Â
Awal Karir
Sambil menyelesaikan pendidikannya pada bulan April 1943, Usmar pun bekerja di kantor pusat kebudayaan Keimin Bunka Shidoso. Pusat kebudayaan ini dibentuk Jepang untuk menghimpun seniman-seniman dari berbagai cabang kesenian untuk keperluan propaganda mereka (Angkatan Bersenjata, Desember 1990). Usmar bertugas dibagian drama (kesusasteraan) di bawah pimpinan Sanusi Pane . Di pusat kebudayaan inilah, Usmar mengembangkan karir dan bakatnya di dunia tulis-menulis. Ia banyak menulis sajak dan cerpen di samping menekuni dunia sandiwara.
  Di tengah kesibukannya bekerja di pusat kebudayaan dan mengurusi sandiwara, Usmar mulai bersentuhan dengan dunia film. Sebuah dunia yang memang sudah tidak asing bagi Usmar. Diawali dengan perkenalannya dengan seorang sutradara terkenal yang bekerja pada perusahaan film milik Belanda, South Pacific Film Corporation, yang bernama Andjar Asmara. Sebuah pertemuan dan perkenalan yang akan membawa Usmar semakin dalam di dunia layar lebar (Matra, Desember1990: 34).
  Setelah Indonesia merdeka, Usmar pada waktu itu sudah berkeluarga dan mempunyai anak pertama yang bernama Nureddin, berumur hampir 1 tahun, ikut pula pindah ke Yogyakarta. Dalam suasana revolusi, peran Usmar di dunia pers makin tampak jelas. Jejak perjuangannya dalam memimpin beberapa media masa sekaligus menunjukkan kapasitas Usmar yang tidak diragukan. Harian Patriot, mingguan Tentara, dan bulanan Arena menjadi catatan penting peran seorang Usmar dalam situasi yang bergolak.Â
Tanggal 21 Juli 1947 pagi, Belanda dengan angkatan udaranya menyerang kota Yogyakarta. Suasana Ibu kota mencekam. Pasukan darat Belanda dari arah Semarang juga bergerak menuju Yogyakarta (Wilson, 1992: 72 dalam Cahyo, 2013:27). Sementara itu, Usmar berstatus sebagai wartawan politik LKBN Antara. Usmar berangkat ke Jakarta pada Desember 1947 untuk meliput kegiatan perundingan perjanjian perdamaian antara pemerintah RI dengan pemerintah Belanda, di atas kapal Amerika Serikat, USS Renville, di teluk Jakarta. Gerak-gerik Usmar sebagai anggota Intel Brani dengan segala kegiatannya dan tulisan-tulisannya, rupanya sudah lama termonitor oleh tentara Belanda di Jakarta yang menyebabkan Usmar mendekam di Penjara Cipinang selama empat bulan atas tuduhan percobaan menggulingkan pemerintah. Akan tetapi, akhirnya Usmar dibebaskan atas jaminan Moh. Natsir (Jaya Karta, 1991).
  Setelah bebas, Usmar memutuskan untuk lebih memfokuskan dirinya ke dunia perfilman, sebagai sarana mengembangkan kreatifitas bakat diri seorang Usmar bersama kawan-kawannya. Kehidupan Usmar sebagai anggota TNI yang penuh kedisiplinan dan kepatuhan walau anggota Intel sekalipun, mulai dirasa mengurangi kebebasan Usmar untuk berekspresi dalam dunia pertunjukkan dengan tugas yang harus diemban selaku anggota TNI. Usmar pun memutuskan 15Lembaga Kantor Berita Nasional 28 untuk meninggalkan TNI di usia yang masih relatif muda 27 tahun, dengan pangkat terakhir Mayor.Â
Â
Film yang Disutradarai
  Selain yang sudah disebutkan diawal, film-film yang pernah disutradarai oleh Usmar Ismail, antara lain, "Darah dan Doa" (1950), "Enam jam di Yogya" (1951), "Dosa Tak Berampun" (1951), "Krisis" (1953), "Kafedo" (1953) "Lewat Jam malam" (1954), "Tiga Dara" (1955), dan "Pejuang" (1960). Untuk mengenang jasanya, diabdikanlah namanya di sebuah gedung perfilman, yaitu Pusat Perfilman Usmar Ismail yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta.
Meninggal