Genap seabad yang lalu Usmar Ismail lahir, pada tanggal 20 Maret 1921 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Usmar dikenal sebagai bapak perfilman Indonesia lewat film pertama yang keseluruhannya dikerjakan oleh orang Indonesia "Darah dan Doa". "Darah dan Doa" memulai syuting pertama pada tanggal 30 Maret 1950, dikemudian hari, tanggal 30 Maret tersebut ditetapkan menjadi hari perfilman Indonesia. Namun film "Darah dan Doa" bukanlah film pertama yang ditangani bapak perfilman kita ini. Sebelumnya Usmar pernah membantu Andjar Asmara sebagai asisten sutradara dalam film "Gadis Desa" pada tahun 1949. Barulah Usmar memulai debutnya menjadi sutradara pada film "Harta Karun" yang diadaptasi dari sebuah karya sastrawan Prancis, Moliere, yang berjudul L'Avare ou L'cole du mensonge. Lalu film "Tjitra" pada tahun yang sama.
Kehidupan Keluarga
Usmar merupakan anak dari pasangan Ismail Gelar Datuk Manggung dan Siti Fatimah. Siti Fatimah, ibu Usmar berasal dari Lintau, Batu Sangkar. Sedangkan ayahnya sendiri berasal dari Padang Pajang. Mereka bersepakat memberi nama Usmar Ismail, sebagai putra bungsu dari 6 bersaudara (Matra, Desember 1990 dalam Cahyo, 2013:12).
Kecerdasan Usmar ketika masih anak-anak dipengaruhi oleh didikan ayahnya yang pada masa itu berprofesi sebagai guru. Selain itu, status sosial dan ekonomi keluarga Usmar pun mempengaruhi, karena kaluarganya adalah keluarga yang cukup terpandang di daerah Batu Sangkar. Di akhir pekan, keluarga ini sering menonton bioskop walau jarak antara rumah dengan bioskop cukup jauh. Film Robinson Cruso, Flash Gordon, Tommix, sangat terkenal dan digemari. Kemudian dari situlah kesenangan Usmar terhadap dunia film muncul. Kesenangan itulah yang nantinya menjadi cita-cita Usmar untuk menekuni dan mendalami di dunia perfilman nasional (Ardan, 1987: 8 dalam Cahyo, 2013:13).
Sementara itu, ibunya memiliki pengetahuan mengenai agama secara mendalam. Siti Fatimah memiliki harapan besar kepada Usmar, agar kelak dia bisa menjadi ulama ketika besar nanti. Selain itu, sebagai keluarga yang sangat menjunjung tinggi pendidikan, si ibu bercita-cita agar si anak Usmar dapat melanjutkan ke sekolah Al-Azhar Kairo, Mesir (Matra, Desember 1990 dalam Cahyo, 2013:13).
Pendidikan
   Perjalanan pendidikannya cukup mulus. Mula-mula ia bersekolah di HIS (sekolah dasar) di Batusangkar, lalu melanjutkan ke MULO (SMP) di Simpang Haru, Padang, dan kemudian ke AMS (SMA) di Yogyakarta. Setamat dari AMS, ia melanjutkan lagi pendidikannya ke University of California di Los Angeles, Amerika Serikat.
  Usmar sudah menunjukkan bakat sastranya sejak masih duduk di bangku SMP. Saat itu, ia bersama teman-temannya, antara lain Rosihan Anwar, ingin tampil dalam acara perayaan hari ulang tahun Putri Mahkota, Ratu Wilhelmina, di Pelabuhan Muara, Padang. Usmar ingin menyajikan suatu pertunjukan dengan penampilan yang gagah, unik, dan mengesankan. Ia bersama teman-temannya hadir di perayaan itu dengan menyewa perahu dan pakaian bajak laut. Sayang, acara yang direncanakan itu gagal karena mereka baru sampai saat matahari tenggelam dan mereka hampir pingsan karena kelelahan mengayuh perahu menuju Pelabuhan Muara.
  Setelah duduk di bangku SMA, di Yogyakarta, Usmar semakin banyak terlibat dengan dunia sastra. Ia memperdalam pengetahuan dramanya dan aktif dalam kegiatan drama di sekolahnya. Ia juga mulai mengirimkan karangan-karangannya ke berbagai majalah. Bakatnya kian berkembang saat bekerja di Keimin Bunka Sidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang). Di tempat itu, ia bersama Armijn Pane dan budayawan lainnya bekerja sama untuk mementaskan drama.
Â
Â
Â
Awal Karir
Sambil menyelesaikan pendidikannya pada bulan April 1943, Usmar pun bekerja di kantor pusat kebudayaan Keimin Bunka Shidoso. Pusat kebudayaan ini dibentuk Jepang untuk menghimpun seniman-seniman dari berbagai cabang kesenian untuk keperluan propaganda mereka (Angkatan Bersenjata, Desember 1990). Usmar bertugas dibagian drama (kesusasteraan) di bawah pimpinan Sanusi Pane . Di pusat kebudayaan inilah, Usmar mengembangkan karir dan bakatnya di dunia tulis-menulis. Ia banyak menulis sajak dan cerpen di samping menekuni dunia sandiwara.
  Di tengah kesibukannya bekerja di pusat kebudayaan dan mengurusi sandiwara, Usmar mulai bersentuhan dengan dunia film. Sebuah dunia yang memang sudah tidak asing bagi Usmar. Diawali dengan perkenalannya dengan seorang sutradara terkenal yang bekerja pada perusahaan film milik Belanda, South Pacific Film Corporation, yang bernama Andjar Asmara. Sebuah pertemuan dan perkenalan yang akan membawa Usmar semakin dalam di dunia layar lebar (Matra, Desember1990: 34).
  Setelah Indonesia merdeka, Usmar pada waktu itu sudah berkeluarga dan mempunyai anak pertama yang bernama Nureddin, berumur hampir 1 tahun, ikut pula pindah ke Yogyakarta. Dalam suasana revolusi, peran Usmar di dunia pers makin tampak jelas. Jejak perjuangannya dalam memimpin beberapa media masa sekaligus menunjukkan kapasitas Usmar yang tidak diragukan. Harian Patriot, mingguan Tentara, dan bulanan Arena menjadi catatan penting peran seorang Usmar dalam situasi yang bergolak.Â
Tanggal 21 Juli 1947 pagi, Belanda dengan angkatan udaranya menyerang kota Yogyakarta. Suasana Ibu kota mencekam. Pasukan darat Belanda dari arah Semarang juga bergerak menuju Yogyakarta (Wilson, 1992: 72 dalam Cahyo, 2013:27). Sementara itu, Usmar berstatus sebagai wartawan politik LKBN Antara. Usmar berangkat ke Jakarta pada Desember 1947 untuk meliput kegiatan perundingan perjanjian perdamaian antara pemerintah RI dengan pemerintah Belanda, di atas kapal Amerika Serikat, USS Renville, di teluk Jakarta. Gerak-gerik Usmar sebagai anggota Intel Brani dengan segala kegiatannya dan tulisan-tulisannya, rupanya sudah lama termonitor oleh tentara Belanda di Jakarta yang menyebabkan Usmar mendekam di Penjara Cipinang selama empat bulan atas tuduhan percobaan menggulingkan pemerintah. Akan tetapi, akhirnya Usmar dibebaskan atas jaminan Moh. Natsir (Jaya Karta, 1991).
  Setelah bebas, Usmar memutuskan untuk lebih memfokuskan dirinya ke dunia perfilman, sebagai sarana mengembangkan kreatifitas bakat diri seorang Usmar bersama kawan-kawannya. Kehidupan Usmar sebagai anggota TNI yang penuh kedisiplinan dan kepatuhan walau anggota Intel sekalipun, mulai dirasa mengurangi kebebasan Usmar untuk berekspresi dalam dunia pertunjukkan dengan tugas yang harus diemban selaku anggota TNI. Usmar pun memutuskan 15Lembaga Kantor Berita Nasional 28 untuk meninggalkan TNI di usia yang masih relatif muda 27 tahun, dengan pangkat terakhir Mayor.Â
Â
Film yang Disutradarai
  Selain yang sudah disebutkan diawal, film-film yang pernah disutradarai oleh Usmar Ismail, antara lain, "Darah dan Doa" (1950), "Enam jam di Yogya" (1951), "Dosa Tak Berampun" (1951), "Krisis" (1953), "Kafedo" (1953) "Lewat Jam malam" (1954), "Tiga Dara" (1955), dan "Pejuang" (1960). Untuk mengenang jasanya, diabdikanlah namanya di sebuah gedung perfilman, yaitu Pusat Perfilman Usmar Ismail yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta.
Meninggal
  Usmar Ismail meninggal pada tanggal 2 Januari 1971 karena sakit (stroke), dalam usia hampir genap lima puluh tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. tt. Usmar Ismail. https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/usmar-ismail.
Cahyo, Dhiko. (2013). Peranan Usmar Ismail dalam Perkembangan Perfilman Nasional (1921-1971). Unpad Repository. 12-28. http://media.unpad.ac.id/thesis/180310/2006/180310060037_2_2795.pdf.Â
Haetami, Ahmad. 30 Maret 2021. Mengenal Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia. DNK TV UIN Jakarta. https://dnktv.uinjkt.ac.id/index.php/mengenal-usmar-ismail-bapak-perfilman-indonesia/. Â
Usmanda, Yuni. 17 Agustus 2020. 7 Film Indonesia yang Dirilis Tepat Setelah Kemerdekaan. Kincir. https://www.kincir.com/movie/cinema/film-indonesia-dirilis-setelah-merdeka-0YTZmRURgrAO.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H