Lelaki muda itu meninggalkan rumahku dengan tertunduk lesu. Sementara putriku, Salsa, sudah mengurung diri lagi di kamarnya.
Ya, lelaki muda bernama Afzal itu kekasih putriku. Mereka menjalin hubungan dan memiliki komitmen untuk menikah tahun depan. Tentu saja, aku sebagai ibu Salsa hanya bisa memberikan restu kepada mereka berdua. Tak ada alasan bagiku untuk memisahkan dan menghancurkan cinta mereka.
"Saya akan nekad, Bu. Saya akan tetap menikahi Salsa. Dengan atau tanpa restu Papah," kata Afzal tadi.
Afzal menahan air matanya di samping Salsa yang tak lagi menangis karena tangisnya sudah habis beberapa hari ini. Semula aku tak mengerti, kenapa dia sampai menangis dan mengurung diri. Tak mau makan, tak mau minum. Aku sangat prihatin karenanya.
"Papah Mas Afzal nggak setuju dengan hubungan kami, Bu," ucap Salsa kemarin malam, dengan tangis pilu, di kamarnya.
Aku yang semula duduk di depan Salsa, beranjak dan beralih di samping putri pertamaku itu. Kuusap punggungnya dan kuraih kepalanya. Kuletakkan di bahu kananku.
"Sabar, Salsa. Kalau memang seperti itu, berarti kalian belum berjodoh," ucapku lembut.
Bagaimana pun aku pernah berada di posisi Salsa. Menjalin hubungan serius, tetapi ternyata Allah tak memilih cinta pertamaku sebagai jodoh.
"Salsa, kamu mau denger cerita Ibu nggak?"
Tak ada jawaban dari Salsa. Hanya isak tangis yang kudengar. Kedua tangan putriku itu memelukku erat. Seakan meminta hatinya dikuatkan.