Ibu yang seharian sibuk di sawah, akhirnya pulang dan mengobrol denganku. Aku yang beberapa kali mengeluh sakit kaki karena sepatuku sudah kekecilan, memberanikan diri untuk minta dibelikan sepatu baru.
"Iya, Ndhuk. Ibu sudah punya rencana lama membelikan sepatu baru untuk kamu. Sudah lama Ibu ingin membelikannya, tapi Ibu harus nabung dulu."
Tak lama kemudian, ibu menyuruhku berdiri. Tangan ibu didekatkan dengan telapak kakiku.
"Satu jengkal, kurang satu ruas ibu jari," kata Ibu, setelah mengukur telapak kaki kiriku.Â
Aku kurang paham, apa maksudnya. Tapi yang kutahu, aku akan dibelikan sepatu baru. Sepatuku yang lama sudah rusak dan kekecilan.Â
"Besok pagi Ibu ke pasar. Ibu belikan sepatu yang ukurannya pas."
"Apa nggak lebih baik kalau aku ikut ke pasar, Bu?" tanyaku.
"Nggak usah, Ndhuk. Ibu ke pasar kan naik mobil Pahingannya Pak Dadang. Harus bayar. Nanti kalau kamu ikut Ibu, uangnya bisa kurang."
Ibu memang tidak punya banyak uang. Makanya Ibu kalau membeli sesuatu pasti ke pasar, terutama kalau pasaran Pahing. Kata Ibu, harga barang di pasar lebih murah.Â
Aku sendiri tidak peduli, di mana perlengkapan sekolah dibeli oleh ibu. Memang tak sebagus milik teman-teman, tapi kurasa manfaatnya sama saja. Memiliki barang yang sederhana tapi tetap kusyukuri.
"Lha kalau aku nggak ikut, nanti beli ukuran sepatu berapa, Bu?"
"Lha, itu tadi kan sudah Ibu ukur. Jadi pasti besok akan pas."
***
Pagi harinya, Ibu pergi ke Pasar Pahing. Ibu mencegat mobil Pahingan milik Pak Dadang di depan rumah. Mobil pickup yang sudah memudar warna catnya. Kadang penumpang duduk dengan bercampur antara orang dan kambing dan barang belanjaan yang bermacam-macam.
Aku merasa kasihan pada Ibu kalau harus duduk di dekat kambing. Pasti bau sekali. Apalagi kalau kambingnya buang kotoran. Hiii...
Untung saja selama Ibu naik mobil Pahingan, Ibu tidak pernah mengalami hal yang menjijikkan itu. Aku sedikit lega.
Ketika Ibu mencegat mobil Pahingan, aku bersiap-siap ke sekolah. Tas dan buku-buku sudah siap di atas meja ruang tamu.Â
Sambil menunggu waktu agak siang, aku menyirami bunga di depan rumah. Tak berapa lama, Liza, teman sekelasku memanggilku dari ujung jalan. Aku segera mengambil tas dan melangkah ke arah Liza.Â
Setiap berangkat sekolah dan pulang sekolah, kami selalu jalan bersama. Kebetulan jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh. Jadi, kami tidak diantar jemput orang tua.
***
"Anak-anak, hari ini Bu Guru akan membacakan buku yang berjudul Berapa Panjangnya?" ucap Bu Guru setelah bel masuk berbunyi.
Aku dan teman-teman menyimak. Bu Guru duduk di atas kursi guru, sedangkan aku dan teman-teman duduk di lantai.
Bu Guru membacakan buku yang seru. Ceritanya, Pak Orang Utan ingin memanen lobaknya. Tapi Pak Orang Utan kesulitan untuk mencabut lobak dan meminta bantuan Lutung. Meski ditolong Lutung, tetap saja mereka kesulitan memanen lobaknya.Â
Akhirnya mereka meminta bantuan Tenggiling. Tenggiling itu bisa menggali tanah, tempat lobak tumbuh. Saat menggali, Pak Orang Utan bertanya kepada Tenggiling, apakah lobaknya besar dan panjang. Tenggiling menjawab kalau panjang lobaknya ada dua puluh jengkal. Pak Orang Utan sangat senang karena lobaknya sangat besar dan panjang. Jadi nanti lobaknya bisa dijual dengan harga mahal dan bisa membeli gerobak baru.
Namun, ternyata setelah lobak berhasil dicabut, panjang lobak hanya tujuh jengkal. Beda lagi ketika Lutung mengukur, panjangnya dua belas jengkal. Wah, panjang lobaknya bisa beda-beda. Hehehe...
Ada-ada saja ceritanya. Ya pasti kalau diukur pakai jengkal tangan, hasilnya beda-beda. Kan ukuran tangan Orang Utan, Lutung dan Tenggiling tidak sama.
Aku jadi ingat saat ibu mengukur panjang telapak kakiku kemarin.
"Bu Guru, kemarin sore, Ibu mengukur panjang telapak kakiku pakai jengkal tangan juga," ceritaku setelah Bu Guru selesai membacakan bukunya.
"Wah, benarkah?"
Aku mengangguk. Lalu Bu Guru bertanya, apakah teman-teman juga pernah diukur atau mengukur dengan jengkal tangan.Â
"Nah, anak-anak. Kalau mengukur dengan jengkal tangan, berarti kita mengukurnya bukan dengan alat dan satuan baku."
"Alat ukurnya yang baku apa, Bu Guru?" tanya Fadil.
"Hayo, siapa yang masih ingat pas Bu Guru mengukur tinggi badan kalian, Bu Guru menggunakan apa?"
Kami menjawab sesuai yang digunakan Bu Guru saat mengukur tinggi badan kami.
****
Branjang, 15 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H