Mohon tunggu...
Jose Rizal
Jose Rizal Mohon Tunggu... PNS pada IPDN Kampus Jakarta -

Penjaga NKRI. Penulis buku : Sang Abdi Praja (Gramedia 2013), Kharisma Ayahku, Sebuah Biografi Zairin Kasim (Gramedia 2018). STPDN 1999, S2 Fisip UI 2002. Twitter : @JoseRi_zal

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kontroversi Ahok, Introspeksi IPDN

21 September 2015   11:09 Diperbarui: 21 September 2015   13:57 2285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kompas.com

“Kemarin saya bilang ke Pak Jokowi, ‘Pak kalau bisa IPDN dibubarkan saja pak. Untuk apa ada sekolah IPDN kalau masuknya juga enggak jelas, gimana tesnya. Lulusnya gimana. Itu hanya pembekalan korps saja.’” (Basuki Tjahaja Purnama, 4 September 2015)

Usulan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kepada Presiden Joko Widodo untuk membubarkan IPDN menuai kontroversi. Semenjak dilontarkan Ahok 4 September 2015 lalu, saat melantik sejumlah pejabat eselon Pemprov DKI Jakarta, tidak hanya melukai hati Alumni sekolah pamong praja, sejumlah tokoh pun ramai-ramai menolak dan mengecam Ahok.

Sebut saja Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menko Pembangunan Manusia Puan Maharani, Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan Siti Nurbaya yang pernah menjabat sebagai Sekjen Kemendagri, bahkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Syaiful Hidayah berseberang pendapat dengan ide Ahok. Pada umumnya para tokoh tersebut menilai usulan Ahok itu sama saja melanggar Undang-undang, tidak berpijak pada sejarah bangsa dan sekolah pemerintahan itu tidak bisa dibubarkan karena kebutuhan birokrasi dalam pengelolaan pemerintahan.

Saban hari sejumlah media cetak maupun elektronik menayangkan kegelisahan dan penentangan dari Alumni Pamong Praja terhadap statement Ahok tersebut. Khawatir kontroversi tersebut berkembang liar, Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan (IKAPTK) Djohermansyah Djohan memilih langkah bijak yakni mengajak Ahok untuk bersua. Setelah mengirimkan surat ke Ahok, akhirnya jadwal pertemuan dapat dilaksanakan kemarin (14 September 2015) di Balaikota DKI Jakarta.

Hasil pertemuan tertutup selama 90 menit tersebut membawa angin sejuk. Pernyataan Ahok rupanya berakar dari ketakutan dirinya akan adanya isu moratorium PNS dari presiden. Ketakutan yang tanpa mendasar itulah yang lalu melebar kemana-mana. Selanjutnya Gubernur DKI Jakarta ini berjanji akan menghubungi Djohermansyah bila ada hal-hal yang terkait IPDN.

Sejarah Panjang Sekolah Pamong Praja

Kalau dirunut sejarahnya, cikal bakal sekolah pamong praja telah ada sejak zaman penjajahan Belanda pada awal abad 19. Yakni dimulai dari Hoofden School (HS), yang lalu ditingkatkan statusnya menjadi Opleiding School Voor Inlandsch Ambtenaren (OSVIA). Tamatan OSVIA dapat melanjutkan pendidikannya ke Middelbare Opleiding School Voor Inlandsch Ambtenaren (MOSVIA).

Pada zaman penjajahan Jepang, MOSVIA diganti dengan nama Kursus Dinas C (KDC) dan pada tanggal 17 Maret 1956, Presiden Soekarno mengganti KDC dengan meresmikan pendirian Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) pertama di Kota Malang Jawa Timur dan diikuti dengan pendirian APDN di 20 Propinsi se-Indonesia. Lulusan APDN yang masih tamatan D3 dapat melanjutkan S1-nya ke Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) yang didirikan berdasarkan Kepres RI No 119/1967 di Jakarta.

Pada tahun 1989, seluruh APDN dilebur menjadi satu dan berada di Jatinangor-Jawa Barat dengan nama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) yang bertujuan untuk meningkatkan mutu calon pimpinan pemerintahan di lingkungan Departemen Dalam Negeri dan untuk melaksanakan tugas secara profesional dengan wawasan nusantara.

