Di hari tua Bapak, banyak hal yang diceritakan kepada kami, anak-anaknya. Tentang masa kecilnya yang dibesarkan oleh kerabat dekat karena kedua orang tuanya, atau kakek-nenek kami, sudah tiada. Bahkan Bapak belum sekalipun melihat wajah kedua orang tuanya.
Meluncur juga bagaimana masa prihatin ketika terjatuh dari pohon kelapa.
"Kelas III aku jatuh dari pohon kelapa. Beberapa bulan nggak masuk sekolah."
Dari ucapan Bapak, beliau merasa tak mengira bisa bertahan hidup dengan kondisinya yang sangat memprihatinkan. Kaki beliau pun harus cacat karena peristiwa itu. Ya, kalau berjalan, Bapak agak pincang.
"Bapakmu gini jalannya, Da. Hahaha," ucap Rohmadi, teman sekelasku. Cemoohan itu disambut dengan tawa dan ejekan dari teman-teman lainnya.
Ya, teman-teman masa SD-ku sering mengolok-olok Bapak di depanku dengan menirukan cara berjalan Bapak. Rasanya aku kesal. Namun aku tak pernah menceritakan ejekan teman-teman kepada Bapak. Aku cukup menyimpan rasa sakit hati dan tidak terima, sendirian.
Dalam hatiku bertanya, kenapa mereka tega berbuat seperti itu, toh aku tak meminta siapa yang akan jadi bapakku. Bapak pasti dulunya tak mau kalau mengalami cedera seperti yang dialaminya.
Rasa kesalku semakin bertambah kepada teman-teman, karena mereka sering membully-ku. Ada saja alasannya. Bahkan ketika shalat tarawih di bulan Ramadan, dengan usil dan teganya mereka menggelitiki telapak kakiku. Karena usilnya teman-teman, aku menangis dan membuat kakakku marah. Entah marah kepadaku, atau kepada teman-teman yang menggangguku.
"Jangan marah begitu, Ndhuk. Yang penting kamu sudah jagain adikmu," ucap Bapak, menenangkan kakak.
***
Di masa tua Bapak, bisa dibilang kalau beliau berhasil mendidik dan membesarkan kami. Tentu juga ada andil besar dari ibu di dalamnya.Â
Sampai saat ini, di saat aku dan saudara-saudara sudah bekerja, beliau masih memberikan perhatian kecil kepada anak-anaknya.Â
"Ini buku sejarah Demak, Ndhuk," kata Bapak, sambil mengulurkan dua buku tentang masa kerajaan Demak. Beliau tahu kalau aku memang memiliki hobi membaca. Terkadang menulis juga.
Dengan senang hati kuterima dua buku itu. Tentu aku berterima kasih karena perhatian kecilnya dengan memberikan bingkisan buku untukku.
"Aku sekarang kalau baca nggak bisa lama-lama, Ndhuk," cerita Bapak.
Aku menyimak ucapan Bapak, sambil membuka dan membaca sekilas daftar isi buku.
"Sudah tua, mata sudah nggak bersahabat lagi," ucap Bapak dengan sedikit tersenyum.
Aku menatap Bapak.
"Bapak ke optik, ya. Minta tolong sama Mbak saja. Biar diantar," ucapku.
"Bapak isi waktu dengan banyak baca. Biar nggak jenuh," lanjutku.
Aku sadar, Bapak memang dilanda kesepian, setelah kepergian ibu. Sampai beliau pernah merasa hilang arah.
Untuk bepergian pun agak kerepotan. Bukannya aku tak mau mengantar beliau. Kondisi Bapak yang tak memungkinkan untuk membonceng kendaraan roda dua. Sementara yang memiliki mobil dan bisa menyetir mobil ya hanya kakak.
Kuperhatikan lelaki sepuh yang kini mulai memasuki delapan puluh tahun itu. Semua hal dilakukan di rumah, termasuk sholat fardhu. Untuk ke masjid saja juga sangat mengkhawatirkan. Di samping itu, anak-anak juga merasa kasihan kepada Bapak, karena banyak pemuda yang sering bersikap dan bicara tak mengenakkan kepada beliau.
Entah Bapak salah apa kepada mereka.
"Kebaikan dan kebenaran akan bicara, Ndhuk. Jangan khawatirkan Bapak," ucap Bapak beberapa bulan yang lalu.
___
Branjang, 12-14 November 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H