Mohon tunggu...
Jose Rizal
Jose Rizal Mohon Tunggu... PNS pada IPDN Kampus Jakarta -

Penjaga NKRI. Penulis buku : Sang Abdi Praja (Gramedia 2013), Kharisma Ayahku, Sebuah Biografi Zairin Kasim (Gramedia 2018). STPDN 1999, S2 Fisip UI 2002. Twitter : @JoseRi_zal

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kontroversi Ahok, Introspeksi IPDN

21 September 2015   11:09 Diperbarui: 21 September 2015   13:57 2285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelima, all weather serving. Fungsi ini harus digerakkan untuk melayani subkultur pelanggan dalam “segala cuaca,” baik normal maupun abnormal (turbulentia, force majeure), pelanggan yang tidak berdaya. Manajemen serba-cuaca ini disebut juga Zero Time Based Management (ZTBM), didasarkan pada kearifan local “Sediakan payung sebelum hujan.” Semakin antisipatif manajemen, semakin besar harapan (hope) akan keselamatan. Manajemen ZTB berfungsi menumbuhkan harapan di dalam dada orang yang tidak berdaya.

Keenam, Freies Ermessen (vrij bestuur). Fungsi ini berbeda dengan diskresi. Diskresi adalah keleluasaan mengambil keputusan dan bertindak di dalam batas-batas aturan hukum yang berlaku, sedangkan Freies Ermessen adalah kebebasan mengambil keputusan atau bertindak berdasarkan hati nurani dalam menghadapi lingkungan yang berubah mendadak demi melindungi nyawa manusia atau menjaga keselamatan Negara, untuk kemudian dipertanggungjawabkan dan siap menanggung segala risikonya.

Ketujuh, generalist function. Fungsi ini diperlukan sebagai konsekuensi posisi Depdagri sebagai pengelola binnenlandsbestuur, algemeenbestuur, dan bestuurszorg.

Kedelapan, image-building (omnipresence). Self-multiplication dan self-amplification melalui image-building. Fungsi ini diperlukan untuk mengatasi keterbatasan fisik pemerintah untuk hadir di mana-mana pada saat yang sama. Melalui image-building pemerintahan terasa ada di mana-mana (omnipresent) dan menggerakkan masyarakat untuk maju ke depan.

Kesembilan, magnanimous thinking. Yakni kemampuan untuk menghasilkan pikiran-pikiran besar, yaitu buah pikiran yang mengendalikan generasi mendatang beratus bahkan beribu tahun kemudian. Bangsa Indonesia terlahir oleh pikiran-pikiran besar tersebut, dan masa depannya jaya hanya jika dibimbing oleh pikiran-pikiran besar pula. Pikiran manusia bisa berbuah besar jika kemerdekaan berpikir yang dimaksud pasal 28 UUD 1945 terjamin sepenuhnya.

Pemenuhan seluruh fungsi di atas merupakan hak dasar masyarakat akan pelayanan yang dibutuhkan sekaligus pula sebagai standarisasi terhadap kualitas yang seharusnya melekat pada diri seorang pamong praja. Dan tentunya peningkatan kualitas pamong praja harus ditanamkan, dibentuk dan dipelajari dalam sebuah lembaga pendidikan pamong praja. Ini berarti, selama masyarakat membutuhkan pelayanan professional dari Pemerintahan, maka selama itu pulalah sekolah pamong praja tetap berdiri.

INTROSPEKSI IPDN

Secara tersirat, sejak awal saya membaca Ahok sesungguhnya tidak benar-benar ingin membubarkan IPDN. Bila Ahok serius dengan keluh-kesahnya tersebut, maka logikanya ia tidak akan memakai alumni sekolah pamong praja dalam pemerintahannya. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Ahok justru mengisi posisi-posisi strategis selain lurah dan camat dengan lulusan IPDN. Seperti Wakil Walikota Jakarta Pusat dari purna praja STPDN angkatan 03, Kepala Dinas dan Wakil Kepala Dinas Perhubungan kemudian Kepala Dinas Kebersihan serta Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang juga seangkatan dengan penulis.

Kritik pedas Ahok hendaknya menjadi lecutan yang membuat kita terjaga bahwa masih banyak yang perlu dibenahi dari institusi IPDN dan eksistensi lulusannya dalam menjalankan birokrasi. Sebagaimana diketahui, saat ini lulusan IPDN bahkan belum menjadi PNS penuh yang menyandang pangkat III/a dan mengantongi sertifikat Diklatpim IV seperti para senior-senior mereka terdahulu. Sehingga untuk menduduki eselon terendah di kelurahan sekalipun mereka belum bisa langsung diterjunkan.

Disisi lain, hal ini merupakan pembelajaran bagi Ahok bagaimana seorang tokoh publik setingkat Gubernur hendaknya berfikir, berucap dan bertindak. Selama ini Ahok dengan stylenya serupa koboi kerap mengeluarkan kata-kata yang tidak patut dan tidak pantas diucapkan oleh seorang pejabat publik apalagi tanpa bersumber dari data dan fakta yang akurat. Jadilah Ahok terkesan hanya mengejar sensasi belaka atau hanya sekedar pengalihan perhatian publik akibat kebuntuan Ahok mencari solusi atas ruwetnya masalah banjir dan macetnya Jakarta. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun