"Ceritanya itu bebas temanya, Bu."
Dia memutuskan untuk menulis cerita fantasi. Sedangkan temannya ada yang menulis cerita horor dan sebagainya.
Saya berinisiatif untuk membawa buku berisi tulisan si sulung tadi. Rencana mau saya bukukan. Agak lama tulisan itu tak saya sentuh karena waktu yang terbatas dan kesulitan mengetuknya, seperti yang saya tuliskan di depan.
Belum sampai saya selesaikan mengetik, saat penjengukan beberapa waktu terakhir, sebelum penyerahan rapor semester gasal, si sulung menyerahkan tiga buku tulis.
"Ini cerita lanjutan yang dulu ya, Bu."
Saya menerima tiga buku itu sambil memeriksa tulisan di dalamnya. Jujur saja belum saya baca waktu itu. Saya hanya lihat ada beberapa animasi yang dibuat berkaitan dengan tokoh dalam cerita.
"Aku ditanya ustadzah. Kebetulan ustadzah melihat buku. Terus tanya, itu buku apa. Aku jawab kalau itu buku cerita. Lalu ustadzah bilang kalau bukuku ini dicetak saja," ceritanya panjang lebar.
Terus terang saya merasa sangat senang dengan kemajuannya dalam menulis. Tak seperti dulu saat SD. Saat saya tanya, kenapa bisa menulis sebanyak empat buku. Dia hanya menjawab kalau idenya selalu ada. Saat membacanya dengan teliti, ada kosakata yang tidak pernah saya bayangkan muncul pada tulisannya. Mungkin saja itu terpengaruh kebiasaan membaca komik atau ensiklopedia.
"Jadi keterusan nulisnya, Bu."
Singkat cerita, saya bawa pulang ketiga buku cerita yang ditulis tangan si sulung. Dan hanya tersimpan dalam lemari.
Baru beberapa hari terakhir saya merasa penasaran dengan kisah dalam cerita yang ditulis si sulung. Akhirnya pelan-pelan saya ketik ulang, tanpa bantuan AI. Saya menghindari pusing karena banyaknya tulisan tak terbaca yang mengakibatkan saya mandeg dalam mengetikkannya.Â