Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Nomine Best in Fiction Kompasiana Awards 2024 Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menyelamatkan Dunia Mainan

2 Februari 2025   11:25 Diperbarui: 2 Februari 2025   11:25 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak perempuan dengan boneka kelincinya. Ilustrasi diolah dengan Microsoft Designer 

Nias sedang mengobrol dengan Lily, boneka kesayangannya. Lily adalah boneka kelinci berwarna pink. Boneka itu hadiah dari ibu saat ulang tahun. Sebenarnya Nias menginginkan boneka Labubu, seperti teman-temannya. Namun dia mengubur keinginannya karena ibunya bukanlah orang kaya. Ayahnya sedang sakit. Jadi, saat diberi hadiah boneka kelinci itu dia sangat bersyukur.

Lalu Nias menggendong Lily sambil berjalan menuju ke rumah nenek. Di punggungnya ada tas warna biru yang terlihat penuh dengan barang bawaan. Nias sendiri sebenarnya agak heran dengan dirinya yang hanya berjalan kaki untuk ke rumah nenek. Biasanya dia diantar ibu atau ayah. Dia seolah terbawa sampai tempat itu karena kekuatan aneh di luar nalarnya.

Di tengah-tengah perjalanan, tiba-tiba Nias melihat kondisi perempatan jalan yang tak seperti biasanya. Pada jalan menuju kanan dari tempatnya berdiri, jalannya berwarna pink. Di sisi kanan dan kiri jalan terdapat bunga warna-warni dan rumah serta kendaraan yang lain daripada yang lain. Dia pun melangkah ke sana.

"Nanti kita ditunggu nenek lho, Nias!" Lily tiba-tiba mengeluarkan suara. Nias sangat terkejut karenanya. Dia memang biasa mengobrol dengan Lily, tapi tak seperti saat bicara dengan teman-teman di sekolah.

"Kamu kok bisa bicara, Lily?" Lily tersenyum.

"Kalau berada di dunia mainan, aku jelas bisa bicara, Nias. Kan sesama mainan."

"Tapi aku kan manusia," ucap Nias. Lily tertawa kecil sambil menatap Nias yang keheranan.

"Semua yang masuk ke dunia mainan, otomatis akan mengerti bahasa mainan dong, Nias." Nias membelalakkan matanya. Mulutnya menganga beberapa saat.

**

Mereka berdua terus melangkah di jalanan dunia mainan. Hingga mereka tiba di sebuah bangunan warna hitam. Warna bangunan yang sangat beda dengan bangunan lain di dunia mainan.

Di halaman bangunan itu tampaklah mainan yang melaju pelan dan lemah, kondisinya rusak parah. "Sebaiknya kita segera pergi dari sini, Nias," ajak Lily. Dia menarik tangan Nias yang masih terus memerhatikan mainan di sekitar bangunan hitam itu.

"Bangunan itu dihuni Penyihir Karat, Nias."

"Hah? Di bangunan menyeramkan itu tadi?"

"Iya. Penyihir Karat itu berusaha untuk membuat dirinya awet muda dengan cara mengambil aura mainan yang bermain di sekitar bangunan itu."

Nias tak percaya dengan ucapan Lily. Dia merasa hal yang dilakukan Penyihir Karat itu seperti dalam dongeng yang pernah dibacanya.

"Makanya mainan yang pulang dari bangunan itu menjadi rusak. Auranya sudah diambil Penyihir jahat itu," cerita Lily.

"Kenapa Penyihir itu ingin awet muda?"

"Ya biar kelihatan cantik terus, Nias. Teman-temannya pergi dari dunia mainan ini karena merasa tak perlu bersaing sampai mengorbankan sesama teman."

"Terus untuk apa Penyihir itu terus merugikan semua mainan di sini?"

"Untuk menjaga penampilan biar terus memesona," jawab Lily.

"Wah...namanya itu egois. Kita harus bantu mainan-mainan di sini."

"Tapi ini bahaya, Nias."

***

"Kalian takkan bisa mencegahku untuk mengambil aura mainan di sini!" teriak Penyihir Karat, saat Nias dah Lily mengunjunginya.

Penyihir itu memang tampak cantik, tapi sorot matanya mengerikan. Membuat siapa saja yang melihatnya jadi ketakutan.

"Semakin banyak mainan yang takut padaku, makin mudah aku menyerap aura mereka. Hahhahaha."

***

"Kalau kita saling menjaga saat bermain bersama, Penyihir Karat itu nggak akan mampu melukai kita, teman-teman," ucap Lily.

"Apa maksudmu, Lily?" tanya Mobil-mobilan Polisi.

"Kita harus bermain bersama-sama. Kalau Penyihir Karat muncul, nggak perlu lari untuk menyelamatkan diri."

"Kamu jangan ngaco, Lily! Itu sangat berbahaya!" ucap Mobil-mobilan Polisi itu dengan nada marah. Nias menceritakan tentang kelemahan Penyihir dan cara mengalahkannya.

***

Keesokan harinya, di hari Minggu, semua mainan di dunia mainan berkumpul. Mereka bermain di depan bangunan yang dihuni Penyihir Karat, dengan riang. Mereka berkejaran dan tertawa bersama dengan diawasi oleh Mobil-mobilan Polisi.

Suara tawa mereka membuat Penyihir Karat keluar rumah. Dengan wajah dan sorot mata yang mengerikan, dia berteriak dan mengusir para mainan. Namun suara itu tak digubris. Para mainan terus melanjutkan bermain.

Melihat teriakannya tak didengar, Penyihir Karat marah besar hingga memperlihatkan kerutan-kerutan di wajahnya. Dia tak menyadari apa yang dialaminya. Hingga kerutan itu menjalar ke bagian tangan, kaki, dan seluruh tubuhnya. Bersamaan dengan itu, bangunan warna hitam itu menjadi cerah pelan-pelan. Si Penyihir Karat pun terduduk sedih. Melihat Penyihir itu sedih, Nias dan Lily mendekat. 

"Hai, Penyihir. Kamu nggak perlu sedih. Meski kamu seperti ini, pasti semua mainan di sini akan menemanimu."

"Tapi aku sudah jahat pada mereka," ucap Penyihir itu.

"Kami pasti memaafkanmu hai, Penyihir. Yang penting, kamu nggak jahat lagi."

***

"Terima kasih sudah membantu teman-temanku, Nias," ucap Lily. "Hehehe. Iya, Lily. Kamu itu mainan yang selalu menemaniku. Dan semua sahabatmu itu juga juga sahabatku," ucap Nias.

___

Branjang, 28 Desember 2024

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun