Mohon tunggu...
Josegi Machioreno Ginting
Josegi Machioreno Ginting Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Indonesia

Mimpi saya melihat Indonesia besar bukan hanya secara kuantitas, namun secara kualitas; disegani bukan karena banyak penduduknya, tapi karena produktif penduduknya; dilihat bukan sebagai pasar produk, namun pasar pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Fenomena "Turun Kelas" Kelas Menengah di Indonesia: Paradoks atau Peringatan Dini?

9 September 2024   18:00 Diperbarui: 10 September 2024   12:47 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini menyebabkan peningkatan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dari 5,23 persen pada bulan Agustus 2019 menjadi 7,07 persen pada Agustus 2020. 

Namun, rilis terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Februari 2024, TPT Indonesia menurun menjadi 4,82 persen, lebih rendah dari kondisi sebelum pandemi. 

Meskipun demikian, kelihatannya penurunan pengangguran ini tidak serta merta memperbaiki kondisi kelas menengah yang justru mengalami fenomena "turun kelas".

Sumber: Badan Pusat Statistik
Sumber: Badan Pusat Statistik

Menurut BPS, terjadi pergeseran lapangan pekerjaan bagi penduduk kelas menengah berdasarkan sektor pekerjaan. Pada tahun 2019, sebelum pandemi COVID-19, sebanyak 62,76 persen dari kelas menengah bekerja di sektor formal. Namun, pada tahun 2024, angka tersebut turun menjadi 59,36 persen. 

Pergeseran ini dapat diartikan bahwa sebagian kelas menengah yang sebelumnya bekerja di sektor formal kini (terpaksa?) beralih ke sektor informal, atau mereka tidak lagi tergolong sebagai kelas menengah, alias "turun kelas". Sektor informal dikenal memiliki risiko tinggi, dengan jaminan pekerjaan yang minim, ketidakpastian penghasilan, serta rentan terhadap gejolak perekonomian.

Peringatan Darurat

Fenomena "turun kelas" serta pergeseran dari sektor formal ke sektor informal pada kelas menengah merupakan sebuah early warning bagi pembuat kebijakan untuk dapat lebih cepat dan tepat dalam mengambil keputusan intervensi jangka pendek, menengah maupun panjang. 

Indonesia tidak hanya milik kelompok atas ataupun kelompok miskin saja. Semakin lama pemerintah mengintervensi, akan semakin kuat bunyi warning-nya. Sebut saja Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dirilis BPS pada awal September menunjukkan bahwa telah terjadi deflasi selama 4 bulan berturut-turut dari bulan Mei-Agustus 2024. Fenomena deflasi 4 bulan berturut-turut ini juga pernah terjadi pada krisis moneter 1998 dan 2008. 

Menjadi pertanyaan serius, apakah hari ini kita sedang mengalami krisis moneter juga? Pemerintah tidak boleh "alergi" terhadap berbagai indikator dan early warnings, namun justru perlu untuk dicermati secara lebih mendalam oleh pemerintah agar dapat meramu "obat" yang tepat diagnosa untuk perekonomian di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun