Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2019, mencatat pertumbuhan pengguna internet dan dampaknya bagi tren belanja online. Data yang ditampilkan Susenas 2019 berada pada rentang kategori kota-kota yang generasinya menggunakan layanan internet untuk belanja online. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku belanja online masyarakat adalah persepsi  manfaat.  Persepsi  manfaat  didefinisikan sebagai keyakinan  konsumen  tentang  sejauh mana  ia  akan  menjadi  lebih  baik  dari  transaksi online melalui situs web tertentu.Â
Konsep dari kata "manfaat" mengacu pada sejauh mana suatu inovasi dianggap lebih baik untuk menggantikan gagasan yang telah ada sebelumnya.  Misalnya,  manfaat  dari  berbelanja  melalui situs web mencerminkan  pengakuan konsumen bahwa metode belanja baru tersebut memberikan manfaat tertentu sebagai format belanja alternatif. Jika seorang pelanggan percaya bahwa  ia  akan mendapatkan  keuntungan  yang  lebih  besar  ketika  membeli sesuatu secara daring daripada secara konvensional, ia tentu lebih memilih opsi belanja tersebut dalam  pemenuhan  kebutuhannya.
Susenas menyatakan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 116 juta pada tahun 2019. Dari angka tersebut, tercatat kategori masyarakat yang paling meminati kegiatan belanja online adalah kaum milenial (kelahiran tahun 1981-1996). Data tersebut mencatat bahwa dari 47 juta milenial pengguna internet, sebanyak 17 persen atau sekitar 7,8 juta di antaranya suka belanja online.Â
Di sisi lain, jumlah pengguna internet dari generasi Z (kelahiran tahun 1997 ke atas) sekitar 44 juta, dan 3,8 juta atau 9 persen di antaranya suka berbelanja online. Sementara itu, dari kalangan generasi X (kelahiran tahun 1965-1980), ada sekitar 21 juta pengguna internet yang 13 persen atau 2,7 juta penggunanya suka berbelanja daring. Generasi yang lahir pada 1946-1964 (baby boomers), dari 4,5 juta jumlahnya, hanya 10 persen atau sekitar 450 ribu orang saja yang memanfaatkan internet untuk belanja online. Terakhir, kalangan dari generasi paling lawas, yakni yang lahir pada tahun 1928-1945, dari 124 ribu orang, hanya 9 persen yang memanfaatkan fasilitas ini.
Perilaku Belanja Online di Kalangan Mahasiswa
Dari data di atas, didapat bahwa mahasiswa yang memiliki rentang umur serupa berada pada posisi pertama lapisan masyarakat yang gemar berbelanja online. Eratnya relasi antara mahasiswa dan teknologi menjadi salah satu alasan tingginya pengetahuan mereka akan aktivitas belanja online. Hal ini terjadi karena kenyamanan dan kepraktisan yang ditawarkan aktivitas belanja online kepada publik.
Belanja secara daring cenderung menghemat biaya dan waktu. Biaya transportasi maupun biaya tidak terencana lainnya dapat dihindari dengan berbelanja secara daring. Kebebasan akses yang terus-menerus selama 24 jam, kemudahan dalam memilih produk karena sudah disediakan katalog, dan tidak adanya dorongan emosional akibat penjual toko menjadi alasan banyak orang beralih ke cara belanja ini. Produk-produk yang dipromosikan dengan baik dan diunggah dengan cantiknya ke situs jual-beli online banyak menarik orang-orang untuk membelinya, bahkan sekalipun mereka tidak membutuhkan hal tersebut.
Hal di atas kemudian dapat dikaitkan dengan faktor-faktor internal dari dalam diri masyarakat sendiri, atau dalam hal ini: mahasiswa. Globalisasi membentuk masyarakat menjadi lebih praktis, instan, dan konsumtif. Sifat-sifat ini akhirnya menimbulkan rasa malas yang, jika dipasangkan dengan kemudahan belanja online, menjadi komplementer atau saling melengkapi. Perilaku konsumtif mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat dapat dijelaskan dengan teori masyarakat konsumtif berikut.
Dalam jurnalnya, Noor Fatmawati (2020) menulis bahwa teori masyarakat konsumsi merupakan konsep kunci dalam pemikiran Jean Baudrillard untuk menunjukkan gejala konsumerisme yang sangat luar biasa dan telah menjadi bagian dari gaya hidup manusia modern.Â
Baudrillard menyatakan bahwa masyarakat konsumsi tidak lagi digerakkan oleh kebutuhan dan tuntutan konsumen, melainkan oleh kapasitas produksi yang sangat besar. Rasionalitas konsumsi dalam sistem masyarakat konsumen telah berubah drastis, karena saat ini masyarakat membeli barang bukan hanya sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan (needs), namun lebih sebagai pemenuhan hasrat (desire). Konsumsi melibatkan hasrat. Oleh karena itu, proses konsumsi bukan hanya sekedar proses ekonomi, melainkan juga proses psikologis.
Jika diperhatikan, gaya berpakaian mahasiswa terkesan bersaing satu sama lain. Mereka seperti berlomba-lomba untuk memiliki produk-produk bermerek terkenal dan sedang tren. Bahkan, terkadang mahasiswa lebih memperhatikan merek daripada barang itu sendiri. Satu merek lebih dianggap berkelas tinggi dibanding merek lainnya, sehingga mereka rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan produk bermerek tersebut. Perilaku ini cenderung bersifat negatif dan ada akibat pengaruh lingkungan sosial individu mahasiswa itu sendiri. Rasa ingin dihormati dan dipandang hebat ada sebagai hasil dari interaksi sosial antarindividu. Dapat juga dibilang bahwa mahasiswa mengekspresikan dirinya lewat produk-produk yang digunakannya.