Aku dan teman-teman menyimak. Bu Guru duduk di atas kursi guru, sedangkan aku dan teman-teman duduk di lantai.
Bu Guru membacakan buku yang seru. Ceritanya, Pak Orang Utan ingin memanen lobaknya. Tapi Pak Orang Utan kesulitan untuk mencabut lobak dan meminta bantuan Lutung. Meski ditolong Lutung, tetap saja mereka kesulitan memanen lobaknya.Â
Akhirnya mereka meminta bantuan Tenggiling. Tenggiling itu bisa menggali tanah, tempat lobak tumbuh. Saat menggali, Pak Orang Utan bertanya kepada Tenggiling, apakah lobaknya besar dan panjang. Tenggiling menjawab kalau panjang lobaknya ada dua puluh jengkal. Pak Orang Utan sangat senang karena lobaknya sangat besar dan panjang. Jadi nanti lobaknya bisa dijual dengan harga mahal dan bisa membeli gerobak baru.
Namun, ternyata setelah lobak berhasil dicabut, panjang lobak hanya tujuh jengkal. Beda lagi ketika Lutung mengukur, panjangnya dua belas jengkal. Wah, panjang lobaknya bisa beda-beda. Hehehe...
Ada-ada saja ceritanya. Ya pasti kalau diukur pakai jengkal tangan, hasilnya beda-beda. Kan ukuran tangan Orang Utan, Lutung dan Tenggiling tidak sama.
Aku jadi ingat saat ibu mengukur panjang telapak kakiku kemarin.
"Bu Guru, kemarin sore, Ibu mengukur panjang telapak kakiku pakai jengkal tangan juga," ceritaku setelah Bu Guru selesai membacakan bukunya.
"Wah, benarkah?"
Aku mengangguk. Lalu Bu Guru bertanya, apakah teman-teman juga pernah diukur atau mengukur dengan jengkal tangan.Â
"Nah, anak-anak. Kalau mengukur dengan jengkal tangan, berarti kita mengukurnya bukan dengan alat dan satuan baku."
"Alat ukurnya yang baku apa, Bu Guru?" tanya Fadil.