah lebih baik.

Keempat, pola pengasuhan yg salah.

Beberapa keluarga menerapkan pola asuh yang ekstrim, terlalu permisif atau sangat diktator. Orang tua yang terlalu permisif, sering kali akan membuat anak manja dan tidak tahu menghormati orang tua dengan baik. Anak-anak yang demikian akan melihat orang tua bukan menjadi sosok penting yang harus dicari saat sedang mengalami masalah.

Orang tua yang otoriter, selalu ingin didengar dan bertindak sebagai bos besar atas anak. Bagi orang tua yang demikian, tugas anak adalah menuruti semua perintah dan tidak boleh ada bantahan. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh orang tua yang otoriter, akan menjadi anak yang cenderung tertekan dengan kehadiran orang tua.

Orang tua yang sering membanding-bandingkan satu anak dengan anak yang lain juga akan membuat anak sulit dekat dengan orang tua. Anak-anak yang demikian akan merasa tidak berharga dan tidak bisa membanggakan bagi orang tua. Jika ini terus menerus dialami, maka anak akan kehilangan kebanggaan terhadap orang tua dan tidak merasakan ikatan yang berarti bersama orang tua.

Sebagai orang tua, tugas kita adalah mengevaluasi diri, apakah ada dari keempat hal di atas yang terjadi dalam relasi kita dengan anak. Jika ternyata tanpa disadari telah terjadi, maka tugas kita adalah segera memperbaiki diri agar kembali dapat memulihkan bonding kita dengan anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun