"Aku disuruh belajar nulis rapi sama Bu Ayu, Bu," keluh anakku, Dian. Dia kelas III. Tidak terlalu pintar, dan tidak terlalu bodoh.
"Ya belajar nulis yang rapi, le," sahut istriku yang baru meracik aneka sayuran.
"Tapi kan capek, Bu."
Mendengar keluhan Dian, aku yang belum lama sampai rumah menjadi naik darah.Â
"Dian, sudah sejak lama Bapak suruh kamu belajar nulis 'kan? Tulisan kayak ceker ayam seperti itu, memusingkan!" gertakku.
Semasa aku sekolah dulu, memang memiliki kemampuan yang hampir sama dengan Dian. Tapi, urusan tulisan, pasti guru akan mudah membacanya.Â
"Jangan gitu-lah, Pak. Nasihati anak ya jangan kasar begitu," ucap istriku, sambil mengelus kepala Dian yang sedari tadi menundukkan kepala.
"Bune, kamu itu terlalu memanjakan anak. Jadi malas kan dia?"
Istriku diam. Dian akhirnya menangis di pelukan ibunya. Kuhela napas panjang dan meninggalkan mereka.Â
"Bukannya bikin tenang, malah bikin pusing," gerutuku, dengan menahan marah.