Sumber Gambar : newsmaker.tribunnews.com
Pasca pengumuman kelulusan siswa tingkat SMA, mencuat kabar tak sedap dari dunia pendidikan Indonesia setelah sejumlah pelajar yang berasal dari bumi Melayu Riau melakukan aksi tak senonoh untuk merayakan kelulusan mereka.Â
Aksi ini semakin santer dibicarakan tidak hanya karena dilakukan pada masa PSBB Pandemi Covid-19 dimana semua masyarakat dibatasi untuk berkumpul dan beriteraksi diluar, tetapi juga aksi ini dilaksanakan di bulan Ramadhan dimana seharusnya banyak orang justru melakukan ibadah di rumah masing-masing.Â
Kejadian ini banyak menuai kecaman dari berbagai pihak, tak ketinggalan Menteri Pendidikan, Mas Nadiem Makarim turut angkat bicara. Dari salah satu akun media sosialnya, Mas Nadiem bahkan menyebut kalau tindakan yang dilakukan oleh sejumlah siswa asal Kabupaten Rokan Hulu Riau itu merupakan kesalahan yang sangat fatal.
Sebagai seorang guru di tingkat sekolah menengah atas, saya ikut terusik berkomentar menyoroti hal ini. Menurut saya, ini hanyalah fenomena gunung es, persoalan yang tampak di permukaan saja.Â
Namun, jika diperhatikan lebih dalam, ada banyak lagi persoalan tentang carut marut dunia pendidikan Indonesia. Bukan berarti saya tidak turut marah dengan apa yang dipertontonkan oleh sejumlah pelajar tersebut, namun mari kita melihat persoalan ini lebih dalam, sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali.
Persoalan utama yang saya amati adalah, pendidikan kita terlalu berfokus pada pencapaian angka-angka, entahkah itu pada aspek pengetahuan, tak terkecuali pada aspek keterampilan.Â
Keberhasilan pembelajaran di kelas, disimpulkan ketika semua siswa mencapai Kriteria Kompetensi Minimal (KKM) yang ditetapkan oleh Sekolah. Jika ada siswa yang tak tuntas mencapai KKM, maka guru tersebut dipaksa untuk menuntaskan nilai siswa tersebut dengan berbagai macam cara.Â
Idealnya, proses Remedial dilakukan dengan memberikan pembelajaran ulang bagi siswa yang bersangkutan, tetapi tidak jarang bahkan ketika sudah berulang-ulang diadakan proses remedial, siswa tersebut tetap belum mampu mencapai KKM karena berbagai faktor.Â
Menurut saya, saat ini penetapan KKM tidaklah menjadi urgensi untuk dilakukan. Ditambah lagi, KKM justru menjadi ajang adu hebat sekolah. Sekolah yang berani menetapkan KKM lebih tinggi dianggap sebagai sekolah yang lebih baik dan bermutu. Dalam hal ini, Kementerian Pendidikan perlu memikirkan kembali pentingnya penetapan KKM dan proses Remedial di Sekolah.
Pendidikan di Indonesia perlu lebih serius memikirkan bagaimana menyeimbangkan antara pencapaian kompetensi pengetahuan dan keterampilan dengan kompetensi sikap.Â
Mata Pelajaran Agama dan Budi Pekerti dan Pendidikan Kewarganegaraan tidak boleh menjadi satu-satunya ujung tombak dalam pencapaian kompetensi sikap siswa. Karena faktanya, setiap guru mata pelajaran ini juga harus berkejar dengan target kurikulum menuntaskan kompetensi-kompetensi dasar pengetahuan dan keterampilan.Â
Justru saya melihat, tuntutan pencapaian kedua kompetensi ini jauh lebih banyak dibebankan kepada guru ketimbang kompetensi sikap. Merdeka belajar yang akhir-akhir ini didengungkan, faktanya belum dapat diterapkan sepenuhnya.
Kurikulum yang ada saat ini perlu ditinjau ulang. Target-target kurikulum yang sangat padat, sebenarnya menjadi tantangan besar penerapan merdeka belajar.Â
Saya lebih setuju jika sekolah diberikan kebebasan sepenuhnya untuk menyusun kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Jika ini terjadi, sekolah tidak lagi perlu mengejar target-target pencapaian kurikulum yang diwajibkan oleh pemerintah.Â
Sekolah bisa merdeka menetapkan capaian-capaian yang diharapkan untuk peserta didik di sekolah, dan siswa merdeka dari tuntutan yang seabrek-abrek.Â
Sudah saatnya, sekolah lebih fokus pada pencapaian sikap dan karakter, tetapi tetap dengan tidak melupakan dimensi pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan oleh setiap siswa.Â
Saya lebih respek jika siswa di kelas saya belajar menyisihkan uang saku nya untuk memperhatikan temannya, ketimbang mampu berhitung dengan baik soal bunga tabungan di bank tetapi tidak sensitif jika teman dekatnya tidak punya uang untuk sekedar beli buku dan pena.
Terkait dengan kelulusan siswa yang dibicarakan di awal, adalah tugas sekolah untuk mendidik anak-anak didiknya untuk bisa memilih kegiatan yang lebih bermanfaat ketimbangan coret-coret baju, konvoi dan kegiatan-kegiatan tak bermakna lainnya. Aksi peduli sosial terkait rasa syukur atas kelulusan perlu diwacanakan.Â
Tentu saja ini tidak mungkin secara tiba-tiba menjadi pilihan yang dipilih oleh setiap siswa. Dalam proses pembelajaran sehari-hari, ini harus menjadi warna di sekolah.Â
Ketika mengajarkan tanggung jawab kepada siswa misalnya, perlu kegerakan bersama seluruh warga sekolah bagaimana mengaplikasikan rasa tanggung jawab ini kepada sesama manusia, tidak sekedar diskusi dan pemahaman intelektual di kelas tentang arti kata tanggung jawab.
Bagaimana peran kita sebagai guru dalam pendidikan karakter ini? Saya menghayati peran guru sesungguhnya adalah 'tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, dan ing ngarsa sung talada'.Â
Dari belakang, seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan, di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide, dan di depan, seorang guru harus memberi teladan atau contoh tindakan. Pendidikan karakter di sekolah tidak mungkin bisa berhasil, jika guru sebagai ujung tombaknya tidak menghayati tiga peran ini dengan baik.Â
Bagaimana mungkin guru bisa mengajarkan soal kerja keras, jika gurunya sendiri tidak sungguh-sungguh menyiapkan pembelajaran di kelas dengan yang terbaik, materi ajar yang disampaikan sudah usang, tidak menarik dan tidak relevan dengan kondisi.Â
Bagaimana mungkin guru bisa mengajarkan soal kedisiplinan, jika masuk kelas saja gurunya sering terlambat, keluar kelas sebelum waktunya, atau bahkan sibuk dengan gadget selama di kelas.Â
Bagaimana mungkin guru bisa mengajarkan soal peduli dengan sesama, jika gurunya tidak pernah punya waktu cerita kepada setiap siswa dari hati ke hati.Â
Parahnya lagi, bagaimana mungkin sebagai guru kita bisa menuntun siswa untuk mengalami perubahan sikap yang lebih baik, jika soal lepas dari kebiasaan merokok pun adalah sulit kita lakukan.
Bapak dan ibu guru, kita ini adalah role model bagi anak-anak didik kita. Tangan kita harus lebih lambat untuk menuding kesalahan orang lain dan telinga kita harus lebih banyak kita gunakan untuk mendengar dari pada menggunakan mulut untuk berkata-kata.Â
Anak-anak didik kita saat ini sedang mencari jati dirinya. Bagaimana mereka kelak setelah dewasa, sesungguhnya tidak terlepas dari peran kita sebagai gurunya saat ini. Sebagai guru, tugas kita adalah menabur hal-hal yang baik bagi mereka.
Memang tidak ada jaminan, bahwa apa yang baik yang telah kita tabur, kelak akan kita tuai yang baik pula. Masih ada faktor lingkungan, termasuk keluarga yang memberikan andil.Â
Tetapi harus ingat, selain kita sebagai guru dan anak-anak sebagai siswa, serta faktor lingkungan, masih ada sosok sentral yang tidak boleh kita lupakan, yaitu Tuhan yang dapat melakukan jauh dari apa yang dapat kita pikirkan dan lakukan.Â
Tugas kita adalah fokus menabur yang baik, lalu berdoa kepada Tuhan agar Ia memberikan pertumbuhan yang baik atas apa yang kita tabur. Semoga pada masanya nanti, kita dapat menuai yang baik pula dari apa yang kita tabur.
Hasil refleksi dan perenungan penulis selama work from home Pandemi Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H