Metamorfosis di tubuh sekolah pamong praja ini belum usai sampai disitu. STPDN yang baru berusia 14 tahun dipaksa harus kembali melakukan perubahan. Namun transdformasi kali ini lebih dilatar belakangi oleh karena kasus kematian Wahyu Hidayat utusan Propinsi Jawa Barat (2 September 2003) yang dianiaya oleh beberapa orang senior yang ironisnya justru juga berasal dari Jawa Barat. Kasus Wahyu Hidayat inilah yang mengawali terbongkarnya tradisi kekerasan yang terjadi dibalik tembok di STPDN, yang memaksa dilakukannya perubahan sistem yang cukup mendasar yakni menggabung STPDN dengan IIP menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di tahun 2004.

Dengan wajah baru tersebut, rupanya belum menjamin sekolah pamong praja ini menemukan jati dirinya. Terbukti dengan munculnya kembali kasus pemukulan senior terhadap junior dalam rangka pembai’atan Anggota Korps Polisi Praja yang mengorbankan Cliff Muntu, praja utusan propinsi Sulawesi Utara (3 April 2007).

Polemik bermunculan lagi, hingga kembali menuntut agar IPDN dibubarkan saja. Namun rupanya pemerintah bersikap tegas dengan memilih opsi yang ditawarkan Tim Implementasi Pembenahan Pendidikan Kader Pemerintahan yang dipimpin Prof. DR. Ryaas Rasyid, yakni Opsi untuk tidak menerima praja baru selama setahun dan menyiapkan pendirian IPDN regional di lima daerah se-Indonesia serta mengkaji ulang sistem pendidikan di sekolah pamong praja yang juga sekaligus menghapuskan segala bentuk kekerasan yang telah mendarah daging tersebut.

Setelah selama satu tahun tidak menerima calon praja, Departemen Dalam Negeri kembali membuka pendaftaran bagi putera/puteri Sabang-Merauke ini untuk mengikuti pendidikan ikatan dinas pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dari tanggal 26 Mei hingga 7 Juni 2008 melalui pemerintah daerah setempat.

Calon praja yang berhasil lulus seleksi akan disebar dan ditempatkan di kampus IPDN Regional di lima daerah yakni ; Baso, Jatinangor, Banjarmasin, Makasar dan Mataram. Dengan dimulainya pendaftaran tersebut, berarti pula dimulainya babak baru bagi lembaga pendidikan pamong praja ini.

Mengapa Tidak Bisa Dibubarkan?

Selain karena secara historis pendidikan pamong praja telah lama mewarnai cakrawala penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, tidak dibubarkannya STPDN/IPDN juga terlebih karena pertimbangan bahwa peran sekolah tersebut dalam mencetak kader pamong praja masih terus dibutuhkan selama pemerintahan NKRI masih berdiri. Karena secara struktural dan fungsional, pamong praja memang memiliki peran yang sangat strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal penyelenggaraan pemerintahan.

Pamong praja sebenarnya merupakan sebutan kepada pegawai negeri yang memberikan teladan, pelayanan dan mengayomi masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman, maka pamong praja dituntut untuk semakin profesional, perpengetahuan dan berkemampuan lebih dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

Menurut Prof.DR. Taliziduhu Ndraha, ada beberapa fungsi mutlak yang harus dimiliki seorang Pamong Praja untuk memenuhi takdirnya sebagai kualitas utama pemerintahan. Pertama adalah fungsi conducting, yaitu fungsi yang perlu digerakkan untuk menciptakan harmoni antar kegiatan yang berbeda oleh aktor yang berlain-lainan guna menghasilkan kinerja-bersama (bersinerji, misalnya orkestra).

Kedua, coordinating. Yakni fungsi yang harus digerakkan untuk membangun komitmen-bersama oleh aktor yang berlain-lainan guna mencapai kinerja masing-masing yang berbeda-beda tanpa yang satu merugikan kinerja yang lain.

Ketiga, peace-making. Adalah fungsi pendamaian masyarakat. Di zaman dahulu, misalnya, Kepala Desa diakui oleh Belanda sebagai Hakim Perdamaian Desa, dan pegawai kecamatan diakui sebagai hulp-magistraat. Dengan fungsi ini, kerukunan lokal diharapkan tumbuh dan terpelihara.

Keempat, residue-caring. yakni fungsi kepedulian terhadap urusan yang tidak termasuk tupoksi unit kerja manapun, sisa urusan yang tidak menguntungkan. Gejala ini dijelaskan oleh teori pemerintahan yang diberi nama Teori Residu (Teori Sisa).

Kelima, all weather serving. Fungsi ini harus digerakkan untuk melayani subkultur pelanggan dalam “segala cuaca,” baik normal maupun abnormal (turbulentia, force majeure), pelanggan yang tidak berdaya. Manajemen serba-cuaca ini disebut juga Zero Time Based Management (ZTBM), didasarkan pada kearifan local “Sediakan payung sebelum hujan.” Semakin antisipatif manajemen, semakin besar harapan (hope) akan keselamatan. Manajemen ZTB berfungsi menumbuhkan harapan di dalam dada orang yang tidak berdaya.

Keenam, Freies Ermessen (vrij bestuur). Fungsi ini berbeda dengan diskresi. Diskresi adalah keleluasaan mengambil keputusan dan bertindak di dalam batas-batas aturan hukum yang berlaku, sedangkan Freies Ermessen adalah kebebasan mengambil keputusan atau bertindak berdasarkan hati nurani dalam menghadapi lingkungan yang berubah mendadak demi melindungi nyawa manusia atau menjaga keselamatan Negara, untuk kemudian dipertanggungjawabkan dan siap menanggung segala risikonya.

Ketujuh, generalist function. Fungsi ini diperlukan sebagai konsekuensi posisi Depdagri sebagai pengelola binnenlandsbestuur, algemeenbestuur, dan bestuurszorg.

Kedelapan, image-building (omnipresence). Self-multiplication dan self-amplification melalui image-building. Fungsi ini diperlukan untuk mengatasi keterbatasan fisik pemerintah untuk hadir di mana-mana pada saat yang sama. Melalui image-building pemerintahan terasa ada di mana-mana (omnipresent) dan menggerakkan masyarakat untuk maju ke depan.

Kesembilan, magnanimous thinking. Yakni kemampuan untuk menghasilkan pikiran-pikiran besar, yaitu buah pikiran yang mengendalikan generasi mendatang beratus bahkan beribu tahun kemudian. Bangsa Indonesia terlahir oleh pikiran-pikiran besar tersebut, dan masa depannya jaya hanya jika dibimbing oleh pikiran-pikiran besar pula. Pikiran manusia bisa berbuah besar jika kemerdekaan berpikir yang dimaksud pasal 28 UUD 1945 terjamin sepenuhnya.

Pemenuhan seluruh fungsi di atas merupakan hak dasar masyarakat akan pelayanan yang dibutuhkan sekaligus pula sebagai standarisasi terhadap kualitas yang seharusnya melekat pada diri seorang pamong praja. Dan tentunya peningkatan kualitas pamong praja harus ditanamkan, dibentuk dan dipelajari dalam sebuah lembaga pendidikan pamong praja. Ini berarti, selama masyarakat membutuhkan pelayanan professional dari Pemerintahan, maka selama itu pulalah sekolah pamong praja tetap berdiri.

INTROSPEKSI IPDN

Secara tersirat, sejak awal saya membaca Ahok sesungguhnya tidak benar-benar ingin membubarkan IPDN. Bila Ahok serius dengan keluh-kesahnya tersebut, maka logikanya ia tidak akan memakai alumni sekolah pamong praja dalam pemerintahannya. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Ahok justru mengisi posisi-posisi strategis selain lurah dan camat dengan lulusan IPDN. Seperti Wakil Walikota Jakarta Pusat dari purna praja STPDN angkatan 03, Kepala Dinas dan Wakil Kepala Dinas Perhubungan kemudian Kepala Dinas Kebersihan serta Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang juga seangkatan dengan penulis.

Kritik pedas Ahok hendaknya menjadi lecutan yang membuat kita terjaga bahwa masih banyak yang perlu dibenahi dari institusi IPDN dan eksistensi lulusannya dalam menjalankan birokrasi. Sebagaimana diketahui, saat ini lulusan IPDN bahkan belum menjadi PNS penuh yang menyandang pangkat III/a dan mengantongi sertifikat Diklatpim IV seperti para senior-senior mereka terdahulu. Sehingga untuk menduduki eselon terendah di kelurahan sekalipun mereka belum bisa langsung diterjunkan.

Disisi lain, hal ini merupakan pembelajaran bagi Ahok bagaimana seorang tokoh publik setingkat Gubernur hendaknya berfikir, berucap dan bertindak. Selama ini Ahok dengan stylenya serupa koboi kerap mengeluarkan kata-kata yang tidak patut dan tidak pantas diucapkan oleh seorang pejabat publik apalagi tanpa bersumber dari data dan fakta yang akurat. Jadilah Ahok terkesan hanya mengejar sensasi belaka atau hanya sekedar pengalihan perhatian publik akibat kebuntuan Ahok mencari solusi atas ruwetnya masalah banjir dan macetnya Jakarta. *****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun