Keesokan harinya, di hari Minggu, semua mainan di dunia mainan berkumpul. Mereka bermain di depan bangunan yang dihuni Penyihir Karat, dengan riang. Mereka berkejaran dan tertawa bersama dengan diawasi oleh Mobil-mobilan Polisi.
Suara tawa mereka membuat Penyihir Karat keluar rumah. Dengan wajah dan sorot mata yang mengerikan, dia berteriak dan mengusir para mainan. Namun suara itu tak digubris. Para mainan terus melanjutkan bermain.
Melihat teriakannya tak didengar, Penyihir Karat marah besar hingga memperlihatkan kerutan-kerutan di wajahnya. Dia tak menyadari apa yang dialaminya. Hingga kerutan itu menjalar ke bagian tangan, kaki, dan seluruh tubuhnya. Bersamaan dengan itu, bangunan warna hitam itu menjadi cerah pelan-pelan. Si Penyihir Karat pun terduduk sedih. Melihat Penyihir itu sedih, Nias dan Lily mendekat.Â
"Hai, Penyihir. Kamu nggak perlu sedih. Meski kamu seperti ini, pasti semua mainan di sini akan menemanimu."
"Tapi aku sudah jahat pada mereka," ucap Penyihir itu.
"Kami pasti memaafkanmu hai, Penyihir. Yang penting, kamu nggak jahat lagi."
***
"Terima kasih sudah membantu teman-temanku, Nias," ucap Lily. "Hehehe. Iya, Lily. Kamu itu mainan yang selalu menemaniku. Dan semua sahabatmu itu juga juga sahabatku," ucap Nias.
___
Branjang, 28 Desember 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI